Dan ketika pagi beranjak mendekat, bersiap memanasi bumi dengan bola api, ada rutinitas kantor yang menguras pikiran dan aku masih memilih bertarung dengan sesuatu yang sengaja terlupakan tetapi tak pernah bisa. Ada sebagian hal yang menahanku, membatasiku rasa inginku menyapanya, menyapa gadis bernama Bunga itu pagi ini lewat kata dan suara.
Aku gugup semalaman, ada ingin yang memenjarakanku di atas tempat tidur, mengingat pelukan itu, pikiranku teracuni oleh hangat tubuhnya dengan napas bergemuruh dalam dekapanku. Tak ada yang lebih buruk dari itu, merindukan sesuatu yang sudah kau biarkan pergi begitu saja karena keputusasaannya.
Merindukan seseorang yang menaruhmu di hatinya yang mulai memilih jarak. Merindukan kedekatan dengannya, merindukan berbagi hari dengan teh lemon. Aku merindukannya. Merindukan suaranya yang tenang mendamaikan, ada secercah harap yang selalu ia sodorkan hanya untuk mengangkatku setelah tenggelam dalam luka dan rindu tentangmu.
Aku mengirim pesan padanya saja, meski gadis itu sebenarnya hanya duduk beberapa meter dari mejaku dengan kesibukan dan dunianya sendiri. Aku melihatnya hanya menunduk, ada sedikit sembab tergambar di matanya. Mungkin ia pun tak tidur semalaman memikirkan tragedi pelukan itu.
"Bunga, bolehkah kita memulai lagi, bertukar cerita dan kembali menjadi teman?"
Aku mengirim sms itu padanya, berharap ia membalasnya. Tetapi ia hanya mengamati layar handphonenya lalu diletakkan kembali di atas meja. Kecewa merayapi hatiku. Seharusnya ia membalas sekalipun itu hanya sebuah penolakan. Aku mengetik lagi pesan yang lainnya.
"Aku merindukanmu dalam segala keterbatasanku sebagai pria yang paham perasaanmu. Bukankah rasa bisa dibangun dari kenyamanan? Balaslah pesanku".
Tanganku menyentuh tombol "kirim", dan beberapa detik setelahnya dengan hati berdebar ku nantikan balasannya. Ia mengamati layar handphonenya lalu mengetik.
"Bagaimna menjanjikan rasa? Apakah ia tak mengapa bila dipaksakan? Haruskah kenyamanan memperdayai rasa untuk berubah? Aku ragu tentang itu."
Aku membaca pesannya, menyesal dengan sodoran dan ajakanku. Aku membalas pesannya lagi berharap itu bisa meyakinkannya saat ini. Aku sudah nyaman di sisinya dan bagaimana aku akan bertahan dengan kehidupanku saat satu-satunya yang ku harapkan memilih pergi.
"Aku hanya belum mampu, antara melepaskan Zelda dari pikiranku atau melepaskanmu dari kehidupanku yang telah memberiku ruangan teduh sepanjang hari sejak pertama kali mengenalmu, semakin engkau didekatku, sda harap yang ku selipkan, aku mungkin akan memberanikan diri memilih apa yang harus ku lakukan".
Ia melintas di hadapaku, dengan senyum tipisnya yang manis sekali, masih dengan tatapan mata yang sedikit sembab, juga rambutnya yang dikonde, tangannya menenteng tas kecil.
Aku melihatnya dan dia mengacuhkanku dengan senyum tipisnya. Aku menatapnya saja, dan mengabaikan pesannya di handphone ku. Setelah berlalunya ia, aku membuka pesan itu :
"Sammy, mari kita mencoba teh lemon di pagi hari, mungkin suasana hati kita membaik, turunlah sebelum aku memutuskan untuk tak lagi mencobanya".
Aku mengikutinya, dan mempercepat langkahku. Kantor masih sedikit sepi, baru beberapa karyawan. Ia tepat di tangga, aku sejajarkan langkahku di sampingnya. Memegang tangannya dan menatapnya sekilas, tidak sampai tiga detik dan mengacuhkan wajahnya yang kebingungan. Aku akan meneguk teh lemon itu, pagi atau sore.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kecerobohan RINDU /on Going/
Romanceaku sedang belajar untuk mendamaikannya dengan hati, sebab bagian bernama rindu itu tak bisa kuhindari dalam sekali klik. aku memapah rindu itu bersamaku dalam bayangan dan kenangan, membuatnya begitu ceroboh merebut duniaku yang dahulunya begitu...