Langit kota begitu mendung. Mungkin keajaiban alam akan terjadi lagi. Hujan akan menyirami, lalu genangan air akan menghias jalan, memantulkan beberapa episode keadaan yang membuat aku terkenang tentangmu. Mencari wajahmu dalam bis, menemukanmu di halte lalu mendengar penuturanmu di bawah angsana katedral yang meruntuhkan hatiku, meremukan lapisan-lapisannya begitu saja.
Proses menyukaimu memang datang tiba-tiba, saat melihatmu pertama kali meski hanya rambutmu saat itu, aku berkeyakinan bahwa duniaku adalah bersamamu. Pilihan berpikir yang naif sebenarnya, tetapi perasaan dan hati tak bisa menolak untuk terus melakukan hal-nal itu. Menyukaimu dan perlahan-lahan aku betusaha mendekatimu.
Tetapi demikianlah perasaan, meski ia menemukan tempat yang dirasa pantas untuk berada di sanam tetapi tak selamanya akan mendapatkan jawaban dan balasan serupa. Akhirnya aku menyerah hanya dengan sebuah kalimat : "Aku gadis bermahar, bahkan maharku pun telah lunas, artinya telah ada pria yang meminangku, membiayai hidupku dan mendekatkan aku ke mimpi-mimpiku".
Aku menatap tembok kamar, melihat wajahmu yg tak lagi berbentuk, kepulan-kepulan asap pun tak membentuk sketsa bola matamu dengan jelas dan kertas-kertas putih itu hanya berisi huruf dan angka yg membosankan.
Juga mendung, jangan menceramahiku lagi tentang teori keajaiban, bukankah kencan sepuluh menit yang kita lakoni hanya seperti mendung yang hitam, lebat tetapi tak pernah menjadi hujan? Ada rindu tentangmu di hatiku, ada perasaan yang tak sepenuhnya bisa membenci, ada engkau dalam harapku, ada namamu yang tak berhenti kubatinkan. Aku menghempaskan rindu ini, memaksanya pergi dan sebaiknya meninggalkan aku, tetapi ia menolak dengan sombong. Memilih menetap dan mendiami hati.
"Bagaimna rasanya Sammy? Bagaimana engkau mengikuti wanita yang bahkan maharnyapun telah dilunasi? Kau mencuri tatapannya, wajahnya dan bayangannyapun kau simpan rapi dalam tidurmu?" Takdir menceramahiku.
"Dan nanti rahimnya harus mengandung sebanyak-banyaknya anak lelaki untuk pria yang membelisinya sebab keluarganya menginginkan banyak anak laki-laki untuk sukunya? Bagaimana mungkin kamu begitu ceroboh mengambil pemikiran semudah itu tanpa meminta persetujuannya?" Takdir membodohiku.Apakah ia pernah mengiyakanmu? Tidak? Kamu begitu mudah mengagungkan cintamu, dan melabeli matanya sebagai duniamu? Lalu berteriak-teriak menyalahkan budaya konservatif yang dianut orang tuanya? Ia tak salah, ia tak memilih, hidup dan nasib menyeretnya ke sana, dan dia adalah penurut yang baik. Keberterimaan akan hidupnya adalah pengakuan atas baktinya sebagai seorang anak, seorang gadis yang menuai pujian nantinya dengan cerita maharnya.
Aku meninju tembokku semalaman. Puntung-puntung rokok berserakan dan tugas kuliahpun tak ku pedulikan. Seharusnya kamu menolak saja, menolak semua pilihan itu, oh ya itu bukan pilihan, itu adalah pemaksaan. Bahkan shampo untuk rambutmupun harus dia yang belikan? Siapa dia? Aku penasaran hampir mati, cemburu menggila, dan dadaku meletup-letupkan amarah.
Seharusnya engkau melawan itu, meneriakan emansipasi ke telinga mereka. Seharusnya ketika pria itu membelisimu, engkau tak boleh menurut dan menolak. Seharusnya kehidupanmu tak diintervensi sejauh itu. Seharusnya engkau demgan bebas menentukan pria yang akan kau nikahi, jatuh cinta, merindukan lalu membentuk pikiran-pikiran dewasa tentang jodoh. Seharusnya engkau menyeret mereka untuk berpikiran moderen. Bukan malah mengikuti aliran hidup yang ditentukan orang lain.
Dan kalaupun itu artinya, bolehkah kita bersama melawan itu? Menyurati semesta secepat mungkin, mengirim pesan padaNya di malam-malam sepi, mungkin itu saja diriku yang dengan dada bergemuruh mengingatmu dalam luka.

KAMU SEDANG MEMBACA
Kecerobohan RINDU /on Going/
Romanceaku sedang belajar untuk mendamaikannya dengan hati, sebab bagian bernama rindu itu tak bisa kuhindari dalam sekali klik. aku memapah rindu itu bersamaku dalam bayangan dan kenangan, membuatnya begitu ceroboh merebut duniaku yang dahulunya begitu...