Eve

1.4K 160 12
                                    

Disclaimer dan warning masih sama... :)

Happy reading

-------

"You can't stay a child forever" the pain of being shaken off remains

I shut the feelings you spoke with such innocence inside my chest  


"Mereka bilang, aku tak bisa menjadi kecil selamanya... ", sosok itu berkata dengan muram sebelum kemudian melihat ke arahnya dan tersenyum menyedihkan. 

"Tapi bagiku, masa-masa saat aku kecil adalah masa yang paling berharga dalam hidupku. Jika aku bisa, aku ingin tetap berada di sana selamanya... ", ia tertawa kecil.

"Aku juga....", Halilintar menunduk muram. Ia mengerti apa yang ingin disampaikan sosok di sampingnya itu. Karena ia mengalami hal yang sama. Atau lebih tepatnya karna mereka mengalami kehidupan yang sama. Sosok berkacamata yang kini duduk di sebelahnya adalah dirinya di masa depan. Artinya orang itu mengalami lebih banyak hal di banding dirinya. Halilintar jadi ingin tau, apakah dari sekian banyak hal yang terjadi, apakah di antaranya ada suatu hal yang menyenangkan? I

"Tapi takdir bukanlah suatu hal yang dapat kita ubah dengan mudah bukan?", ujarnya dengan pasrah sebelum kemudian menambahkan, "Itulah yang kupikirkan sebelum aku bertemu dengan Crey.", Halilintar dewasa memandang ke depan. Dimana Crey, orang yang mempertemukan mereka kini tengah asik bercengkrama dengan kupu-kupu cantik berwarna violet yang berterbangan di sekitarnya setelah memberikan waktu untuk mereka berdua berbicara, meski Halilintar sendiri tidak tau apa yang harus ia bicarakan dengan sosok masa depannya ini.

"Hei, katakan padaku tentang dirimu..."

Halilintar memandang sosok berkacamata itu dengan pandangan heran. Apa yang ingin ia ketahui dari masa lalu yang harusnya sudah ia hapal di luar kepala?

"Pertama-tama, berapa umurmu sekarang?"

"Lima... belas."

"Woooaahh jadi kau adalah diriku sepuluh tahun yang lalu?"

Halilintar spontan mengangguk, sambil bertanya-tanya dalam hati. Apakah di masa depan ia benar-benar akan menjadi orang yang seperti ini?

"Yahhh walau kubilang sepuluh tahun yang lalu, tapi nyatanya kita hidup di alur dunia yang berbeda. Seperti dunia paralel. Kau punya dunia dan waktumu sendiri begitu pun aku. Jadi, kita tidak benar-benar berhubungan. Hanya saja.... kita berbagi takdir yang sama....", Halilintar dewasa menjelaskan dengan tenang sambil tersenyum kecil. Dan Halilintar memahami makna ekspresi itu. Karena bagi mereka, takdir bukanlah hal yang mudah untuk diperbincangkan.

"Maksudmu?" Justru ia lebih tertarik tentang apa yang sebenarnya tengah terjadi pada dirinya. Alasan kenapa ia berada di sini. Alasan kenapa ia tiba di masa depan. Dan alasan kenapa semuanya tampak begitu berbeda.

"Mari kita ulang dari awal. Aku adalah Halilintar, tepatnya dirimu yang berusia 25 tahun. Tapi seperti yang kukatakan tadi, kita memiliki dunia kita masing-masing. Apa yang kualami belum tentu kau alami. Misalnya, apa kau memakai kacamata?"

Halilintar menggeleng. "Itu salah satu contoh sederhananya. Karena aku sudah memakai kacamata itu sejak berusia 14 tahun. Selain itu, di duniaku kami tinggal di Jepang sejak kecil. Sedangkan kau?"

"Di Malaysia."

"Aku dengar juga ayah dan ibu orang Malaysia. Tapi mereka pindah ke Jepang saat Taufan dan Gempa berusia 2 tahun."

Halilintar mengganggung paham. Sepertinya ia mulai mengerti garis besar mengenai apa yang sedang terjadi saat ini.  Mengapa ia terbangun di salah satu rumah sakit di Jepang dan mengapa ia merasa begitu asing dengan kehidupan yang ia temukan di sana.

TegamiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang