Sepotong kertas berlipat empat

21 4 0
                                    

Hujan mengisi sore , aku mengutuk kedatangannya yang tak memberi kabar. Guntur, kilat bahkan gerimispun tak mendahuluinya, begitu saja ia turun, membasahi aspal tanpa izin dengan butir-butir cair sebesar biji jagung. Sedari tadi ia menumpahkan dirinya di atas hamparan kota berkarang, membasuh wajah ilang-ilalang kuning dan tentu saja bis kampus terakhir yang kutumpangi merangkak basah kuyup di tengah derasnya curahan air. Supir bis menyeringai, kondekturnya pun bersungut. Ini kemarau tetapi apa gerangan yg membujuk alam sore ini?

Mungkin hujan ini mempermudah takdirku. Seperti kehadirannya yang memberi hawa dingin di tengah kemarau yang terkategori el nina. Kamu sedang menungguku di halte dan kita akrab bertukar cerita cukup lama untuk menunggu hujan reda. Kalau engkau kedinginan, aku akan menutupi punggungmu dengan jacketku. Kencan pertama yang sederhana nantinya.

Aku tersenyum menatap keluar, memperhatikan aspal yang berasap dihajar dingin. Mengapa ia berasap? Harusnya ia terdiam, terbujur dingin dan meringkuk tanpa reaksi. Karena ia sedang membuang panas yang telah meresap ke dalam tubuhnya lalu perlahan asap itu akan hilang dan tetaplah ia berbaring dalam kedinginan tanpa meronta atauoun protes.

Ini kesempatanku dan hujan di tengah kemarau yang terasa ganjil ini pantas disyukuri, pikirku. Perkiraanku, kamu sedang termenung di halte bis menunggu hujan reda. Lalu hujan masih belum bosan menjatuhkan dirinya, kita tertahan di situ, mengobrol dengan sangat dekat, banyak hal yang kita perbincangkan, engkau dan aku akan tertawa renyah, menonton aliran air di permukaan aspal yang berlomba saling mendahului ke permukaan terendah lainnya dan kita menertawakan genangan air yg terlintasi oleh roda mobil, percikannya mungkin membasahi ujung sepatu kita.

Bis perlahan berhenti, beberapa melompat turun, dan akupun demikian. Angkot beraneka warna telah menunggu. Beberapa kondektur berteriak memegang payung, membujuk penumpang untuk masuk ke dalam angkot, berebut selembar duaribuan  untuk bertarung dalam hidup. Aku memilih berteduh saja sambil memperhatikan sekeliling, mataku mencarimu, berharap menemukanmu masih di tempat ini dan  Dirimu tak ada di sana, aku menyulut sebatang, menghisapnya sambil berteduh. Ujung sepatuku basah, ah gadis sepuluh menit, bukankh kita akan bertemu di sini setiap sore? Ini pukul enam belas lewat empat puluh dua menit dan isyarat tentang hadirmu pun sungguh tak terlihat. Mungkinkah hujan tadi membuatmu pulang lebih dahulu?

Hampir setengah tujuh kurang empat menit, aku masih menunggumu gadis sepuluh menitku, adakah yang bisa ku lakukan, di manakah engkau, apakah engkau kedinginan juga, atau  barangkali kebasahan? Aku melihat ke langit, meyakini hujan masih terus menunjukan kerinduannya pada bumi. Kamu tak ada, hujan ini bukan mempermudah takdirku. Ia sedang menggoda aku dengan batalnya  ritual delapan  menit kita setiap senja, ia pemisah, ia tak seromantis yang kubayangkan sepanjang perjalanan tadi.

Aku masih menunggunya reda, pandanganku menangkap secarik kertas yang terselip diantara kedua pipa yang menyangga rangka atap halte. Iseng ku ambil, berlipat empat dengan tinta berwarna biru.
      "Jangan menunggu, aku telah pulang. Ini nomorku : 0852********* beritahu aku saat engkau telah berada di dalam angkot yang membawamu pulang, besok pagi, temui aku lebih awal, pukul setengah tujuh aku akan ada di halte untuk membayar  delapan menit kita yang tertunda".

Bahkan seketika, aku tak merasa dingin,  sepotong kertas berlipat empat itu berakhir dengan kepalan tanganku yang melempar puntung ke dalam genangan air. Puntung itu meringkuk disana bersama beberapa sampah kecil yang terapung di atas permukaan air. Mereka bergerak mengikuti aliran air.

Kecerobohan RINDU /on Going/Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang