Movement

955 106 13
                                    

Disclaimer:

Boboiboy is always monsta's

-------

Dia membuka mata dan menemukan langit yang sama terbingkai di penglihatannya. Langit yang berwarna biru pudar dengan sapuan kuning, jingga, merah muda dan biru yang lebih tua. Langit yang sama yang telah ia lihat entah sudah berapa lama. Ia sudah tidak bsia menghitung waktu lagi semenjak ia memutuskan tinggal di tempat itu. Tempat yang disebut sebagai dimensi perantara. Tempat yang menjadi pelariannya ketika ia tidak bisa kembali ataupun melangkah maju.

"Sampai kapan kau akan berada disini?"

Ia masih berbaring menatap langit. Bukannya tidak menyadari hanya saja malas untuk menanggapi, ketika pertanyaan masihlah berkaitan dengan pendirian diri. Ia sudah memutuskan, ia akan berhenti. Tidak akan maju dan tidak akan mundur. Lagipula tidak ada hal lain lagi yang ingin ia capai. Ia sudah terlanjur lelah dengan segala hal yang terjadi. Lelah dengan upaya yang berhasil nihil. Lelah dan hidup yang seolah tak pernah mengecap bahagia. Jadi, jika kini ia memutuskan untuk berhenti, maka bukan salahnya bukan?

"Kau tau, mereka membutuhkanmu lebih dari apapun." Suara itu terdengar lagi. Kali ini sarat akan penyesalan dan kalau boleh ia tambahkan, terselip iri di dalamnya. Lintar menoleh, hanya menatap melalui ujung mata. Sosok dirinya yang lebih muda itu juga tak menatapnya. Pandangannya jatuh ke bawah, entah melihat apa.

"Tidak seharusnya kau memberikannya padaku. Tidak seharusnya kau menawarkan kebahagiaan semu padaku. Apakah aku tidak boleh berhenti? Kenapa semuanya terasa lebih berat?" Remaja itu terdiam, kedua tangannya mengepal erat. "Kenapa harus aku?" lirihnya kemudian. Bahunya yang sempat terlihat tegang, kini melemas. Tangannya pun telah berhenti mengepal dan kepalanya perlahan terangkat dan menatap lurus iris di balik lensa itu.

"Mereka membutuhkanmu, bukan aku." Akhirnya hanya itu yang bisa ia katakan. Lintar tetap tidak bergeming. Kedua matanya kembali ia arahkan pada langit. Memandang jauh entah mencari apa.

"Kaulah yang saat ini dibutuhkan oleh mereka." katanya pada akhirnya. Ia mendengar suara terkesiap namun masih menolak untuk mengalihkan mata. Pemandangan di atas saat seolah sayang untuk dilewatkan, padahal nyatanya ada banyak hal yang telah ia lewatkan.

"Kau sedang mencoba membohongi siapa?"

Kali ini Lintar tersentak. Matanya yang dilindungi lensa itu membelalak sempurna dan ia menarik tubuhnya untuk duduk. "Siapa yang kau coba bohongi?" Halilintar bertanya sekali lagi. Kegundahan dalam suaranya lenyap berganti dengan keteguhan dan ketenangan.

"Diriku atau dirimu sendiri?"

"Aku tidak tau apa yang kau maksud."

"Satu lagi kebohongan. Dan kau pikir hal itu cukup untuk melindungi dirimu?" Halilintar melangkah menghampirinya. Kedua pasang iris yang serupa bertemu dalam satu garis pandang. Setelahnya tak ada yang bersuara. Tenggelam dalam sunyi dan membiarkan waktu yang mengambil alih.

"Kau yang paling tau kalau kau sedang mencoba membohongi dirimu sendiri dengan menjadikanku sebagai korban keegoisanmu. Kau pikir aku senang dengan kebahagiaan semu yang kau tawarkan sementara aku tau kalau orang yang mereka butuhkan adalah kau dan bukannya aku. Apa lagi yang membuatmu takut untuk kembali?"

Lintar adalah orang pertama yang memutuskan garis pandangan mereka. Ia membuang wajahnya dan berusaha menatap hal lain selain Halilintar. "Kau tidak mengerti." gumamnya. "Apa yang aku perjuangkan adalah......."

-------

"Maaf Nona, bisa bicara sebentar?"

Yaya menatap pria dewasa di depannya dengan alis terangkat. Pasalnya ia tidak terbiasa bicara dengan orang yang tidak dikenal, terlebih orang itu adalah seorang pria dewasa. Meski sudah menginjak usia belasan, tapi Yaya masih mengingat dengan jelas pesan orang tuanya kalau ia tidak boleh bicara sembarangan dengan orang asing. Selain itu, entah mengapa gadis itu merasa ada sesuatu yang aneh dengan pria di depannya.

TegamiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang