Angsana Katedral

21 4 0
                                    

Pagi-pagi sekali, dan hujan kemarin masih menyisakan aroma dingin, pepohonan sudah kembali tegak menantang panas, dan tentu saja aku yang sudah sedari tadi menemuimu di sini, di halte bis. Matahari perlahan naik, menerobos kepingan awan, merenggut beberapa harapan mahkluk kota ini yang rindu akan dingin ditengah kemarau panjang yang berapi-api mendiami bumi. Perpaduan asap dan bising klakson, juga lalu lalang kendaraan menghiasi "kencan dua menit" kita pagi ini. Masih dengan rambut tergerai, jemarimu yang setia mencengkram ransel hitam, dan juga tatapanmu yang lebih nikmat dari kepulan nikotin.

"Kamu kehujanan?" Tanyamu dengan tatapan biasa, tatapan sekilas padaku lalu beralih ke jalanan.

Aku mengangguk.

"Pukul  tujuh kamu tiba di kos ya?" Engkau bertanya lagi.

Aku mengangguk, meskipun sebenarnya tidak kehujanan. Dan kamu tau bahwa pukul tujuh aku tiba di kosku, artinya pesanku terbaca olehmu. Sedikit kecewa menghiasi perasaanku juga berlanjut dengan keragu-raguan di hatiku. Mungkinkah kamu merasa terganggu dengan kehadiran pesan teksku sehingga memilih tak membalasnya.

Akupun ingin bertanya. Begitu banyak pilihan pertanyaan di kepalaku, satu yang paling wajar yang ku pilihkan. Berharap pertanyaan ini kemudian membuatmu membuka ruang dan waktu yang bisa disetarakan dengan rinduku menemuimu.

"Bagaimana dengan kamu?" Tanyaku dengan sedikit menoleh ke arahnya berharap melihat wajahnya yang juga menatap ke arahku dan kami bisa berpandangan. Tetapi tidak. Ia tetap saja melihat ke arah jalan.

Dia mengangguk. Lalu apa lagi? Selanjutnya pertanyaan yang mana? Semuanya sudah teracak, tapi baiklah aku coba yang satu ini.
"Oh yah, bagaimana dengan kuliahmu?" Aku bertanya lagi dan berharap mendapatkan jawaban yang panjang tentang kuliahmu.

Kamu tersenyum dan hanya menjawab "baik".

Hari-harimu baik artinya, kuliah dan rutinitasmu normal. Kehidupanmu berjalan sebagaimna mestinya, tak ada gurat sedih dibalik dunia bola matamu. Semuanya tetap sama seperti pertama kali aku melihatmu.

Aku bergumam kecil, membiarkan kecewa menghinggapiku begitu saja. Ini keputusanku untuk membersamaimu, tetapi haruskah dengan keadaan yang seterbatas ini? Aku memang tak lelah juga belum bosan soal ini tetapi aku khawatir menghabislan banyak waktu hanya untuk mencoba mengetahui duniamu sedangkan perasaan dan hatimu tak sempat kugapai.

Bagaimana aku menerobos masuk ke dalam hidupmu yang memberiku celah cuma sepersekian milimeter? Aku ingin memasuki hidupmu, terlibat dalam semua rutinitasmu, leluasa menanyakan kabarmu, dan menjadi yang paling kau andalkan tanpa ada batasan setebal ini.

"Sammy, apakah kuliahmu hari ini padat? Aku menggeleng.
"Cuma dua mata kuliah. Seratus delapan puluh menit. Tiga jam." Jawabku.
"Kamu?"  Aku balik bertanya. Menggeleng tanpa kata.

Beberapa menit kemudian, kamu berdiri, berjalan bukan ke arah bis, tetapi membelakangiku.  Berjalan saja dengan rambut ikalmu yang bergerak bebas tertiup angin. Menuju katedral di seberang jalan, melintasi sebuah bank yang tepat pertigaan. Berjalan saja, menaiki anak tangga. Aku mengikutimu. Apa gerangan isi kepalamu? Aku menebak dan berpikir keras.

Engkau terduduk dibawah pohon angsana, dengan wajah berubah. Mata coklat yang meredup, seperti dunia lain lagi, dunia baru yang berbeda.  Tanpa kata, diam, dan aku bahkan bingung untuk menanyaimu. Sku bahkan terlalu bersemangat pagi tadi, tapi entah mengapa, gambar lain dirimu menyeretku dalam pagi sesendu  ini, di bawah angsana, aku tak bisa memastikan seburuk apa kuman yang menerobos hatimu.

Kecerobohan RINDU /on Going/Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang