BAB 4 - Letupan Hati

33 4 0
                                    


Hawa panas kota ini membuat jantungku meletup-letup. Bukan panasnya yang seharusnya kupersalahkan, sebab ini pukul 18:04 dan mataharipun mulai merangkak menjauh menyeret hawa panasnya pergi dan bersembunyi dibalik awan-awan,  tetapi sodoran tanganku yang terbalas olehmu mengaliri kehangatan di sepanjang nadiku dan bereuforia dalam jantungku, seketika itu yang kusyukuri sebagai persembahan terbaik dari takdir yang menyeret hidupku terhadap perasaan yang diciptakan untuk bersemayam di dalam sana, dan semuanya hanya tentang engkau.

Entah berapa derajat celcius hangat ini mengisi ruang jantungku, aku bahkan tidak bisa mengimbangi gemetar yang mengganggu sodoran tanganku. Mungkin engkau melihatnya, sebab frekuensi sebelum engkau melepaskan tanganmu dari jabatan tanganku berkisar tujuh belas detik. Cukup waktu bagiku untuk menyeimbangkan gemuruh dan kegugupanku seharusnya.

"Zelda". Jawabmu tanpa basa-basi. Punggng tanganku menyentuh punggung tanganmu, mereka berdiam dan saling menggenggam beberapa detik. Aku tak ingin melepas tanganmu.

Memangut menatapi jalanan. Hanya kita berdua, yah aku dan kamu yang baru ku ketahui bernama Zelda. Sementara hingar bingar kendaraan terus berdengung. Tak sepatah katapun setelah itu dan aku masih susah payah menetralkan hatiku. Baru ku niatkan bertanya saat engkau memilih angkot putih dan kemudian berlalu di antara timbunan kegugupan dan ledakan naluri gembiraku. Aku tak menahanmu, tak bertanya, membiarkanmu pergi. Memandangmu dari kejauhan.

Bagiku, menemukanmu seorang diri di halte ini saat matahari mulai beranjak menjauh dari hari dan asap serta lalu lalang kota dan kesibukannya mencapai klimaks, bukan sebuah kebetulan. Aku menanti saat ini dengan patuh, ikhlas dan dada bergemuruh. Aku bahkan berusaha mengingat beberapa kata yang telah kupersiapkan kelak jika bertemu denganmu. Tetapi tetap saja, aku lupa semua kata-kata itu meski tertata rapi dalam ingatan semalam, saat sodoran tanganku terbalas dan jemari lembutmu merecoki susunan aksara yang telah kupersiapkan, aku lupa bahkan tak satu katapun yang sempat terucap. Semuanya hilang terganti olehmu. Tak ada lagi yang lebih kusukai, lebih kuharapkan dan kurindukan selain dirimu.

Bukan hanya wajahmu, tatapanmu bahkan seluruh gambar wajahmu yang utuh plus rambut hitam legam, kets coklatmu atau ransel hitammu, tetapi tentang persetujuanmu memberitahu namamu, itulah yang lupa kupersiapkan. Hangat terlalu merajalela di jantungku, paru-paruku terlalu bersemangat mengaitkan napasku dan pesonamu hingga berdegup tak seirama dan aku lupa memberitahumu namaku. Aku sibuk menangkap pesona wajahmu, aku lupa jika namaku pun penting untuk kuberikahukan. Lain kali, akan ku minta nomor teleponmu.

Engkau berlalu, aku terus menatap angkot putih yang memapahmu pergi, aku kerasukan manismu, ku kepulkan asap-asap nikotin ke udara menyatu dengan asap knalpot lalu lalang. Langit masih memerah. Meski malam berangsur mendekat, aku merasa hangatmu masih tertinggal dihatiku. Aku merasa telapak tanganmu masih dalam balutan jemariku.

Temaram senja mengkhawatirkan malamku nanti, apakah berlalu dalam lelap atau berlagu dalam bayang-bayang merah mudah di plafon kosku, wajahmu lebih adiktif dari nikotin ini.

Kuinjak puntung pertamaku setelah pergimu, setengah yang ku hirup, selebihnya tak ku pedulikan lagi. Wajahmu lebih dari candu.

Kecerobohan RINDU /on Going/Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang