Kedatanganmu

15 1 2
                                    

Lalu tiba-tiba kau datang. Kau muncul dengan bola mata coklat dan rambut ikalmu. Engkau berdiri di cafe seberang, membawa tas kecil, tanganmu memegang sebotol kecil air mineral. Tatapanmu tetap sama, juga tubuhmu tetap seperti dulu. Tinggimu mungkin bertambah sepuluh sentimeter, dan rambut ikalmu tetap tergerai ditiup angin, menutupi sebagian wajahmu, kau sematkan lagi ke belakang telingamu, namun ia tetap kembali bersua dengan semillir yang asyik berdendang kesana kemari.

Aku menahan diriku untuk memanggilmu. Engkau tetap berdiri memandang sekeliling lalu memutuskan  duduk di cafe seberang, di tempat aku dan Bunga terbiasa duduk di situ. Aku tak bisa melakukan apapun, jantungku seperti berhenti bekerja, rotasi bumipun berporos padamu dan aku tak berdaya melakukan apapun. Apa kabarmu, bagaimana duniamu, bagaimana harimu juga bagaimana perasaanmu? Aku melontarkan pertanyaan itu di dalam hati tanpa ada keberanian mendekatimu. Retinaku melebar, aku ingin menghampirimu dan memluk tubuhmu, menumpahkan segala kerinduanku atas segala yang kau tinggalkan dahulu.

Aku ingin mengatakan padamu, kertas berlipat empat yang kau simpan di antara riang penyangba atap halte telah ku ambil. Aku menyesal telah memutuskan menghilang dari kehidupanmu. Meskipun kau tau dengan benar, aku pergi karena segalanya memang berbeda, aku tak percaya segalanya bisa berubah dan kebimbanganku pada kehidupan yang mempertemukan kita; aku rasa itu sungguh kejam.

Bunga menuruni tangga, mendekatiku yang berdiri terpaku. Memegang lenganku dan ikut menatap ke seberang.
"Tempat kita telah diduduki orang, mungkin gadis itu juga sedang menunggu seseorang, bagaimana ?" Tanyanya sambil mengarahkan pandangannya ke seberang, ke tempat kami. Ia memandangimu. Ia tak tau jika engkaulah yang telah memporak-porandakan kehidupanku, engkau yang menyemai rindu lalu membiarkannya tumbuh liar tanpa kau tau, dan semuanya itu membunuh waktuku. Mempersingkat bahagiaku.

Aku tak menjawab. Tatapanku terus memandangimu, di seberang jalan masih dengan rambut  yg bergerak menutupi sebagian wajahmu.

"Aku sangat lelah hari ini, lagipula gadis itu telah duduk di sana, ayo pulang saja." Bunga mengangguk lalu masuk ke dalam mobil. Wajah sumringahnya ingin menceritakan sesuatu.

Sepanjang perjalanan aku lebih banyak diam. Bunga bertanya padaku, dan aku menjawab seperlunya saja, tidak seperti biasanya. Pikiranku kalut, aku merindukanmu lagi. Seperti biasa, rindu yang tak pernah berkesudahan, rindu yg meraung-raung, dan tak menemui kata sepakat dengan logikaku. Telah delapan tahun berlalu, dan aku bahkan tak bisa melupakanmu, mengenalimu dalam sekali tatap, dan kemudian merindukanmu dalam hitungan detik.

Aku menghentikan mobil di depan gerbang rumahnya. Menurunkannya disitu tanpa memeluknya sebentar seperti biasa. Aku harus kembali. Bunga menatapku dari balik pagar, dengan wajahnya yg meredup, tatapan tak biasa dan raut penuh kebimbangan. Ia seperti khawatir dengan keadaanku yang tak biasa. Aku tak mengacuhkannya, meliriknya sebentar dari spion dan berlalu.

"Sammy, kamu sepertinya kurang sehat, ke dokter ya?"

Pesannya yang pertama. Aku tak membalas. Kemudian pesan kedua masuk lagi.

"Adakah yang membebanimu?"

Aku tetap mengacuhkan pesannya dan terus berburu waktu untuk menemuimu.

"Sammy, bila memerlukan bantuanku, tolong hubungi aku, aku sangat kuatir."

Pesan ketiganyapun ku abaikan.

Aku hanya berburu dengan waktu, takut engkau pergi lali tak pernah lagi muncul di hadapanku. Aku khawatir, takdir tak akan berbaik hati lagi mempertemukan kita. Takdir akan mengabaikan segala rinduku padamu. Takdir akan menolak segala tpresah yang selalu ku sampaikan padanya.

Engkau masih di sana. Aku berdiri di hadapanmu, lalu engkaupun tersenyum. Senyum pertama setelah delapan tahun, senyum lepas dan bukan senyum sejenis delapan tahun lalu. Bola matamu tetap coklat dan aku masih melihat duniaku di sana. Wajahmu berbinar, dan aku meyakini kehidupanmu baik-baik saja.

"Apa kabarmu Sammy?" Tanyamu dengan suara yang berbeda. Intonasinya tak seperti yang kudengar delapan tahun lalu, saat beban di pundakmu terasa bgtu berat, saat itu engkau menjalani hidup pada jalur yang ditetapkan org lain. Tetapi sekarang aku melihat dirimu yang lain, wanita dewasa dengan berbagai perbedaan yang mencengangkan. Engkau tersenyum bebas, bebas berkata-kata dan bebas menatap apapun.

Aku tak menjawab. Memeluk tubuhmu dengan haru. Segala rindu menghujam jantungku dengan kejam selama ini akhhirnya bermuara padamu. Segalanya telah habis dan usai dan bertumpu padamu.

Kecerobohan RINDU /on Going/Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang