BAB 1 - Bangku Bis di baris ke-enam

46 5 2
                                    

Pernahkah kamu menyukai seseorang, penasaran setengah mati, sampai-sampai menunggunya tanpa mengetahui kapan dia akan kembali untuk memperlihatkan wajahnya dihadapanmu? Pernahkah kamu merindukan seseorang meskipun ia tak pernah memberitahukanmu apapun soal perasaannya?
______________________________________________________________

Adalah tentang bising kendaraan dan hingar bingar kota pagi ini. Ada lalu lalang mahkluk yang mengusik lamunanku sebelum bis kampus menyerobot perlahan diantara kerumunan kendaraan. Ku melompat naik, melempar puntung rokok ke luar pintu, meneliti isi bis dan menemukan bangku kosong, di baris ke enam. Ada dua kursi di setiap barisnya, sebelah kiri dan kanan berjumlah sama.

Pagi ini, adalah tentang selamat pagi pada alam yang masih setia menghadirkan pagi, pada matahari yang masih berujar dengan hawa panasnya dan pada hidup yang terus mengukir tapak-tapaknya dalam cerita dan kenangan. Juga pada kota yang didiami, kota berkarang dengan suhu membakar, selamat pagi aku ucapkan dalam batin sembari tersenyum pada hidup yang selalu menuntut perubahan.

Kehidupan selalu begitu. Semuanya bergulir secara teratur, mengarsir bagiannya masing-masing dengan nama dan cerita yang berbeda namun masih bertumpu pada kenyataan yang sama, dalam bagian yang bernama kehidupan itu sendiri. Kejatuhan atau keterpurukan selalu didefenisikan sebagai jalan untuk bahagia. Seperti itulah pada akhirnya, tak ada satupun yang benar-benar dikutuk atau disesali. Semuanya hanya persoalan waktu yang mengantri untuk terjadi dan aku selalu percaya bahwa semuanya selalu seizinNya.

Aku berharap kehidupan mempertemukan aku dengan hal-hal baik setiap paginya, bagaimanapun setiap orang tentu mengharapkan hal baik mendatanginya. Kalaupun ada hal buruk yang nantinya terjadi, aku pasti akan menamainya sebagai pelajaran.

Demikian juga persoalan pertemuan kita. Kita bertemu di pucuk-pucuk pagi, ketika mentari belum leluasa merenggut kesejukan embun, ketika cerita semarak bunga di depan katedral belum memilih mengalah pada panas dan lalu lalang kendaraan baru saja membentuk irama kebisingan yang memekakan telinga. Ada angsana yang berdiri di seberang jalan, tepat di depan katedral dengan daun-daun hijau merayu memanjakan retina. Ada bougenvil dengan aneka warna berbaris sepanjang jalan, bunganya menawan, menyembunyikan duri-duri di balik rimbun daunnya seolah membuktikan ada sesuatu yang tetap menyimpan keindahan di tengah hawa panas yang membakar.

Semuanya adalah kelaziman, terjadi setiap harinya meski tak semuanya kuperhatikan dengan saksama. Aku hanya mengeneralisasi, kehidupan adalah perubahan. Sisi kiri dan kanan hanya soal pemandangan biasa, tetapi berangsur-angsur berubah, membuatku melihat kota ini dengan cara yang berbeda setelah melihatmu pagi ini.

Entah karena kebetulan engkau ada di sana, di dalam tempat dan keadaan yang membuatku melihatmu lalu menginginkanmu. Aku hanya percaya semua yang terjadi tak ada yang kebetulan. Semuanya adalah ukiran takdir dan pertemuan kita ada di dalamnya, di dalam bagian  bernama takdir itu ada kau dan aku yang memang dipertemukan oleh semesta entah dengan tujuan apa pada akhirnya. Aku tak sibuk memikirkan soal itu, kita bertemu, itulah takdirnya yang tetap ku percayai.

Bukan kita sebenarnya, tetapi aku sendiri yang merasa menemukanmu di antara para penumpang bis pagi ini. Kepalamu tersandar di sandaran bangku bis dan tanganmu mencengkram ransel hitam di pangkuanmu. Aku menatap kepalamu dari baris keenam dan engkau ada di baris ketiga. Engkau menikmati angin yang membelai wajahmu, memilih terpejam setengah sadar dan menyembunyikan wajahmu dengan lambaian rambut ikalmu yang bersua dengan angin tepat di depan jendela bis. Lalu beberapa detik kemudian tak ada lagi yang lebih indah darimu.

Kupastikan harus melihat jelas matamu, hidungmu dan menghafal raut mukamu. Kita cukup beradu pandang saja, menolehlah ke arahku, aku berharap dengan sungguh-sungguh.

Seorang gadis berkaca mata disebelahku memperhatikanku. Gerakan kepalaku seperti mengganggunya. Ia asyik dengan buku di pangkuannya sedari tadi. Sedikit mengangkat wajahnya saat aku menggerakan kepalaku untuk mencoba menangkap wajahmu. Berdehem, batuk lalu membaca lagi.

Sudut mataku mengikuti, gerakan apa selanjutnya, aku tak melihat jelas wajahmu sebab tertutup gerai rambut hitammu yang sedari tadi asyik terbuai angin. Ku julingkan sedikit, memicingkan retina, namun benar-benar tak ku temui gambaran wajahmu. Seperti tersembunyi, hampir kudapati tetapi akhirnya tertutup lagi dengan rambutmu. Engkau menikmati semilir itu sebagai hadiah tetapi aku mengutuknya sebagai penghalang. Ia membatalkan inginku untuk melihatmu, menikmati wajahmu sepanjang perjalanan.

"FKIP!" teriak beberapa penumpang hampir semuanya adalah mahasiswa nyaris bersamaan pada supir bis. Dan engkaupun turun tanpa menoleh....aku menggerak-gerakan kepalaku mengikuti gerak tubuhmu yang mulai menuruni tangga bis dengan perlahan-lahan. Berlalu....Kemeja warna merah, sepatu kets coklat,  ransel hitam dan rambut panjangmu. Itulah yang kuingat sebelum bis melaju lagi.

Tak menangkap wajahmu, itu yang kusesali hingga di depan ruang kampusku dan aku harus turun. Gadis berkacamata di sebelahku tampak terganggu. Berdehem dan memasukan bukunya ke dalam tas.

___________________________________________________________
Bagaimana mendefenisikan rasanya? Rasa yang meluap-luap hanya dalam satu pandangan. Mungkin benar, terkadang kita begitu susah menemukan seseorang sebagai tempat kita melabuhkan hati, tetapi begitu menemukan seseorang yang tepat, kita merasa tak ada lagi yang lebih penting di dunia ini selain mendapatkan cintanya dengan cara yang paling cepat. Sedangkan wajahmu saja tak sempat ku lihat, namun hatiku begitu bergelora untuk menemuimu besok.

Kecerobohan RINDU /on Going/Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang