Salah Menggenangi Hati

15 3 0
                                    

Mengapa engkau mengabaikannya, seorang gadis dengan ritual sejam duduk di depanmu, meneguk teh lemon bersamamu lalu mendengarkanmu bertutur tanpa memotong pembicaraanmu? Mengapa engkau tetap mempertahankan dirimu untuk mengagungkan perasaanmu pada gadis dengan tradisi kencan sepuluh menit di halte yang kemungkinan telah memiliki kepastian jalan hidupnya, pilihannya dan juga masa depannya? Aku menggerutu pagi-pagi sekali pada diriku sendiri, mengabari hati bahwa logika kadang sama sekali tidak bisa berfungsi untuk urusan sejenis ini.

Tetapi setiap kali aku menangkap cafe seberang kantor dalam tatapan, ada rindu tentang Bunga di sana. Sudah hampir sebulan kami saling menghindari. Ia pun masih sering membeli teh lemon setelah pulang kantor, lalu berlalu begitu saja dengan taksi yang melintasi kantor. Aku memandanginya di balik kaca, berlalu.

Mungkin benar dugaanku, ia terlalu pandai mengelolah hatinya, memisahkan perasaan yang menyiksa dengan perasaan yang ia miliki untuk dipertahankan saat melanjutkan hidup. Senyumannya masih sebiasa dulu juga tatapannya yang tetap terlihat tegas dan tak meredup. Semua yang ia tampilkan sangat biasa, tidak menunjukan bahwa ia kehilangan kebersamaan kami.

Adalah Dito, karyawan yang lebih muda dua tahun dari usia kami. Seseorang yang terlalu sering mampir ke mejanya, menggodanya sebentar. Itu membuatku sedikit tidak nyaman. Ia bebas bersenda gurau dengannya. Mereka tertawa, saling menggoda, saling melempar ejekan. Mereka menikmati pertemanan tanpa sekat, hanya ada ruangan yang tersedia untuk bebas berkata apapun.

"Ayo dek, abang nikahi." Katanya sambil senyum. Memegang jemari Bunga dan gadis itu dengan senyum membiarkannya saja. Aku menunduk.

Aku mendengarnya tanpa menoleh atau memperhatikan. Ia tertawa kecil, memukul bahu Dito, dan beberapa menit kemudian semua kembali dengan aktifitas masing-masing.

Ini salahmu, ini karena rinduku padamu. Aku berpikir semuanya adalah tentangmu, patokan kebahagiaanku adalah dirimu. Itu saja.

Sepulang kantorpun, Dito masih menggodanya dan keduanya tertawa renyah. Ia bergelayut di lengan Dito sambil bercanda. Hal yang selama inipun jarang terjadi dalam pertemanan kami, dan Dito tidak pernah seberani itu menggodanya.

Ada perasaan yang tak bisa kuhindari, rasa bersalahku yang menjadikannya tempat untuk menumpahkan segala bebanku tetapi memperhatikannya pun tak pernah. Membiarkannya salah paham sebegitu lama tanpa mempertegas hubungan kami. Aku iri sebenarnya, iri pada Dito yang boleh berdekatan fisik dengannya sementara kami tidak pernah sedekat itu. Juga pada candaan dan tawanya, seharusnya akupun mempertimbangkan bahagia di hatinya, ia tidak seharusnya diperlakukan sebagai tempat sampah atas segala persoalan luka hatiku yang gagal kusembuhkan sendiri.

Dan aku menatapnya dari lantai tiga, ia tetap membeli teh lemon ditemani Dito lalu berpisah saat taksi membawanya pergi. Ditopun berlalu dengan sepeda motornya.

Entah apa yang memaksaku sore itu, aku meraih telepon genggamku dan memgirim pesan padanya. Aku tak membiarkan Dito berlama-lama di sampingnya.

"Bunga, ayo kita bicara, besok sepulang kantor pukul 06:00 di cafe seberang".

Ku kirimkan pesan itu padanya, ia membacanya tanpa membalas.

Kecerobohan RINDU /on Going/Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang