Aku hanya menghabiskan beberapa menit awal pagi itu dengan menatapnya. Menatapnya saja sambil meneguk teh lemon. Ia malu dan lebih banyak menunduk, membuang tatapannya ke kiri kanan. Aku terus menatapnya tanpa berhenti, memperhatikan raut mukanya. Menjelajah seluruh wajahnya dalam retina kecilku, ia tampak indah dalam setiap gerakannya. Ia melepaskan kaca matanya, membiarkan rambutnya tergerai tertiup angin. Aku masih betah menatapinya, tak bosan dan enggan mengalihkannya ke sudut lain."Sammy, berhenti menatapku." Katanya dengan malu-malu.
Aku tersenyum menanggapinya, lalu mengangguk tetapi tidak melepaskan tatapan itu. Wajahnya memerah. Aku sudah sekian lama mengabaikan tatapan matanya. Kehidupan rupanya mulai menertawakanmu, bagaimana aku yang dahulu begitu sibuk merindukanmu mulai tertarik dengan wanita lain yang selalu duduk tepat dihadapanku.
"Aku hanya ingin membayar apa yang selama ini ku abaikan." Jawabku. Aku mengabaikan wajahmu yang selalu di depanku.
Ia meneguk teh lemon itu. Sampai segelas habis. Aku merasakan kegugupan di matanya juga binar bahagia yang tak bisa ia sembunyikan. Adalah tentang perasaan, aku tetap meyakini diriku bahwa kelak perasaanku padanya akan lebih besar dari perasaanku padamu. Rinduku padanya, melebihi rinduku padamu juga, juga duniaku bersamanya mungkin lebih realistis dari yang pernah ku bayangkan bersamamu. Segalanya memang seharusnya berubah, aku dan dia hanya perlu waktu untuk melawan dan selanjutnya menyelaraskan apa yang ada di hati kami.
"Aku tak sabar menjadi kekasihmu, berjalan bersamamu dengan terus menggandeng tanganmu, merasakan cemburu saat pria lain menggodamu, dan memiliki setiap senti hidupmu." Kataku setelah ia memaksaku berhenti menatapnya.
Ia mengannguk dan terus tersenyum. Tatapan malu-malunya semakin mendebarkan. Sudut bibirnya menyungging bahagia dan seketika dunia bukanlah soal rindu tentangmu lagi.
"Aku ingin suatu hari kita menikah, kita hidup dengan sebaik-baiknya dan saling melengkapi dalam setiap jatuh bangun kita. Aku tahu, hatiku tak selapang hatimu. Tetapi aku selalu berusaha belajar darimu." Aku menyambung dengan wajah serius.
"Bantulah aku untuk membuang Zelda dari pikiranku, tetaplah di sisiku dan jangan beranjak saat kecerobohan rinduku padanya meraung-raung tak kenal arah, menerobos hatiku dengan egois, tetaplah engkau di disampingku, memberi sentuhan pada hatiku, dan tentu saja aku akan menguatkan diriku juga, melawan dan bertarung saat rindu-rindu itu dengan ceroboh merasukiku." Aku tersenggal-senggal mengucapkan itu.
Ia melihatku, tersenyum kecil seperti biasa lalu menyentuh tanganku. Menggenggamnya erat dengan tangan kirinya sementara tangan kanannya mengelus punggung tanganku. Ada bahagia menyelinap di hatiku, mengaliri segenap pikiranku.
"Aku akan tetap tinggal, hidup dan bertahan di sisimu, menghabiskan banyak waktu denganmu, aku tak akan marah saat engkau lupa tentang kita dan membahas Zelda, karena sesudah cerita-ceritamu, atau serobotan rindu mengganggumu, aku adalah orang yang tetap ada, yang akan memelukmu untuk menenangkanmu, menetralkan napasmu, dan tentu saja megelus kepalamu." Ia berujar dgn suara pelan.
Aku memandangnya dengan haru, adakah gadis sesabar itu, gadis yang selama ini cukup tegas dalam setiap gerak-gerik dan perkataanya ternyata menyimpan kelembutan hati dan memiliki sabar yang begitu besar.
Kami meneguk teh lemon sampai habis, lalu kembali ke kantor pagi itu. Ada rasa lega yang melapangkan hatiku.
Dan sesudahnya, setiap hari adalah pertarungan. Ada bayangan tentang dirimu yang mengisi kepalaku sebentar tetapi langsung buyar dan pergi ketika ia menggenggam tanganku menaiki tangga. Ada ruang di hatiku yang mulai terisi dirinya di sana, sebagian tentangnya seolah merebut memoriku. Tentang tatapanmu dan nikmat bola mata coklatmu mulai berangsur suram saat ia mendekatiku dan memamerkan senyum tipisnya. Ada rindu yang meraung-raung menerobos hati, tetapi perlahan pergi tanpa pamit saat pelukan kecilnya menghampiriku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kecerobohan RINDU /on Going/
Romanceaku sedang belajar untuk mendamaikannya dengan hati, sebab bagian bernama rindu itu tak bisa kuhindari dalam sekali klik. aku memapah rindu itu bersamaku dalam bayangan dan kenangan, membuatnya begitu ceroboh merebut duniaku yang dahulunya begitu...