Tok tok tok
"Rika-chan." Panggil Kakek terus menerus. Sudah 5 menit ia membujuk cucu satu-satunya itu untuk keluar kamar karena Rika sudah mengurung dirinya hampir setiap hari setelah tiba-tiba pulang dengan berlinang air mata seminggu yang lalu.
Tidak ada senyum dan tawa gadis itu. Bahkan sarapan juga makan siang dan malam di lewatkannya. Selain bersekolah, sisa waktunya di habiskan di dalam kamar tanpa keluar lagi.
Barulah setelah Rei datang dan menjelaskan duduk perkaranya, Kakeknya baru mengerti alasan Rika mengurung diri di kamar mesko tidak tahu pasti alasan yang ada di kepala gadis Jepang itu.
"Rika-chan." Panggilnya lagi, tetapi tidak ada sahutan.
Kakeknya baru akan kembali mengetuk pintu kamar Rika tetapi sebuah tangan menahan gerakannya dan ketika kakeknya menoleh, Rei memberikan senyum kecil dan menggeleng.
"Biar aku saja yang coba membujuk ya, Kek."
Kakek Rika menurut dan mengangguk, "Ya, Sebaiknya kalian selesaikan masalah kalian sendiri." Dengan satu tepukan di punggung Rei, kakeknya berjalan pergi meninggalkan Rei berdiri di depan pintu kamar Rika yang masih tertutup rapat.
Ia terdiam cukup lama. Kemudian ia mengetuk pintu itu pelan.
"Rika, Ini aku." Panggil Rei. Jantungnya berdegup, mengharapkan pintu di hadapannya terbuka untuknya, tetapi harapan itu nyatanya terlalu tinggi untuk di bayangkan Rei dalam situasi seperti ini.
Sementara itu, Rika yang baru akan membuka pintu kamarnya berhenti tepat setelah mendengar suara Rei di baliknya.
Ingatannya menarik dirinya ke malam pentas seni itu, hari terakhir ia melihat Rei. Kemarahan, rasa malu, dan kekecewaan yang ia rasakan kembali menyerang hatinya.
Marah karena Rei dengan mudah mempermainkannya yang sudah mengumpulkan sejuta keberanian untuk tampil. Malu karena Rei menyabotase sambungan gitarnya hingga ia berdiri seperti orang bodoh di tengah panggung. Kecewa karena Rei ternyata seniat itu mempermainkan diri dan hatinya.
Rika mengepalkan kedua tangannya, lalu berbalik hendak menjauhi pintu kamarnya. Berubah pikiran untuk membuka pintu itu terlebih karena ada Rei di depan sana.
Baru satu langkah ia berbalik, suara Rei kembali terdengar di balik pintu.
"Kalau kau tidak mau membuka pintu ini, tidak apa. Aku akan mencoba untuk mengerti." Ucap Rei. "Tapi aku mau kau mendengarkan apa yang mau ku katakan." Rei menyandarkan keningnya di pintu kemudian ia membalikkan tubuhnya dan duduk bersandar disana. Tangannya memainkan kalung yang kemarin ia dapatkan dari kakeknya. Kalung yang sama seperti yang di miliki Rika.
Rika sendiri tidak jadi menjauh. Gadis itu kini bersandar dengan posisi yang sama seperti Rei, menunggu apa yang ingin Rei sampaikan dengan hati berdebar, namun sakit secara bersamaan.
Rei menatap kalungnya dengan tatapan nanar. Liontin bertuliskan namanya kini terasa membebani, bukan melegakan seperti yang ia kira. Ia tidak mau menyerah, tetapi ia juga tidak bisa berusaha kalau pada akhirnya ia tetap harus pergi.
Apa dia akan kembali egois kalau memaksa Rika menunggu? Rei sudah cukup egois dengan tidak menghargai perasaan Rika selama ini. Bahkan sampai detik ini, Rei masih merasa kalau dirinya tidak benar-benar melepas keegoisannya demi Rika.
Ia bahkan tidak tahu apa yang gadis itu mau, atau apa yang gadis itu rasakan. Yang ia tahu hanya ia menyatakan cintanya, mengklaim hubungan mereka, menyanyikan lagu romantis itu hanya agar Rika percaya kepadannya lagi dan mau melanjutkan pertunangan mereka.
Tapi kenyataannya Rei tidak pernah menyadari sebesar apa keresahan yang sedang Rika alami. Masalah apa yang Rika pikirkan, dan hasutan apa yang Alika katakan.
Rei tidak pernah peduli hingga sekarang.
Lama tidak terdengar suara Rei, Rika mengira kalau Rei sudah tidak ada di depan kamarnya lagi. Ia baru menertawakan dirinya yang lagi-lagi kembali bodoh dan hendak berdiri ketika Rei kembali berbicara.
"Aku tidak tahu apa yang kau dengar mengenaiku, Rika." Ucap Rei masih menatap liontinnya. Tangannya masih memutar liontin itu ke kanan dan ke kiri. "Tapi aku ingin kau tanya pada dirimu sendiri, pada hati kecilmu yang paling dalam. Apa aku... seburuk itu?"
Rika terdiam. Diam-diam ia melakukan hal yang di perintahkan Rei. Bertanya pada hati kecilnya yang masih mempercayai Rei.
Rei menggeleng, menolak gagasan yang orang-orang pikirkan mengenainya. "Aku mungkin pernah brengsek. Tapi aku bukan seorang bajingan."
Kalimat itu menyentak Rika ke ulu hati terdalamnya. Hatinya kembali di dera nyeri.
"Maaf kalau ternyata aku masih menyakitimu. Aku bersumpah tidak pernah bermaksud melakukannya dengan sengaja maupun tidak sengaja. Aku..." kalimat Rei menggantung diudara. Rei menghela nafas dan menangkup kepalanya dengan kedua tangan yang terbuka. "Aku hanya tidak tahu bagaimana menunjukan perasaanku dengan benar." Bisiknya.
Rei kembali menarik nafas dalam-dalam, kemudian menghembuskannya perlahan. Banyak hal yang ingin ia katakan dan sampaikan pada Rika, tetapi menurutnya percuma. Ia bahkan tidak tahu apa Rika mendengar ucapannya atau tidak. Ia tidak tahu apakah yang ia lakukan sekarang sia-sia atau tidak.
"Kau mendengarkanku?" Tanya Rei tidak mendapatkan jawaban. Rei menghela nafas lagi untuk kesekian kalinya. Ia memantapkan diri untuk melanjutkan ucapannya yang terasa seperti pisau yang menyayat setiap inci kulitnya.
"Maafkan aku, Rika. Maafkan aku untuk mempertahankanmu saat kau tidak ingin kupertahankan. Maafkan aku untuk memaksamu menjalani pertunangan ini." Lirihnya. Rei kemudian berdiri, menggenggam erat kalung yang ia jejalkan di dalam sakunya. Ia menghadap pintu kamar Rika dengan satu langkah menjauhi pintu tersebut.
Sekali lagi ia menarik nafas dan menghembuskannya dengan sedikit isakkan tertahan di tenggorokannya. Kemudian ia kembali berbicara, dengan lebih lantang, tegas, dan yakin. Menghancurkan sisa dirinya yang sudah lebih dulu hancur.
Dirinya bukan menyerah, karena menyerah bukan pilihan. Dirinya hanya berhenti sementara, sampai apa yang dikejarnya kembali siap ia gapai.
"RIKA CHINATSU!" Teriak Rei dari luar kamar Rika. "AKU, REI HINATA, DENGAN YAKIN MENGATAKAN KALAU MULAI DETIK INI, KAU, RIKA CHINATSU BEBAS, SEBEBAS BEBASNYA DARI BAYANGAN REI HINATA. AKU TIDAK AKAN MENGGANGGUMU LAGI, ATAU MENGUSIKMU, ATAU MEMBUATMU TIDAK NYAMAN." Rei masih berteriak lantang, tidak peduli kalau airmata yang mengalir di pipinya membuatnya menjadi laki-laki lembek sekarang. Untuk kali ini, dia ingin melupakan keegoisannya, dan memikirkan perasaan Rika. Untuk sekali ini...
"MAAF KALAU CINTAKU MENYAKITIMU. MULAI SEKARANG, AKU AKAN BERHENTI. KAU BEBAS SEKARANG, RIKA." sambung Rei. Dengan kasar ia mengusap airmata yang mengalir di pipinya, kemudian ia berbisik kecil, "Sayonara, Rika-Chan."
Rei kemudian berbalik. Sekali lagi, ia tidak menyerah. Ia hanya berhenti untuk menarik nafasnya sejenak. Ia tidak melepas Rika untuk selamanya, tetapi hanya sementara.
Sementara itu, dibalik pintu kokoh yang membentengi Rika dari Rei, Rika menangis tersedu-sedu mendengar ucapan Rei yang mengoyak-ngoyak hatinya.
Semua ucapan Alika mengenai dirinya dihidup Rei terasa tidak lagi penting. Seluruh perasaan yang selama ini ia kubur dalam-dalam, perlahan merayap keluar.
Dan rasa perih di hati Rika yang dirasakannya perlahan semakin terasa bersama dengan kekosongan dan kehilangan.
Rika tidak tahu apa ia sudah memaafkan Rei atau belum, apa ia sudah bisa membuka kepercayaannya lagi pada Rei atau tidak. Rika hanya ingin Rei kembali menjadi Rei yang dulu. Rei yang egois, Rei yang mementingkan dirinya sendiri, Rei yang tidak pernah peduli akan Rika. Bukan Rei yang seperti ini, Rei yang membuat Rika merasa menjadi perempuan terjahat di muka bumi karena sudah membuat Rei frustasi.
Rika berdiri dan membuka pintu kamarnya, tapi yang ada hanya kekosongan.
Rei sudah tidak ada di depan pintu kamarnya, dan kehampaan itu semakin terasa nyata.
***
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
She's (Not) My Fiancee
Teen FictionChapter di PRIVATE Acak! Ketika Cinta dan penyesalan datang secara bersamaan. Dan kata 'memiliki' bukan lagi menjadi sebuah Jaminan. Hingga Berjuang dan Tidak menyerah bukan lagi pilihan, melainkan keharusan. You never know how much you lov...