Amplop Debu

15 3 0
                                    

Mengabarimu soal rindu, aku baik-baik saja dalam keadaanku, dalam kesendirianku soal perasaan dan dalam menghabiskan sebuah porsi rindu  yang perlahan-lahan  terbayar  pada ingatan yang merangkum senja ini. Siluet merah di ufuk barat mengantarku pada sebuah pengertian, bahwa tetap ada keindahan meski di ujung hari setelah terik menghajar, sebelum terenggut gulita malam, ada senja yang mendamaikan. Akan ada yang terobati, keluhan tentang yang menghajar saat malam menghadirkan hawa dingin nantinya. Dan rindu, tak harus dengan menghadirkan orang, rindu bisa juga terbayar dengan suasana, keadaan, ataupun irama lalu lalang kendaraan saat kita pernah ada di sini, dalam segala perasaan kita, dalam keadaan yang berbeda saat itu tetapi dengan rasa yang masih saja sama, rindu.

Kita pernah di sini, di halte bis ini, dimana pernah kau selipkan kertas berlipat empat dan aku bertahan menunggumu dalam hujan. Dimana kertas berlipat empat itu tergenggam jemari dankehangatannya melebihi pelukan. Aku pernah begitu bahagia. Aku pernah berpikir, takdir akan mudah menyatukan kita.s

Dan aku mengangkat wajah, memperhatikan pipa penyangga atap, tempat engkau menyelipkan kertas berlipat empat, tak ada apapun di sana, hanya debu yang membungkusi pipa dan warnanya yang mulai termakan karat. Tetapi ada sebuah kertas usang, berwarna abu-abu, terselip sekitar empat puluh centi dari tempatmu menaruh kertas berlipat empat. Iseng kuambil tanpa berharap apapun yang lebih, hanya penasaran. Berlipat empat kertas itu, beramplop debu dan lipatan teratasnya mulai menyatu dengan karat yang menggerayangi pipa.

"Aku mulai mengerti, bagaimna rasanya tertarik setelah engkau menghindariku. Marilah kembali ke ritual  sepuluh  menit kita, dan sampai saat ini aku belum berani mnjanjikan apapun, ada sesuatu yang lebih besar yang sudah lebih dahulu membayangiku, tetapi apalah artinya itu saat bersamamu ada bahagia yang tak bisa kuungkapkan dengan kata-kata yang lebih harafiah".
Zelda.

Entahlah apa yang kurasa, tak sehangat pertama menerima kertas berlipat empat itu empat tahun lalu, tetapi tak ada yang bisa kusembunyikan, ada sesal yang menghinggapi ruang hatiku, meruntuhkan beberapa rasa ikhlas yang kubangun dengan susah payah. Seandainya aku tak menghindarimu, tak berlalu begitu saja tanpa memeriksa pipa penyangga atap halte atau paling tidak bertanya kabarmu, kita mungkin akan melalui waktu dengan sedikit berbeda

Kita mungkin akan berteman perasaan yang mulai membaik. Seandainya aku tak memvonis keadaanmu yang telah dimahari sebagai selembar  sekat yang tak bisa diganggu-gugat dan tidak tenggelam dalam pemikiran dan keputusan sepihakku tentang keadaanmu, mimpimu atau jalanmu, mungkin saja takdir membantuku dengan cara yang lebih mudah. Aku mungkin akan mengurangi kesetiaanmu pada tradisi, aku menyuntikan pemikiran-pemikiranku lalu kita akan bersama dan menggabaikan apa yang telah dirancang oleh pria yang memaharimu.

Ketahuilah bahkan nama itu masih menyimpan peluru untuk kuledakan dalam hatiku, masih melarang hatiku utk mengeluarkanmu dari sana, engkau menghuni di sana, meski aku melupakanmu sesaat, tetapi engkau kmbali dengan energi yang lebih besar utk mengganggu ingatanku.

Lalu persoalan rinduku, aku telah berusaha mendamaikannya dengan hatiku, di kota ini, di tempat ini. Disini, aku menyesali banyak hal, banyak kekeliruan tentang kita, tetapi rindu masih sangat ceroboh. Masih sangat  mengganas. Rindu masih menggangguku, masih menempatkanmu dalam podium hatiku, dalam hari-hariku.

Aku menggenggan kertas berlipat empat itu, beramplop debu, berbungkus karat pipa, tetapi rinduku tak pernah berubah, semakin hari semakin besar, semakin dalam menanam dirinya, arteripun mengalirkannya tanpa permisi. Kau tetap ada.

Kecerobohan RINDU /on Going/Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang