Chap 2: Arrival

2.6K 250 6
                                        

"Jinseok, apakah kau bisa sedikit lebih cepat? Ini sudah siang."

Seokjin memasukkan pakaian kotor di tangannya ke mesin cuci dengan kasar dan memberengut.  Dia berkacak pinggang dan menghela napas kesal ketika melihat Namjoon yang duduk bermalas-malasan di bangku.

"Jika kau ingin aku cepat selesai, bantulah aku, Namjoon-ah. Dan jam 8 itu masih terhitung pagi," Seokjin lanjut memasukkan pakaian kotor ke mesin cuci.

Namjoon melihat malas kekasihnya yang kembali sibuk. Dia menyesal sudah menawarkan Seokjin untuk membersihkan apartemen perempuan itu. Tapi hei, setidaknya dia bisa membawa kabur Seokjin lagi ke Hongdae.

Dia tersenyum ketika mengingat kejadian dua hari lalu. Ya, dia ingat bahwa Seokjin sedang menghadapi ujian mid-term di kampusnya. Tapi Namjoon pikir Seokjin terlalu memaksakan diri untuk belajar padahal Seokjin tergolong pintar. Itulah kenapa Namjoon membawa Seokjin pergi ke Hongdae untuk sedikit refreshing.

Dan soal Seokjin yang tergolong pintar, perempuan itu sebenarnya lumayan mahir di bidang manajemen. Padahal perempuan itu berkuliah di jurusan Departemen Film.

Namjoon mungkin CEO di perusahaan keluarganya, tapi dia terkejut ketika Seokjin dapat menyelesaikan masalah keuangan perusahaan beberapa bulan lalu. Bahkan perempuan itu yang mengatur separuh perencanaan untuk memperbaiki masalah. Yang Namjoon lakukan hanya mengevaluasikan pekerjaan sang kekasih.

Namjoon terkekeh ketika mengingat wajah-wajah rekan kantornya pada hari itu. Sepertinya bukan hanya dia yang terperangah dengan keahlian Seokjin dalam bidang manajemen yang tiba-tiba muncul. Tapi perempuan itu suka memaksakan dirinya sendiri padahal Namjoon tahu Seokjin akan lulus seratus persen.

"Kau terlalu memaksakan dirimu, Jinseok."

"Siapa?"

Namjoon menunjuk Seokjin dengan jari telunjuknya. Perempuan itu kemudian meniru Namjoon dengan menunjuk dirinya sendiri. Dan Namjoon pun tertawa melihat ekspresi bingung Seokjin.

Seokjin mengerutkan alisnya, "Maksudmu?"

Namjoon berdiri dan berjalan menghampiri Seokjin. Dia kemudian mengambil pakaian yang masih ada di dalam hamper dan memasukkannya ke dalam mesin cuci.

"Kau seharusnya santai saja untuk ujian mid-term ini. Aku tahu dan yakin kau akan lulus seratus persen," jelas Namjoon.

Namjoon menutup mesin cuci dan memasukkan detergen beserta koin laundry dan menekan beberapa tombol sebelum mesin cuci itu bekerja.

"Namjoon, aku baru akan lulus lima belas bulan lagi. Dan bagaimana jika skripsiku nanti tidak diterima?"

"Jangan khawatir, kau pasti akan lulus. Seratus persen," ujar Namjoon dengan penuh penekanan.

Seokjin menghela napas. Terkadang kekasihnya itu bisa terlalu percaya diri. Tapi itulah salah satu hal yang Seokjin ingin miliki.

Dia ingin percaya diri seperti Namjoon. Dia ingin seberani Namjoon. Dia ingin sepintar Namjoon. Dia ingin sebahagia dan segembira Namjoon. Dia ingin sebebas Namjoon. Dan masih banyak lagi.

Seokjin meringis ketika dia merasakan rasa sakit di dahinya. Dia menatap tajam pria di depannya yang baru saja menjentik dahinya.

"Yaa! Kenapa kau melakukan itu?!" Seokjin berteriak kesal.

"Kau seharusnya jangan iri padaku, Jinseok. Syukurilah apa yang kau punya saat ini."

Seokjin mengerutkan dahinya bingung.

"Kau baru saja mengatakannya dengan keras," jawab Namjoon.

Seokjin semakin mengerutkan dahinya. Sebelum dia dapat bertanya lebih lanjut, Namjoon sudah mendahuluinya, "Kau bilang kau ingin sepercaya diri, seberani, sepintar, sebahagia, dan sebebas aku."

Hold On [ Namjin ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang