Dekaplah saja Ia

11 3 0
                                    

"Jangan menyeret terlalu jauh, jangan membiarkannya terengah-engah ketinggalan di belakangmu, atau mendahuluimu untuk membayangimu, dekaplah saja ia saat itu juga dan nikmati semuanya. Saat sakit, terluka atau kecewa bukanlah sesuatu yang salah. Ia hanya bagian dari proses hidup, tepatnya beberapa episode hidup memang begitu adanya, tercipta dan terjadi untuk dinikmati. Sebagiannya memang menciptakan senyum di sudut bibirmu, membuatmu terlelap dalam suka, merindui pagi bersegera menjemput, tetapi sebagian mengekangmu dalam air mata, merangkak malas dalam kenangan, nestapa dan sedih di ujung hari yang mengoyak kepercayaan diri." Bunga menenangkanku dengan kata-kata penuh maknanya seperti biasa.

Aku mengangguk tanpa protes. Ia memang pandai membahasakan kekuatan yang tersimpan di dalam dirinya. Entah berapa kali ia pernah patah hati, mencintai dalam diam atau terluka parah soal perasaan, nyatanya ia tetap seperti angin segar dalam segala keterpurukanku tentangmu. Ia hadir dengan segala keadaan yang menguatkan, dengan kata-kata yang bermantra untuj membentuk pengertian lain dari kesulitanku melepaskanmu dari pikiranku.

"Bukan salahmu juga, ketika semuanya ada dan terjadi, tetapi hidup memang begitu, tak selalu tentang bahagia, bahkan pada saat bahagiamu, ada perasaan-perasaan yang mengerikan itu dengan pintarnya selalu menyelipkan diri bak drama dalam kisah hidupmu." Ia menambahkan kata-kata itu lagi.

Aku tersenyum mendengar kata-kata Bunga ini. Entah sudah berapa kali ia jatuh cinta, aku tak pernah bertanya. Tetapi semakin hari, rupanya semakin banyak hal berharga yang ia ucapkan. Dan aku, orang yang berharga yang bisa mendengar itu darinya dengan gratis.

"Pernahkah engkau jatuh cinta?" Aku balik bertanya.

Ia mengangguk. Tersenyum kecil. Lirih. Ada kecewa terbaca dari sinar matanya.

"Aku pernah jatuh cinta dengan seseorang, tetapi aku memang bisa memisahkan bagaimana harus mencintai atau melanjutjan hidup, aku membatasinya dengan tegas." Jawabnya.

"Seandainya hatiku setegas hatimu, aku mungkin telah melanjutkan hidup dengan lebih baik." Kataku berandai-andai.

Ia tersenyum. Menggeleng. Jemarinya meraih teh lemon di atas meja dan meneguknya.

"Setiap hati diciptakan berbeda, rasa dan kedalamannyapun berbeda, jika memang porsi untuk merindukan Zelda lebih lama untuk berdiam di sana, laluilah denhan ikhlas,  tak ada salahnya." Jawabnya masih dengan senyuman.

Dan sore itu, kata-katanya membuatku sedikit berlapang soal dirimu. Mungkin memang, aku sedang menghabiskan porsi bernama rindu yang masih memiliki ruang di hatiku.

Rutinitas kantor memang padat dan selalu saja begitu. Meski demikian, cafe di seberang jalan tetap menjadi pilihan terbaik untuk sedikit bersantai setelahnya, dan tentu saja Bunga, teman terbaik untuk meneguk teh lemon. Dan aku nyaman dengan pertemanan kami, lalu Ia pun  merasa tak terbebani dengan ceritaku. Itu seperti ritual setiap sore sebelum akhirnya berpisah sejam sesudahnya. Pendengar yang baik, yang memiliki begitu banyak koleksi kata-kata penguatan dalam dirinya.

Tetapi sore keesokan harinya, entah apa yang membuatnya tak datang, aku menunggunya sampai lima belas menit, masuk kembali ke kantor dan memastikan ia tak lagi di sana. Ke mana ia? Aku bertanya sendiri.

Tiba-tiba handphoneku bergetar, ada pesan darinya.

"Maaf, aku sedang kurang sehat, ku putuskan kmbli lebih awal".

Aku mengangguk kecil. Lalu melangkah ke arah cafe dan meneguk teh lemon seorang diri.

"Cepat sembuh".

Pesanku terkirim.

Sekembalinya dari kantor tadi, ada sesuatu yang ku rasa berkurang, iya ritual mengobrol dengan Bunga. Apa kabarnya? Apakah sakitnya parah atau ah...mengapa aku begitu kuatir? Tidak, ini hanya rasa ketergantungan. Bukan penasaran. Aku hanya terbiasa bertemu dengannya setiap sore. Itu saja.

Kecerobohan RINDU /on Going/Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang