Bersenda gurau, bercanda dan tertawa. Engkau tetap cantik. Juga bola matamu berbinar-binar. Adakah belenggu budaya yg mencengkrammu telah mampu kau hempaskan? Aku pikir iya. Mungkin engkau telah memenangkan segala hal yang mengikatmu. Engkau telah menjinakan pemikiran-pemikiran yang mengekangmu.
Sekarang engkau kembali dengan energi dan warna yang baru, ada dunia yang bahagia di sudut matamu, ada kehidupan atas pilihan bebasmu. Segalanya tentangmu masih sama, juga aku dan perasaanku. Segalanya masih menggebu-gebu seperti delapan tahun yang lalu. Apapun yang aku lakukan atau pikirkan, jika teringat akanmu, maka segalanya seperti ruang sesak di dada yang pada akhirnya hanya tentang engkau disana.
"Bagaimana engkau sampai di sini?" Aku bertanya dan berharap akulah alasanmu datang ke tempat itu. Paling tidak karena ingin bertemu denganku, juga rindu yang kau simpan untukku.
" Apakah kamu tidak rindu pada gadis yang kau kencani sepuluh menit perhari di halte bis?"
Engkau bertanya dengan suara pelan. Memastikan akupun rindu. Yah, soal itu janganlah engkau pertanyakan. Sejak hari pertemuan kita, sampai saat ini, yang ku lewati adalah selalu tentang kerinduan padamu.
Meski tak sebesar dan sedalam yg kupunya, kuharap mereka tetap bernama "rindu" di hatimu. Mereka tetap sama.
"Iya, aku merindukanmu. Semuanya tentangmu. Segala yang berkaitan denganmu. Aku terasing di kehidupan ini selama delapan tahun, ku habiskan detik menit jam dan hari dengan memikirkanmu. Seolah-olah duniaku terbatas pada mata coklatmu." Jawabku dengan suara sendu.
"Aku tau, aku mencari dan menunggumu di halte bis sepulang kampus, aku rindu kencan sepuluh menit kita. Tetapi engkau tak pernah lagi menungguku, aku bahkan menunggu sampai bis kampis terakhir memastikan engkau ada di sana dan aku bisa berbicara denganmu." Katamu dengan suara terbata-bata.
Aku menggeser kursiku, mendekatimu dan memeluk punggungmu. Menyeka air matamu yang sedari tadi tak berhenti mengalir. Membiarkanmu sesenggukan dalam pelukanku.
"Aku berteman dengan pemilik cafe ini, dan ia pernah memposting foto yang di dalamnya kulihat engkau duduk seorang diri di meja ini, terkadang bersama seorang wanita berkaca mata, dan wajahmu selalu terlihat sedih." Masih dengan suara terbata-bata engkau mengeja kata per kata.
Hidupku memang telah kupasrahkan. Ku pikir kehidupan menghukumku atas keegoisanku tak melepasmu. Ku pikir takdir sedang mengutuk aku yang tak membiarkan kamu bahagia. Tetapi tak semuanya benar-benar buruk. Hari ini ku lihat engkau dengan wajah sumringah, bola matamu terus memancarkan bahagia dan tentu saja aku yg sedari tadi duduk di hadapanmu menikmati bahagia yang berlipat-lipat.
"Bagaimana dengan pria yg membelisimu?" Tanyaku mengawali perbincangan yang cukup serius.
Engkau menutup mulutku, memberitahu bahwa saat ini kita tak perlu membahas itu. Engkau menatapku dengan kesedihan yg mampu ku lihat dengan jelas, bahkan kesedihan itupun terkait dengan hatiku dan aku tak bisa membohonginya. Engkau bangun mendekatiku lalu memelukku hangat. Dadaku bergemuruh, rindu meluap-luap dan tentu saja jantungku nyaris berhenti berdetak.
Rindu yang ceroboh kembali bersorak girang. Aku sungguh merindukanmu. Segalanya tentangmu, yang bisa hilang sebentar namun selalu datang lagi dengan seenaknya. Aku menemukan gadis lain yang bersamaku selama enam tahun, Bunga dengan segala keadaannya yang menyamankan, tetapi tentang rindu yang menggoyahkan beberapa kekuatan hati yang pernah dibangun untuk melupakanmu, engkau tetap sang juara yang memporak-porandakan semuanya.
"Kami tidak jadi menikah, dia telah menikah dan memiliki seorang putri." Jawabmu masih dalam pelukanku.
"Aku selalu menunggumu di halte bis, menulis surat berlipat empat, tetapi tak pernah ada balasanmu, aku menunggumu sambil mengambil kembali surat-suratku dan membuangnya, tetapi yang pertama kubiarkan tetap di situ." Katamu sambil menggenggam erat tanganku.
"Maafkan aku, aku pikir setelah menjauhimu semuanya akan berlalu, nyatanya tidak. Segala yang berkaitan denganmu semakin menggerogoti hidupku. Aku tak menahannya. Meski ku coba hentikan, semuanya semakin menyakitkan." Jawabku.
Aku mengelus-elus kepalamu, memastikan kecewamu tidak terlalu dalam, aku merasakannya, merasakan sedihmu yang berturut-turut. Aku mengambil surat itu dua tahun lalu, tetapi tak mencarimu. Kupikir hidupmu bukan seorang diri lagi, kupikir engkau telah memiliki mimpi-mimpi itu, dan aku tidak ada di dalamnya. Sekarang engkau malah sedang dalam pelukanku. Apa yang lebih indah dari ini, aku tetap menyimpanmu di hatiku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kecerobohan RINDU /on Going/
Romanceaku sedang belajar untuk mendamaikannya dengan hati, sebab bagian bernama rindu itu tak bisa kuhindari dalam sekali klik. aku memapah rindu itu bersamaku dalam bayangan dan kenangan, membuatnya begitu ceroboh merebut duniaku yang dahulunya begitu...