Menyogok Waktu

21 3 0
                                    

"Sammy, bolehkah kita duduk disini saja, di bawah angsana katedral ini."  Pintamu dengan wajah berharap. Entah mengapa saat melihat ekspresi sejenis ini, aku ingin merangkul bahumu.

Aku mengangguk, mengikutimu untuk duduk di sini, di bawah rimbun angsana. Tidak kupedulikan lagi kuliah seratus delapan puluh menit itu. Aku akan tetap duduk di sini meskipun seharian, dan aku tetap menemanimu meskipun perutku keroncongan dan hanya menatap jalanan bersamamu menyaksikan hiruk pikuk kehidupan.

Sebab berada dekatmu adalah rindu, aku ingin menyogok waktu untuk memperpanjang jangkauannya saat kita bersama, menit nenjadi jam dan jam menjadi hari. Bersamamu seperti mendapatkan energi lagi tanpa mengkonsumsi apapun, dan kau dan aku boleh berlama-lama di bawah angsana ini tanpa terbelenggu waktu yang slalu kau tetapkan. Pagi ini, batas-batas waktu itu tidak berlaku dan waktu telah berhasil kusogok. Mereka menurut, memperlambat ritme, dan memamerkan kesetiaannya pada si penyogok.

"Bagaimna dengan kuliahmu?"
Aku mengulangi pertanyaan itu lagi agar tercipta banyak pertanyaan sesudahnya dan memanfaatkan waktu yang telah ku sogok ini dengan sebaik-baiknya. Kamu tersenyum tipis sekali, menyibakan beberapa helai rambutmu yang terseret angin menutupi hampir setengah wajahmu.

Aku menyukainya, membolos satu hari demi kesempatan emas ini, demi mendekatkan duniaku yang berada pada mata coklatmu. Aku meyakini, dimatamu, di situlah aku dan kehidupanku kelak akan bersemayam dalam bahagia. Aku dan kamu nantinya.

"Baik" jawabmu, jawaban yang sama seperti tadi pagi.

Aku mengangguk. Lalu apa arti meredupnya sinar matamu? Tolong jangan berteka-teki. Adakah sesuatu yang semisalnya ku ketahui akan mengubah posisi kita, posisi sebagai teman sepuluh menit yang hari ini bukan menjadi sepuluh menit lagi karena aku menyogoknya,  maka berilah aku kesempatan untuk bergulat didalamnya. Aku akan bertarung mati-matianan untuk itu. Faktanya, aku telah menyogok waktu sepuluh menitmu, maka kemudahan-kemudahan yang lain akan menghampiriku.

"Kadang membosankan hidup ini, bahkan shampo yang kau pakai untuk membersihkan kepalamu pun adalah urusan orang lain." Katamu.

Aku menoleh, menatap wajahnya yg mulai menunduk. Tak mengerti apa maksutnya, hanya bisa mendengar, dan itu saja yang paling bisa. Selebihnya, aku tak menerka serumit apa kemelut yang mengganggu pikiranmu.

"Ketahuilah, sebelum kamu, telah banyak yang mencoba mndekatiku. Dan aku tak akan bisa memilih, hidup dengan siapa atau bahagia dengan siapa, aku telah memiliki kehidupan dan kepastian hidupku nanti, dengan siapa aku hidup nantinya." Katamu dengan suara agak parau.

Artinya, kau telah dimiliki seseorg. Dan aku? Aku mencarimu, menemuimu, berkencan sepuluh menit denganmu, bermimpi tentangmu bahkan menghabiskn malam-malam dengan memikirkanmu untuk sesuatu yang nihil?? Batinku terguncang, bukankah takdir memapahku ke sini menemuimu, lalu haruskah ku persalahkan ia? Atau menyogok waktu untuk memberhentikan dunia lainmu dan hidup dalam dunia rancanganku, atau sekali lagi merayu takdir  mendekatkan kita tanpa takut dosa?

Mengapa harus mahar, mengapa harus transaksi sejenis itu. Tunggu sajalah dua atau tiga tahun lagi dan aku akan memaharimu, aku akan membawamu pergi setelahnya dan menjauhkanmu dari dekapan budaya yang kau anut. Siapakah dia? Sehebat apa dia sampai mendahuluiku memaharimu? Dan setelahnya, dia akan menikahimu? Apakah dia bersusah payah mengejarmu sepertiku meski dihargai sepuluh menit perhari? Apakah dia memikirkanmu dua puluh empat jam sepertiku? Menghadirkanmu dalam susunan pikiranku tanpa spasi? Aku tak merelakan itu. 

Kecerobohan RINDU /on Going/Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang