Day When We Can See You Again

1.2K 142 18
                                    


Disclaimer dan Warning masih sama...

Terima kasih atas dukungannya... 

I Love You all.... :))

Happy Reading...

--------

Surat pertama yang ia tulis, lahir di sebuah ruangan gelap yang minim cahaya. Berbekal selembar kertas usang dan pensil pendek yang tak sengaja ditemukannya di dalam sebuah kardus usang, ia mulai menuliskan segala sesuatu yang muncul di benaknya. Sebagai sebuah pengingat akan harapan yang ada dalam dirinya. Agar tak segera pudar dan agar ia tak segera menyerah. Meski ia tidak tau berapa lama lagi penyiksaan ini akan berlangsung, namun ia yakin bahwa ia masih memiliki harapan yang bisa ia perjuangkan. Ia masih memiliki keluarga yang menantinya untuk pulang.

"Untuk diriku di masa depan,

Apakah saat ini kau bahagia? Apa aku mampu menahan diriku untuk tidak memutus rantai waktumu?"

Pernah terbesit keiinginan untuk menyerah saja. Penyiksaan yang kian hari makin keji dan menyakitkan membuat ia ingin segera berhenti mencoba. Ingin diam saja dan membiarkan alur waktu membawanya kemana pun asalkan rasa sakit ini segera berakhir. Namun sebuah mimpi yang menyelinap di salah satu malam kembali menyentil tekadnya. Menguatkan hasratnya untuk bertahan. Membangun harapannya yang hampir terlelap. Namun begitu, kenyataan bahwa ia terbiasa dengan rasa sakit yang tak hanya menimpa fisik namun juga batinnya membuat ia perlahan mulai takut. Apa yang sebenarnya direncanakan takdir padanya?

"Untuk diriku di masa depan, apakah kau masih mampu tuk tersenyum?" 

Pertanyaan itu terlintas di benaknya ketika salah seorang pria berbadan besar yang menjaga gudang tempat penyekapannya tersenyum lebar ketika mendapat telpon dari seseorang. Mungkin keluarganya atau orang yang ia sayangi. Ia tidak yakin, namun hanya dengan melihat senyum itu ia tau, bahwa seburuk apapun seseorang ia masih memiliki hak untuk bahagia. Kemudian terpikir di benaknya. Akankah ada saat dimana ia bisa kembali merasakan kebahagiaan itu?

"Aku berdiri di atas bumi yang kupijak. Namun entah mengapa bumi itu terasa begitu jauh dariku. Sama seperti kau dan aku yang selalu bersama meski aku tak mampu meraihmu. Hei, katakan padaku. Apa kau masih merasakan hal yang sama saat ini?"

Ketika akhirnya Tuhan memberikan kesempatan padanya untuk bebas. Ketika ia mampu melepaskan diri dari cengkraman takdir yang begitu kejam. Ketika akhirnya setelah tahun-tahun mengerikan yang berjalan ia mampu untuk kembali melebarkan senyum. Ketika harapan yang digenggamnya tak lagi terasa jauh. Namun kenapa, tiba-tiba saja rumah tempatnya kembali menghilang dari muka bumi. Apa yang terjadi? Apa itu artinya ia akan sendirian... lagi? Lalu apa arti harapan itu?

"Seandainya hari itu aku tidak berjanji, apakah aku tidak akan merasa seperti ini??"

Masih banyak jalan kehidupan yang direncanakan takdir untuknya. Ketika ia pada akhirnya memutuskan untuk menyerah, uluran tangan dari mereka yang peduli kembali membawanya pada pangkal kebahagiaan. Meski ia tidak tau kemana kebahagiaan itu akan berujung namun setidaknya ia bisa kembali membiarkan cahaya mengikis kegelapan yang menggerogoti hidupnya. Namun begitu, ingatan akan janji yang dibuat bertahun-tahun silam kembali terbayang di benaknya bersamaan dengan sebuah mimpi tentang masa lalu yang pernah ia lupakan. Masih ada mereka. Masih ada kebahagiaan lain yang menunggu untuk diwujudkan.

"Disini, aku terjebak pada dilema yang semu. Dimana aku bertahan tuk sebuah alasan yang bahkan tak bisa kutemukan. Kau mengerti bukan?"

Namun ketika ia kembali, apa yang ia harapkan hanya menjadi harapan kosong semata. Mereka yang ia pikir akan menjadi kebahagiaannya menjelma menjadi iblis yang menawarkan penderitaan padanya. Penderitaan yang perlahan mengikis tekadnya, menghancurkan hatinya dan mencabik-cabik alasannya. Apakah ini pertanda kalau ia harus menyerah sekali lagi?

"Aku ingin berhenti disini. Aku tak sanggup lagi jika harus terus menjalani kehidupan yang menyesakkan ini. Sangat menyesakkan sampai rasanya aku sama sekali tak dapat bernafas. Hei, jika kau membaca surat ini, apakah kau masih merasakan hal yang sama?"

Bertahun-tahun berlalu, lembaran kertas usang itu kian bertumpuk di bagian terdalam lemarinya. Disimpan dengan harapan akan ada masa dimana ia akan kembali membaca surat-surat ini dan mengingat tentang perjuangan yang telah membawanya sampai kesana. Meski ia sendiri tidak yakin, apakah dirinya benar-benar bisa sampai kesana. Ke masa yang bahkan tidak ia ketahui, ke masa yang entah ada atau tidak. Sebab apa yang ia rasakan saat ini terasa begitu berat sampai-sampai ia tidak bisa lagi membedakan antara sakit, seih, bingung, marah atau kecewa. Semua perasaan itu bercampur menjadi satu dalam dirinya dan membuatnya hampir kehilangan dirinya sendiri.

"Aku berharap aku bisa bertahan disana. Namun mereka yang menjadi alasanku bertahan, mengkhianatiku seolah mengulurkan tangan waktu padaku."

Nyatanya butuh waktu yang tak sebentar untuk mewujudkan harapan itu. Meski ia sudah terbiasa. Meski ia mampu bertahan lebih kuat, namun rasa takut dalam dirinya semakin besar seiring dengan kebencian yang tiap hari dibisikkan mereka padanya. Namun sekali lagi, ia sama sekali tak yakin apakah ia akan mampu bertahan. Ketika alasan yang ia pertahankan dikhianati dan mereka yang ia pertahankan mengkhianati. Sekali lagi, apakah tidak apa-apa baginya untuk menyerah?

"Untukmu yang membaca surat ini, apakah kau masih menggenggam impian itu? Aku disini berharap bahwa kau akan terus menggenggamnya. Meski saat ini rasanya aku tak mampu. Meski saat aku menuliskan surat ini aku sudah siap akan segala kemungkinan untuk menyerah. Namun kuharap kau masih memegangnya. Karena harapanku adalah harapanmu. Dan harapan kita adalah suara yang tak terdengar. Jadi, meski kau harus menangis, aku harap tangisan itu tak lagi seperti tangsianku saat ini......."

Ketika iamenjadi semakin dewasa. Ketika waktu membimbingnyasecara perlahan menuju masa depan yang dinantikannya. Akhirnya harapannya tak lagi menuntut kebahagiaan. Hanya harapan sederhana untuk bertahan. Harapan agar dirinya di masa depan bisa menjadi lebih kuat. Bisa bertahan melalui badai kehidupan yang seakan tak pernah reda. Hanya harapan sederhana seperti itu, karena ia tau, semakin banyak waktu yang berlalu, semakin jauh pula mimpinya akan kebahagiaan. 

"Diantara barisan nama yang pernah hadir dalam hidupku, kau berada pada barisan paling akhir. Karena selama ini aku terlalu sibuk memikirkan masa lalu, sampai-sampai aku melupakan dirimu yang akan menanti di masa depan. Apakah kau masih menunggu??"

Perlahan semua terasa hambar baginya. Rutinitas yang ia jalani setiap hari seolah telah diprogram untuk tetap seperti itu. Tidak ada hal lain yang berarti. Meski terkadang rasa takut masih mengikuti. Ya, ia takut akan dirinya sendiri. Takut karena dirinya telah terbiasa diabaikan. Terbiasa di asingkan bahkan di tengah orang-orang yang ia anggap keluarga. Takut karena perlahan keinginannya untuk behagia berubah menjadi keiinginan untuk tetap bersama mereka meski dalam kondisi apapun. Ketakutan yang semakin besar tanpa ia tau cara untuk menghentikannya.

"Maafkan aku, atas semua luka yang telah kutorehkan pada masalalumu..."

Hingga pada akhirnya ia berhenti menuliskan semua perasaannya pada lembaran kertas yang takkan berarti apa-apa. Karena inilah masa depan yang ia bicarakan. Waktu yang ia rasa adalah saat yang tepat untuk berhenti. Sebab ia akhirnya memutuskan untuk berhenti berharap dan mencoba. Cukup menjadi dirinya dan berada bersama mereka, maka ia akan baik-baik saja. Ya, itulah yang ia pikirkan ketika memutuskan untuk mengakhiri tulisan itu. Namun satu hal yang tidak pernah ia ketahui, bahwa setelah itu semua surat yang ia simpan rapat-rapat menghilang tanpa jejak. Di bawa sang perantara takdir pada masa depan yang seharusnya. 

"Namaku Crey. Dan Halilintar, aku akan menyampaikan surat ini pada masa depanmu."

-------

To be Continued

TegamiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang