BAB 10-Teori Keajaiban

20 4 0
                                    

Kota ini benar-benar basah. Genangan air mendiami sisi-sisi jalan, parit, kali kecil dan tentu saja jalanan berlubang yang menampung benda cair itu dengan kapasitasnya.

Lalu akhirnya, dengan pasrah langit kelelahan dan berhenti menumpahkan airnya, diam seketika seperti si penurut yang dihardik preman. Pepohonan berdiri membeku, dedaunan mengatup dan tentu saja angin kecil sedang berusaha merenggut tetesan-tetesan yang tertinggal di atas dedaunan untuk kembli dijatuhkn ke tanah.

Alam sedang menceramahiku dengan teori "keajaiban". Hujan ditengah kemarau adalah sampelnya. Aku berharap teori keajaiban itu berlaku pula untuk diriku dan dirimu. Ada keajaiban-keajaiban yang dihadirkan semesta untuk mendekatkan kita. Ada hal-hal di luar perkiraan kita yang memberi ruang untuk perasaan dan hati kita bersemi. Keajaiban itu seharusnya segera menghampiri kita.

Aku menyulut rokok, dan tak masalah kali ini sebab tak ada gadis berkacamata yang memasang wajah jengkel. Aku seorang diri yang berstatus penumpang bersama kondektur dan supir angkot. Mengepulkan asapnya keluar pintu sembari menghafal dua belas digit angka yang tertulis di lembar kertas berlipat empat, dan perasaanku? Lebih bahagia dari pada mendapat lotre semiliar. Tersenyum kecil, mengepulkannya lagi, membuangnya ke alam bebas dan akhirnya terlempar keluar pintu angkot, menerobos dingin lalu terkapar bersama puntung-puntung lain di atas aspal. Merendam diri dalam air hitam.

"Aku sudah di kos, bagaimana keadaanmu? Kehujanan tadi?"
Sammy.

Aku membuka percakapan melalui pesan singkat. Berharap meski tak banyak waktunya di kehidupan nyata, setidaknya pesan singkatku yang menghampirinya membuat kami menjadi akrab. Saling mengabari, meminta pendapat atau bercanda lewat deretan huruf yang tersusun di layar handphone. Kita tak perlu tertawa bersama di saat yang sama, kalaupun itu bisa diganti dengan tertawa saat membaca pesan.

Ketikan pesan itu terkirim dan dengan cepat memberi tanda centang pada kotak pesan bernama "gadis sepuluh menit". Lama aku menunggu jawabanmu, dua menit, menit menit lalu empat belas menit saat angkot berhenti di depan gang dan akupun harus turun. Tak ada jawabanmu, paling tidak kata "iya" tanpa harus menjawab pertanyaan-pertanyaan berikutnya. Aku menunggu balasanmu, memperhatikan layar telepon genggamku, memperbesar volumenya, dan terus menunggu. Tugas kuliahpun hampir rampung, pukul tiga lewat dua puluh satu menit, hampir pagi, tak ada balasanmu.

Aku rebah, dan masih dengan keadaan susah terpejam. Engkau seperti tersenyum di tembok kamarku, dan bola mata coklatmu semakin menggoda. Cepatlah pagi, aku harus menemuimu. Duniaku terbatas pada mata coklatmu, jangan membiarkan aku terlalu lama berjauhan dengannya, itu sungguh menyiksa.

Oh maaf, kau memang tak mengerti, hanya aku, lalu perasaanku lalu aku mengemudikan perasaanku menujumu. Teori "keajaiban" lebih berlaku untuk alam dan tidak untuk hal sesepele ini, seperti jemarimu yang mengacuhkan pesanku. Aku kaget setiap lima belas hingga dua puluh menit hanya untuk memeriksa handphoneku. Memastikan tak ada kesan aku mengabaikan pesanmu.

Dan pagi kembali datang, membawa aku dalam pemikiran pertamaku saat membuka mata, aku menunggumu di halte bis untuk membayar delapan menit tersisa, ditambah dua menit seharusnya, dan hari ini kita akan berkencan paling tidak delapan belas menit, sepuluh menit di pagi hari dan delapan menit di sore hari.

Kecerobohan RINDU /on Going/Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang