BAB 3 - 08:14, Selasa Pagi

25 4 2
                                    

Bagaimana kehidupan mengukir kisah-kisah miliaran orang di dunia, apakah ia tak lelah memastikan bahwa beberapa orang cukup berbahagia dengan kisahnya dan beberapa lagi cukup menderita karenanya? Bagaimana kehidupan menyeret seseorang dengan perasaan yang begitu ganasnya merenggut dunianya? Bagaimana ia memperbolehkan aku tak bisa tertidur hanya karena memikirkan seseorang?
_____________________________________________________________

Selasa pagi. Aku masih mengepulkan asap rokok di halte saat jarum pendek merangkak mendekati delapan. Panas mulai mempermainkan kenyamanan pagi, seketika dingin menghilang dan udara seperti musuh terbesar siapapun yang mendiami kota ini. Matahari tersenyum congkak, angsana depan katedral melambai pelan dan bising kendaraan lagi-lagi mendominasi ruang telinga. Kehidupan sejatinya selau menguji kesetiaan dan ketekunan manusia. Aku mungkin salah satu yang dibidiknya untuk mengikuti ujian itu pagi ini.

Puntung kedua terinjak ujung sepatuku. Meneliti bis yang berhenti, memastikan engkau tak ada di dalam lalu melompat turun lagi. Setidaknya tasmu, pin kuning, atau kets coklatmu, aku mengoceh sendiri di dalam hati saat tak melihat salah satu dari isyarat itu. Mempersalahkan hari-hari ketakberuntunganku. Aku telah memaksimalkan tatapanku untuk menelitimu diantara penumpang lain, juga kecepatan kakiku untuk menuruni dan menaiki tangga bis untuk menjumpaimu. Saat di titik nihil inilah, aku menyadari segala jenis kecerobohanku pada waktu. Aku tak percaya waktu akan mempertemukan kita tanpa usahaku.

Aku menggerutu berulang-ulang, kecewa dengan supir bis yang tak mengangkutmu pagi ini. Aku benar-benar akan kecewa lagi, seperti kemarin pagi. Yah, karena menunggumu, aku dimarahi dosen, diejek teman-teman sekelas dan duduk di barisan terdepan lalu disuruh menjadi moderator diskusi kelompok. Aku tak menikmati semuanya. Juga perasaanku, aku tak bisa menyudahi kekecewaanku tak bisa melihatmu. Setiap bagian dari isi kepalaku adalah soal kamu, lalu berlanjut menjadi kegelisahan yang membungkam setiap jalan pikiran yang mengaliri hari. Aku hanya ingin melihatmu.

Waktu merangkak, pukul tujuh lewat empat puluh delapan menit saat sebuah bis kampus lain melaju lagi dan berhenti tepat di hadapanku. Tak perlu kondektur berteriak mempersuasi, bis akan diseroboti puluhan mahasiswa dan berebut tempat ternyaman versi mereka masing-masing. Ada sebagian yang memilih dekat jendela, ada yang nyaman berjejer di sekitar pintu bis, dan ada pula yang terlihat akrab berbincang dengan supir bis.

Setelah keputusanku melompat kedalam dan tanpa turun lagi aku meneliti seisi bis, sebagian besar bangku telah terisi. Baris ketiga, dekat jendela, tempatmu waktu itu. Aku melepaskan ranselku, duduk di dekat jendela, di sampingku seorang gadis berkaca mata duduk di situ, menutupi wajahnya dengan novel. Gadis yang sama, gadis yang selalu asyik dengan bacaannya sendiri . Aku memperhatikan sekeliling dan gadis itu tampak tidak nyaman dengan geseran kepalaku yang mendekati kepalanya. Aku menyadari dehemannya kemudian menatap ke depan. Gadis itu terus membaca, sesekali membuang tatapannya ke arahku dan kembali membaca halaman demi halaman novel ditangannya. Aku melihat judul novel yang dibacanya dan kemudian tersenyum sendiri. Pikiranku, paling tidak novel sejenis fiksi ilmiah yang ada ditangannya, ternyata novel teenlit yang sedang digerogoti dua bola matanya dan juga kacamata tebalnya.

Ia sadar dengan tatapanku, menoleh dan sedikit membesarkan bola matanya. Aku menyadarinya, ia sedang menyuruhku untuk tak memperhatikan apa yang ada di tangannya. Ia sedang terganggu dengan kehadiranku atau tersinggung dengan senyuman mengejek yang baru saja ku tunjukan. Aku membuang tatapanku ke luar jendela dan memastikan tak ada masalah dengan gadis ini.

Semilir angin membelai wajah dan aku sadar betapa nikmatnya duduk di sini. Aku paham mengapa engkau membiarkan rambutmu dipermainkan angin dan tak memberiku ruang untuk leluasa menangkap wajahmu. Sepoi merayu, ku pejamkan mata, teringat gerai rambut legammu, aku mengutuk kenakalan rayuannya yang membatasi pandanganku saat itu. Seharusnya ia tak seegois itu, memojokan aku dan perasaanku hanya karena engkau lebih terbuai dengan oksigen yang ia banggakan. Ia tak bermassa, seharusnya ia tak boleh seegois itu.

"FKIP"! seseorang berteriak, beberapa melompat turun dan aku menoleh setelah kaget, gadis berkaca mata itu masih di sampingku, terus membaca dan tidak mempedulikan orang lain. Aku menggerakan kepalaku, melihat seisi bis dan memastikan harapan terakhir yang aku punya yang sempat tersimpan di benak "engkau ada di bis yang sama, namun aku tak melihatmu". Kekonyolan apa yang sedang ku harapkan, aku menggerutu lagi. Aku menoleh ke arah pintu bis bagian belakang, ada sesuatu yang memberi isyarat tentangmu. Pin kuning.

Dada berdegup, jantung bergemuruh, terlihat ransel hitammu berdesak-desakan di pintu bis. Aku melihatmu, hidung mancungmu, telingamu, tetapi mata dan wajahmu seutuhnya belum tertangkap olehku. Yes, pukul delapan lewat empat belas menit, kamu penyuka bis terakhir juga. Lalu, baris keberapa, aku tak tau pasti. Tapi apa artinya itu, yang terpenting aku melihatmu lagi, di pagi ini, saat mentari mulai sedikit meraung, dan hingar bingar kendaraan mulai mengganggu, saat hatiku hampir menyerah.

Yessss, aku mengepalkan tanganku berulang-ulang kali, menyulut rokokku dan menghembuskan asapnya ke udara tanpa sadar. Hanya dua kepulan sebelum gadis di sebelahku menegur. Aku tak menghiraukan omelan gadis itu tetapi mematikan rokok dengan senyum kecil beberapa detik kemudian.

Aku terus memperhatikanmu dari balik jendela bis. Rambutmu tergerai, langkah yang tak terlalu cepat. Saat bis melaju, aku masih tetap memalingkan wajah, memastikan ke mana engkau berjalan, sayangnya bis terlalu cepat dan langkahmu terlampau pelan. Aku dan bis hilang di tikungan kecil lalu aku menebak engkaupun hilang dibalik gedung putih itu.

Dan selasa kedua, satu langkah lebih baik. Selasa kedua tentang perasaan, perlahan-lahan takdir  mempermudahku. Aku mengelus-elus bis yang membawa kita tadi. Aku melirik supir yang mengangkut kita. Gadis berkacamata di sampingku itu menggeleng-geleng sendiri. Seperti menertawakan kebodohanku.

______________________________________________________________

Bahagia? Setiap orang mendefenisikannya sendiri. Terkadang patokannya adalah apa yang dirasanya cukup untuk me jalankan hidup. Apa yang dikiranya bisa menghapus segala lara yang berkecamuk dalam hatinya. Defenisi itu bahkan bisa berubah tergantung patokan yang ditetapkan. Sedangkan bahagia versiku adalah melihatmu hari ini. Kelelahan-kelelahan yang ku lewati bahkan sama sekali tak menguras apapun dalam diriku. Melihatmu seperti mendapatkan suntikan energi dalam tubuhku
______________________________________________________________

Kecerobohan RINDU /on Going/Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang