Kadang perasaan kehilangan tak selalu tentang orang yang memberikan sebuah rasa bernama cinta, memupuk getaran bernama rindu dan kemudian berlalu untuk alasan-alasan yang mengecewakan seperti yabg kau tinggalkan. Kehilanganpun bisa berbentuk kejanggalan menghabiskan hari tanpa mereka yang terbiasa menemani dalam nama yang berbeda, bukan pacar ataupun kekasih atau seseorang sepertimu yang selalu kau letakan di atas segala perasaanmu sebagai yang paling berpengaruh terhadap hati, tetapi kali ini aku rindu padanya, pada Bubga, pada teman berbagi duka.
Sudah dua hari, Bunga tidak masuk kantor, mejanya kosong, dan tentu saja aku merasa beberapa potong hidupku aneh. Teh lemon tidak sesegar rasanya saat meneguk berdua sambil bertukar cerita, juga kursi di depanku yang kosong terasa hambar, cafe ini seperti mati, dan yang ada di sekitarku adalah patung.
Juga beberapa inginku untuk memastikan hidupmu baik-baik saja belum sempat kutanyakan padanya, meminta keputusan dan pertimbangannya bersama. Aku hanya terbiasa melihatnya melewati mejaku dengan langkahnya yabg cukup cepat, tatapannya yang selalu tegas, tetapi kelembutan dalam setiap tuturnya, dan ketika ia tak ada di sini, aku seperti merindukannya. Tak sedalam rinduku padamu, rindu dengan segenap hati, menekan dada berkali-kali utk menetralkannya dan tersenyum sedih menerima kenyataan tentang dirimu. Aku hanya merindukan suasana yang ia ciptakan saat bersamaku.
Aku memutuskan menemuinya sepulang kantor. Ia tampak membaik, hanya kelelahan. Kami berbincang di teras samping rumahnya, di depan sebatang pohon pinus berdaun lebat. Aku teringat pada angsana depan katedral yg memisahkan kita, yg membatasi duniamu dan duniaku, lalu memisahkan semua yg kau anggap lazim dan ku anggap kolot. Kamu seharusnya sudah berlalu, bisikku dalam hati.
Kami berbincang tentang suasana kantor dengan dua cangkir teh hangat, lalu akupun pamit pulang tiga puluh menit sesudahnya. Bunga mengantarku ke depan.
"Sammy, aku telah banyak salah paham, berpikir terlalu keras, bahkan aku hampir merasa memiliki sesuatu meskipun itu hanya seperempat dari seluruh yang ia punya." Katanya dengan bahasa yang kurang dipahami pikiranku.
Aku bingung mendengar perkataannya dan selama ini memang hanya aku yang mendominasi percakapan kami setiap kali dengan keluhan, luka, kecewa dan tentu saja ia mendengarnya dengan saksama tanpa memotong.
Ia selalup sabar menunggu nadaku merendah, juga sabar menunggu gilirannya menguatkanku, sedangkan aku tak pernah bertanya padanya. Aku mengangkat wajah dan memandangnya sambil tersenyum kecil. Berpikir ia bermasalah dengan pria yang pernah membuatnya jatuh cinta.
"Bunga, kamu sedang sakit dan kelelahan, masuklah dan istirahat, saat engkau sembuh nanti kita akan bercerita tentang orang itu dan aku akan mencarinya bila ia juga berdiam di kota ini, siapa yang berani sekali menghancurkan hati gadis sekuat ini." Kataku bercanda. Berharap dia terhibur dan melupakan apa yang bari saja diucapkannya.
Ia maju mendekatiku, spontan memelukku lima detik, sepersekian milimeter jaraknya dari tubuhnku, melepaskannya lalu masuk ke dalam rumahnya tanpa menoleh. Menutup pintu lalu mematikan lampu.
Entah debar apa yang ku rasa, tetapi aku mengkategorikan itu hanya debaran kekagetanku saja. Aku kembli pulang dengan perasaan yang tak seperti biasa, menyusuri kota dengan bertanya-tanya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kecerobohan RINDU /on Going/
Romanceaku sedang belajar untuk mendamaikannya dengan hati, sebab bagian bernama rindu itu tak bisa kuhindari dalam sekali klik. aku memapah rindu itu bersamaku dalam bayangan dan kenangan, membuatnya begitu ceroboh merebut duniaku yang dahulunya begitu...