"Bolehkah kita berteman, bertukar cerita atau apa?" Tanyaku sambil mengarahkan tatapan ke arah jalanan yang bermandikan debu, asap knalpot dan dipenuhi lalu lalang kendaraan.
Engkau tak bergeming. Tatapanmu tetap saja ke jalanan.
Tanganmu mencengkram ransel hitam di pangkuanmu dan aku sedang menahan diri untuk tidak menghirup asap nikotin. Ada yang lebih nikmat dari itu, wajahmu dan bola matamu lebih membuatku kecanduan menatapnya.
Aku baru saja mengenalmu seminggu yang lalu dan aku tak bisa menolak suara hatiku untuk menjadi temanmu. Engkau tak merespon, apakah engkau sedang berkutat dengan pikiranmu sendiri, atau mempertimbangkan untuk mengiyakan permintaan pertemanan kita?
Ku sadari, ini bukan dunia maya, sekali klik dan kita akan menjadi teman selama-lamanya, tetapi menjadi teman di dunia nyata tak seinstan itu nantinya, proses maupun konsekuensinya. Sebab setelah engkau mengiyakan, aku akan menemuimu, bercerita atau apapun yang sewajarnya di kehidupan nyata.
"Zelda, bolehkah..." tanyaku sekali lagi dan engkau menoleh.
Aku tak bisa melanjutkan perkataanku, tepatnya frase yang tersisa untuk melengkapi pertanyaanku. Semuanya terkunci dengan tatapanmu. Tak ada lagi yang bisa ku perbuat selain menatapmu saja dengan dada berdegup, irama napas yang terkejar dan tangan yang mulai dingin.
"Kenapa harus? Kita bertemu disini setiap pagi, bertemu lagi di setiap senja, aku menyisihkn dua menit di pagi hari untuk mengobrol denganmu dan drlapan menit di sore hari untuk mengobrol denganmu di sini, indikator apa yang lebih baik untuk menyebut kita bukan teman?" Engkau berujar dengan kalimat yang cukup panjang.
Baru kali ini aku mendengar kalimat panjang keluar dari mulutmu. Tapi hatiku bergirang, yah ini pertemanan. Teman sepuluh menit. Teman mengobrol.
Sesuatu memang harus dimulai dari yang sederhana. Seperti pertemanan sederhana ini yang dibatasi waktu sepuluh menit. Bagaimana aku harus memilih hal yang paling penting saat bersamamu untuk kusampaikan, sebab waktu kita hanya sepuluh menit perhari. Berharga? Iya, sepuluh menit yang meledakan jantungku. Sepuluh menit yang merakit pikiranku tentang dunia dan hidupku kelak denganmu.
"Sepuluh menit waktumu untukku, itu sudah cukup ku sebut teman. Aku bahkan tidak mengobrol dengan siapapun lebih dari 3 menit." Katamu lagi.
Dan aku tersenyum lagi, bersorak di dalam hati. Mungkin sepuluh menit berpeluang menjadi sejam, dua jam lalu tiga jam dan seterusnya kita akan mengobrol tanpa dibatasi waktu yang kau tentukan, butuh proses dan ketekunan lagi untuk menerobos duniaku, yang ku yakini tepat berada di bola mata coklatmu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kecerobohan RINDU /on Going/
Romantikaku sedang belajar untuk mendamaikannya dengan hati, sebab bagian bernama rindu itu tak bisa kuhindari dalam sekali klik. aku memapah rindu itu bersamaku dalam bayangan dan kenangan, membuatnya begitu ceroboh merebut duniaku yang dahulunya begitu...