Tak Seinstan Itu

24 3 0
                                    

Bukankah sulit mencoba melepaskan sesuatu yang terus dipeluk dalam bayangan, aku mencoba menghindari ragamu tetapi jiwamu tetap kudekap dalam malamku. Bahkan dalam senduku tertusuk luka, aku masih sering tersenyum mengenang tatapanmu. Bukankah pula saat merekah fajar menggoda, yang ku ingat adalan janji  dua menit kita. Saat senja memilih berlalu aku masih sering menghafal wajahmu yang memandang tanpa kata di tepi jalan. Saat semilir berlalu menyapu wajahku, yang ku bayangkan adalah pejaman setengah sadarmu?

Aku berjuang untuk itu, untuk membiasakan diri melupakan semua yang terbiasa. Terbiasa untuk kuingat, ku kagumi dan ku letakkan dalam sanubari. Aku mencoret-coret semuanya tentangmu dengan kekecewaanku, menghapusmu dengan berpikir bahwa takdir tak selalu berawal dari hal yang membahagiakan.

Seperti pagi ini, ketika bis kampus melewati kita, tanpa berhenti dan memberi kesempatan untuk kita menumpanginya, sementara gerimis kecil mulai mengukir jejaknya di aspal, mengenalkan bercak-bercaknya di trotoar dan memperingatkan kita akan kedatangannya dengan volume yang lebih besar di atas atap halte, aku berpikir tak mesti duduk di sebelahmu.

Engkaupun tak menoleh, hanya menatap kosong ke jalanan seperti biasa, menikmati lalu lalang kendaraan yang menaikan kecepatannya, supir yg tak sabar dengan kemacetan dengan memencet klakson sesering yang ia mau, dan kondektur yang memilih melongo dari pintu kendaraan.

Aku merasa dingin dan terasing, yang tersisa adalah kau dan aku. Berharap bis yang lain secepatnya datang, dan aku segera pergi tanpa melihatmu lebih lama.

"Sammy." Sapamu pelan. Aku mendengarnya, jelas sekali dan detik berikutnya aku pura-pura tak mendengar apapun. Engkau mengulanginya lagi dan aku  menoleh. Jemari tanganmu menepuk tempat kosong disebelahmu, mengisyaratkan aku untuk duduk di sebelahmu. Jangan. Tetapi tetap saja, aku menujumu, duduk di sampingmu.

"Apa kabarmu?"tanyamu dengsn nada biasa seolah tak ada apapun yang terjadi. Sementara aku bergulat sendiri dengan lukaku yang masih  memerah.

"Baik." Jawabku singkat.

Kita menatap ke arah jalan, membiarkan rintik mengukir jejak di situ. Engkau tetap duduk dengan tatapan yang sama. Aku memilih terdiam, bagaimanapun aku tak punya apa-apa untuk ku sampaikan padamu. Semuanya telah kau putuskan. Aku mengakuinya sebagai sebuah keadaan yang berada di luar kendaliku. Kontrol diriku terhadap perasaanku melemah, aku terlanjut terseret dalam kesakitan yang begitu nyeri.

"Bagaimna mungkin kamu memutuskan untuk menyukai seseorang, meski baru pertama kali melihatnya, bagaimana mungkin kamu memutuskan untuk jatuh cinta padanya hanya dengan berpikir bahwa kamu menemukan dunia di matanya? Apakah cinta seinstan itu, dan perasaan mudah menyesuaikan dengan yang tertangkap retina? Bagaimana mungkin?" Tanyamu tanpa intonasi, datar dan meluruhkan separuh rasa kecewaku.

Aku tak menjawab sepatah katapun. Bagaimana aku menjelaskan padamu, bgaimana  mungkin engkau memahaminya sementara engkau tak pernah merasakan bagaimana tertarik pada seseorang, bagaimana mungkin engkau menganggap aku begitu mudah jatuh cinta tanpa mengetahui lelahku mengikuti dan menemuimu, usahaku untuk memperjuangkan kencan sepuluh menit perhari, bagaimana mungkin engkau mengerti saat engkau tak pernah tau?

Aku sedang menuntut hatiku, menghakimi rasaku sendiri, dan meragukan takdir yang mempertemukan kita. Jika ini kebetulan yang dirancang semesta, barangkali musim ini bisa membawanya pergi, menghapusnya dan membekukan hatiku.

Kecerobohan RINDU /on Going/Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang