BAB 2 - Penasaran Mencengkram

32 3 0
                                    

Pernahkah kamu tak tidur semalaman karena memikirkan seseorang yang belum kau kenal, yang terlihat sepintas tanpa menunjukan wajahnya? Pernahkah kamu berharap pagi bersegera menjemput dan sungguh-sungguh memohon pada kehidupan untuk mempertemukan kalian di tempat pertama kali engkau melihatnya? Aku bahkan mengoyak mimpi-mimpi indahku hanya untuk menikmati dekit-detik kepenasaranku soal seseorang itu. Aku menyebutnya rindu. Di atas pijakanku pada bumi, dan langit yang memayungi kehidupanku, aku benar-benar ingin melihat gadis itu lagi.
______________________________________________________________

Kepalaku melongo setiap kali melintasi gedung kampus FKIP, mencondongkan ke arah jendela bis dan memastikan melihatmu di sana dalam harap. Dan setelah sesudahnya, aku selalu menyesali kebodohanku karena tak bisa melihatmu.

Setelah gagal menangkap wajahmu, aku akan datang pagi-pagi sekali menunggu di halte sampai pukul tujuh lewat empat puluh lima menit, saat perkiraanku bis yang kutumpangi adalah yang terakhir, yang memungkinkan aku tidak terusir dosen dari ruangan kuliah.

Seminggu sudah, dan aku masih berharap melihatmu, paling tidak lewat isyarat kemeja merah, sepatu coklat atau ransel hitam dengan pin berwarna kuning. Aku masih menaruh harap itu di tengah lelah dan bosanku dengan tugas kuliah yang menumpuk. Aku memikirkanmu sepanjang hari, aku berharap-harap sendiri jikalau semesta merancang pertemuan tak terduga antara kita dan aku bisa melihat wajahmu.

Mungkin ini yang disebut jatuh cinta. Aku belum pernah mencintai wanita manapun sebelum ini. Aku hanya yakin bahwa cinta akan datang dengan sekali tatap saat ada persinggungan antara apa yang ditatap dan debaran di hati. Dan kamu melakukannya dengan sempurna. Kamu membuatku tak tidur, dan debaran hatiku perihal dirimu tak bisa ku kendalikan lagi.

Meski tak sempat melihat wajahmu namun persinggungan antara mataku dengan ragamu memanen rindu dalam malam-malamku, memberiku ruang untuk mencoba mendatangi kehidupan dengan semangat yang lebih untuk menjumpaimu dan mencari jawaban soal debaran di hatiku begitu kuat. Kecerobohanku melumpuhkan seluruh malamku dan pikiran tentangmu kembali merajalela, memompa semangat dan harapku untuk menemuimu lagi.

Harapku adalah menumpangi bis yang sama, lalu melihat wajahmu saja. Duduk disampingmu adalah bonus yang bernilai miliaran rupiah. Tetapi itupun tak kunjung tiba. Sudah seminggu dan bahkan kemeja merahmu atau ketsmu sama sekali tak terlihat. Lima hari tepatnya aku bersitegang dengan asap kendaraan demi menunggu kesempatan melihatmu. Aku sabar menanti itu.

Seminggu lagi, harapku dalam hati dan akan ku tangkap tatapanmu. Jangan lagi kau sembunyikan dengan gerai rambutmu. Memang indah rambutmu, ikal dan hitam legam, tapi aku ingin mencuri wajahmu, sekali saja. Ku ingin menemuimu dalam tatap tak sengaja, dan aku akan menghafal bola matamu, memperhatikan duniaku, dan menyimpanmu gambar wajahmu di dalam hati. Bukankah kekuatan perasaan akan membuat seseorang mudah mengingat setiap hal sekecil apapun meski hanya dalam sekali tatap, iya benar adanya pernyataan itu.

Seminggu sudah, kau mncuri beberapa potong hidupku, kau rampas beberapa centi ingatan, dan aku tak mampu merampas wajahmu untuk kesematkan dalam memory dgn gambar yang lebih sempurna, masih abstrak, belum kuberi nama dan tetap sulit untuk menuangkanmu dalam puisi atau lirik.

Seminggu lagi, dan kuyakinkan diriku tentang itu, aku akan menemukanmu dalam bis kampus entah pada kursi baris ke berapa , entah jam berapa, kita akan bertemu di pintu bis dan aku akan mengikuti gerakmu, saat engkau memalingkan wajah, yah aku menatapmu dan menangkap wajahmu dalam mataku lalu cepat-cepat menyimpannya di dalam hati. Kita akan bertemu dengan cara seperti itu, bila itu sulit dengan cara yang lazim, aku akan menginjakan kakiku ke ujung sepatumu, engkau bersungut marah dan beradu tatap meski akhirnya kau memasang wajah tak ramah dan aku tetap punya koleksi senyum terbaik untuk kusuguhkn padamu. Itu inginku.

Seminggu itu, puntung-puntung rokok berserakan ditempatku pertama kali melompat ke dalam bis lalu melihatmu dan malam harinya berserakan dalam kamar kos empat kali enam milikku.

_____________________________________________________________
Seminggu sudah, dan masih ku sesali mengapa aku gagal menangkap wajahmu dalam retinaku. Lalu seperti apa cinta itu, serumit apa ia bila dibandingkan dengan perasaan yang lain? Mengapa ia selalu memaksa kita melakukan hal-hal yang bahkan kita sendiripun tak tau mengapa seperti itu. Mengapa ia tak berujar saja pada mereka yang kita cintai tentang perasaan kita, seperti ibu yang selalu bilang "Ibu tau engkau sangat menyayangi ibu" lalu aku mengangguk membenarkan itu. Harusnya engkau pun tau tentang itu. Tetapi cinta ini baru aku yang rasakan dan engkau jelas-jelas belum menyadarinya.

Kecerobohan RINDU /on Going/Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang