“Bang!!” teriakku kesal. Rencana bangun siangku dihancurkan oleh suara berisik gitar Bang Kevin, kakakku. Entah lagu apa yang sedang dia mainkan. Dia pasti ada di halaman belakang, dan jendela kamarku terhubung langsung ke halaman belakang.
Aku bangkit dengan rambut acak-acakan, membuka jendela bertirai biru itu. Benar, ada dia, yang sedang duduk di halaman belakang sambil bermain gitar. Memang suaranya bagus, dia juga lihai memainkan gitar, tapi apa dia nggak tau? Ini hari minggu! Semua orang berhak bangun siang!
Dia menghentikan permainan gitarnya setelah mengetahui aku terusik karenanya, “Eh, anak gadis jam segini masih tidur! Bangun woy! Ntar rejeki lo dipatuk ayam!” sambutnya melihat ke arahku tanpa rasa bersalah kemudian melanjutkan permainan gitarnya.
Rasanya ingin kuambil gitar itu dan kupukulkan ke kepalanya, “Bawel amat sih! Bunda aja nggak seribet lo!” teriakku kesal.
Sekali lagi dia menghentikan permainan gitarnya, namun kali ini tak menoleh ke arahku. “Mandi sana! Ntar ikut Abang!” ajaknya.
Mendengar ajakannya, kekesalanku mulai sirna, “Kemana?”
“Nonton.”
“Bayarin ya?”
“Iya!”
“Nah gitu dong, ini baru Abang gue!”
“Dasar!” dia melembar kerikil kecil ke arahku. Tapi tak kena karena aku berhasil menyingkir.
Aku berlalu menuju kamar mandi. Walau acara bangun siangku gagal, setidaknya digantikan dengan nonton. Lumayan, dapet traktiran nonton dari Abangku. Ada untungnya juga Bang Kevin masih jomblo, jadi kalo dia mau pergi pasti mengajakku.
Jangan salah sangka dulu, kakakku masih jomblo bukan karena tak laku, tapi karena dia terlalu sibuk menjagaku. Khawatir menelantarkanku kalo sudah punya pacar katanya, tapi kurasa itu hanya alibi saja. Orang itu memang terlalu pemilih. Saking pemilihnya dia belum pernah pacaran sampai sekarang.
Kayaknya cowok yang satu ini emang nggak gesit masalah hati. Aku aja udah pernah pacaran, walau sekali dan hanya sehari. Itupun waktu kelas 6 SD. Maklumin aja, lagi labil-labilnya. Aku juga lupa bagaimana ceritanya aku bisa pacaran dengannya. Namanya Ferdinan, orangnya cungkring, item, dekil. Tapi dia baik. Dia itu temen sekelasku. Setelah lulus SD aku nggak pernah dengar kabar darinya lagi. Semoga saja dia selalu bahagia dimanapun dia berada, amin.
Tingginya 174 cm, kulit sawo matang, badannya kekar, dan rambut poni lempar. Bukan hanya covernya yang bagus, dia juga cerdas, alim, ramah, jago bela diri, dan multitalent. Tetep aja, dia nggak sesempurna itu, namanya manusia pasti punya kekurangan, Abangku itu gampang emosian. Dikit-dikit main otot, kayaknya otaknya nggak pernah dipake deh.
Punya kakak yang usianya tak terlalu jauh sangat teramat menyenangkan. Kami selisih satu tahun. Dari TK, SD, SMP, bahkan sampai sekarang kami sudah SMApun selalu satu sekolah. Tapi dulu waktu masih kecil, kami sangat merepotkan Bunda. Bang Kevin nggak mau kalah sama aku, tiap Bunda lagi ngurusin aku dia langsung nangis karna iri. Untunglah mengijak usia balita dia sudah mulai mau mengalah, jadi Bunda tidak terlalu kerepotan lagi.
Aku sering dapet traktiran makan dari cewek-cewek yang naksir berat sama Abangku, sebagai gantinya mereka bakal tanya-tanya soal Bang Kevin. Aku sangat hafal apa saja yang akan cewek-cewek itu tanyakan, tanggal lahir, hobi, mantan, tipe cewek idaman, dan pertanyaan-pertanyaan klasik lainnya. Sayangnya sampai sekarang nggak ada yang bisa dapetin hatinya.
Bisa kutegaskan jomblo akut yang satu itu memang layak dapet julukan kakak teladan. Dulu sekitar setahun yang lalu, Kakakku pernah bertengkar sama anak kelas 12, karna tak terima saat kakak senior itu mengerjaiku.
Begini ceritanya, ada kakak senior kelas 12 yang namanya Arfian. Dia mengerjaiku dengan menyuruhku mengambil bola-bola basket yang dia lempar ke ring bersama keempat temannya, Geral, Bagas, Tama, dan Fiqar. Itu sekali seumur hidupku aku merasa diperlakukan kayak budak, tapi tetep aja aku bakal kalah kalo membangkang.
“Dek, sini kamu!” seru Kak Arfian melambaikan tangan saat aku kebetulan lewat di tepi lapangan basket.
“Iya Kak?” aku yang awalnya mau ke perpustakaan langsung menghampirinya. Ceritanya dulu aku masih jadi anak baik-baik yang hobi ke perpus. Kalo sekarang, jangan ditanyalah! Pegang buku semenit aja udah ngantuk rasanya.
“Kamu di sini aja! Ngambilin bola!” sambung Arfian sok berkuasa.
“Tapi Kak…”
“Baru kelas 10 nggak usah kebanyakan gaya!” bentak Kak Tama sambil bertolak pinggang.
Mereka berlima cowok semua, sedangkan aku cewek sendirian, ditambah lagi dulu aku bener-bener cupu. Jelas aku akan kalah kalau melawan, jadi aku ikuti saja mau mereka.
Besoknya sepulang sekolah kakakku menghajar Arfian dan kawan-kawannya. Sendirian. Padahal dia anak kelas 11, tapi berani menghajar kelima kakak kelasnya itu. Aku agak kaget waktu Kak Dimas, sahabat Kakakku, memeberitahu bahwa kakakku sedang menghajar mereka berlima di lapangan kosong belakang sekolah. Aku langsung menyusul bersama Kak Dimas.
Bukan Bang Kevin yang kukhawatirkan, tapi Arfian dan kawan-kawannya. Aku yakin, 50 orang sekaligus bisa dihajar sendirian oleh Kakakku. Bayangkan, 50 orang saja bisa dia kalahkan, kalo cuma 5 orang? Bisa-bisa mereka berlima mati.
Bang Kevin itu jawara karate, di rumah ada banyak piala dan mendali emas yang ia dapat dari lomba-lomba karate yang sering dia ikuti. Dia mendapat sabuk hitam saat usianya baru 10 tahun. Hebat kan?
Aku dan Kak Dimas sampai tepat waktu, untung saja Kakakku belum sampai membabat habis mereka. Tapi aku bisa lihat wajah mereka memar.
“Abang udah!” aku menghentikannya. Kupikir suaraku akan kalah dengan suara hembusan angin yang lumayan keras, ternyata tidak.
Dia langsung mendorong Arfian yang saat itu sedang dipukulinya. Dia menghampiriku. “Dim, ngapain lo ngajak Caca ke sini?!” Abangku setengah membentak.
“Kalo Caca nggak ke sini, gue yakin mereka berlima bakal mati!” jawab Kak Dimas.
“Udahlah Bang! Ngapain sih, pake pukul-pukulan gini?!” aku mengambil alih situasi ini. Aku nggak suka kekerasan. Selama otak masih bisa berpikir, menggunakan otot itu adalah kebodohan.
Tanpa melihat muka mereka, “Kalian berlima harus minta maaf sama adek gue!” bentak Bang Kevin dengan garangnya.
“Maaf! Maafin kita!” mereka bersahut-sahut meminta maaf.
Aku mengangguk, pertanda memaafkan mereka. Ini sudah cukup untuk membuat mereka kapok. Setidaknya mereka bakal mikir-mikir lagi kalo mau gangguin aku.
“Sekarang kita pulang!” Kakakku menggandengku dan langsung membawaku pulang.
Sejak saat itu tak ada lagi kakak kelas yang berani semena-mena di sekolahku. Berkat siapa? Berkat kakakku! Love you Bang!
Agak aneh, gara-gara kejadian itu, kami jadi dekat dengan Arfian dan kawan-kawan. Walau mereka sekarang sudah lulus, tiap malam minggu mereka masih sering main ke rumahku. Dulunya aku sempat kaget, tiba-tiba mereka jadi baik padaku, padahal gara-gara aku mereka jadi babak belur. Apa mungkin mereka agak gesrek gara-gara pukulan kakakku? Sudahlah, tak usah dipikir! Yang penting sekarang kami berteman baik. Tapi akhir-akhir ini mereka jarang ke rumahku, lagi sibuk kuliah kayaknya.
Cukup dulu flashbacknya, sekarang aku harus bersiap-siap. Kalo enggak aku bakal habis kena semprot Abangku yang nggak sabaran itu.
“Bang!” sapaku pada sosok yang sedang duduk di ruang tamu sambil bermain handphone. Sok sibuk dia, paling-paling dari tadi cuma scroll-scroll time line.
“Udah siap?” tanyanya menyambutku.
Aku mengangguk.
Tanpa menunggu lama, kami menuju salah satu mall di Semarang yang tak jauh dari rumah kami. Dengan sepeda motor matik milik kakakku itu, kami sampai ke tempat tujuan dalam waktu 45 menit. Maklumlah, jalannya macet. Nggak kebayang rasanya hidup di Jakarta, macetnya kayak apa ya? Semarang aja udah semacet ini.
Setibanya kami di depan bioskop, “Yakin mau nonton Bang?” aku terperangah dengan antrian yang panjangnya bukan main. Kira-kira 1000 orang yang sedang mengantri. Pernah lihat orang ngantri air bersih di berita? Ini lebih parah dari itu! Berangkat jam berapa mereka? Ini aja baru jam 10.
“Ya udah, kita cari makan aja!”
Kami masuk ke salah satu tempat makan yang ada di mall itu.
“Aku mau nasi goreng special sama es teh aja.”
Tanpa menjawab, dia langsung memesankan makanan.
Ada panggilan masuk ke handphone Bang Kevin. Dia meninggalkan handphonenya di meja. Kulihat, itu telpon dari Bunda. Aku merasa punya hak untuk mengangkat telpon itu, jadi aku mengangkatnya tanpa bertanya pada Bang Kevin terlebih dahulu.
“Assalammualaikum Bun!” aku mengangkat telpon itu.
“Walaikumsalam! Abangmu kemana?”
“Lagi pesen makan Bun, ada apa?”
“Lagi pada di mana? Nonton?”
“Tadinya sih mau nonton Bun, tapi nggak jadi. Antrinya panjang banget, ya udah kita makan aja! Bunda kenapa telpon?”
“Bunda kira kamu masih tidur, makanya Bunda mau nyuruh Abangmu bangunin kamu!”
“Nggak usah dibangunin juga aku udah bangun Bun, Abang tuh, pagi-pagi main gitar di halaman belakang!” aku mengadukan ulah Bang Kevin tadi pagi.
“Maklumin aja, kamu tau kan gimana Abangmu itu! kadang suka nggak aturan kalo main gitar!”
“Iya deh Bun. Oh iya, Ayah ke mana Bun?”
“Lagi kerja bakti bikin pos kampling.”
Bang Kevin datang bersama makanan pesanan kami. “Siapa?” tanyanya pelan.
“Bunda!” aku menjawab dengan pelan.
Dia mengatungkan tangannya meminta handphonenya. Aku serahkan handphone itu.
“Halo Bun?” “Iya.” “Iya Bunda.” “Udah.” “Iya-iya, Kevin jagain kok!” “Tenang aja Bun!” “Enggak Bun, kan ada Kevin, mana mungkin ada yang gangguin Caca!” “Enggak pernah telat kok Bun!” “Beneran!” “Iya-iya!” “Siap Bunda!” “Waalaikumsalam!” entah apa yang ditanyakan Bunda, tapi begitulah jawaban Bang Kevin.
Kami langsung menyantap makanan kami. Abangku memesan makanan yang sama denganku.
“Bunda bilang, kamu nggak boleh ke luar malem Ca!” pekik Bang Kevin sambil menyantap sesuap nasi goreng. Di Semarang aku hanya tinggal berdua dengan Kakakku. Ayah dan Bunda tinggal di Solo, Ayah seorang dokter yang punya klinik di Solo dan Bunda menemaninya. Aku tinggal berdua dengan Kakakku sudah sejak SMP kelas 9 dulu.
“Emang Caca pernah keluar malem Bang?!” pembelaanku. Jangankan keluar malem, keluar rumah aja jarang, paling cuma sekolah. Biasanya teman-temanku yang main ke rumahku. Mereka sudah tau kalo aku nggak pernah keluar rumah. Dapat izin main dari Bang Kevin itu sama kayak ketemuan sama Presiden, susahnya minta ampun.
“Cuma ngingetin!” dia menegaskan.
“Bang, tahun ini aku sweet seventeen lho!” aku mengganti topik pembicaraan.
“Terus?” jawaban yang singkat dan cuek.
“Ish! Nyebelin!” aku kesal dengan tanggapannya yang cuek itu. Apa dia tidak ingat apa yang kulakukan diulang tahunnya yang ke tujuh belas. Tahun lalu aku bikin surprise untuknya. Aku hias kamarnya dengan puluhan balon warna warni yang berterbangan di langit-langit kamarnya, di balon-balon itu kugantung foto-fotonya dari mulai bayi sampai foto terbarunya. Tak hanya itu aku membuat ratusan origami burung, dan kususun menjadi tulisan “Happy Sweet Seventeen Kevin”. Aku juga membuat kue ulang tahun tingkat 5 untuknya. Bukannya nggak ikhlas, setidaknya lakukan hal yang istimewa untuk adik semata wayangnya ini.
“Udah buruan habisin! Habis ini kita langsung pulang. Ntar siang Abang mau ngerjain tugas kelompok!” tungkasnya.
Orang yang satu ini rajin banget kalo suruh ngerjain tugas, “Nggak seru ih, masa langsung pulang! Kemarin bilangnya nanti malem ngerjainnya!” sungutku.
“Biar cepet selesai, lagian kita nggak jadi nonton, udah cepet habisin, bentar lagi temen-temen Abang nyampe rumah!”
Aku tak menjawab dan tetap menikmati makananku.
***
Aku berlalu masuk ke kamar Bang Kevin, “Abang anterin aku ke…” tak kulanjutkan saat mengetahui ternyata Abangku tak ada di kamar. Awalnya aku mau minta diantar ke fotocopyan dekat gang. Tak jauh sebenarnya, tapi Abang melarangku ke sana sendiri, soalnya di dekat situ ada warung yang sering jadi tempat tongkrongan anak-anak nakal.
Orang yang sedang serius mengetik di laptopnya mendongak ke arahku dan melempar senyum manisnya.
Aku berusaha menunjukan senyum seramah mungkin, “Eh Kak Dimas, kok sendirian? Yang lain kemana?” Bukannya Abangku, tapi justru Kak Dimas yang kutemui.
Dia beranjak meninggalkan laptopnya dan mendekat ke arahku yang sedang berdiri di dekat pintu. “Kevin sama temen-temen yang lain lagi cari bahan buat bikin tugas.” Jawabnya.
“Oh ya udah!” aku berniat untuk kembali ke kamarku.
“Ca!” serunya membuatku menghentikan langkahku dan berbalik ke arahnya lagi.
“Kenapa Kak?”
“Mau aku anter?” Dari matanya aku bisa lihat dia tulus menawarkan diri.
“Nggak usah, nanti tugasnya nggak selesai-selesai lho!” aku menolak, walau sebenarnya aku memang menginginkan hal itu. Nggak enak kalo harus repotin dia.
“Nggak apa-apa! Mau kemana?”
“Fotocopy buku.”
“Ya udah Ayok!”
“Bentar aku ambil bukunya dulu!” sok-sokan nolak, tapi akhirnya mau juga. Rasa nggak enakku kalah dengan situasi saat ini. Aku nggak punya pilihan lain, dan juga Bang Kevin nggak bakal marah kalo aku pergi sama Kak Dimas.
Aku segera mengambil buku yang mau kufotocopy, dan kami berlalu menuju halaman depan dengan langkahnya yang mendahuluiku.
“Oh iya, motorku dipakai ternyata!” serunya mengetahui tak ada satupun motor di halaman depan. Dia terlihat bingung.
“Ya udah kita naik sepeda aja Kak!” usulku.
“Sepeda?”
“Iya sepeda, tempat fotocopynya nggak jauh kok, di depan gang! Tapi di sebelahnya ada warung yang biasanya jadi tongkrongan anak-anak nakal, jadi Bang Kevin nggak ngebolehin aku ke sana sendiri.”
Dia mengangkat satu alisnya sambil mengangguk paham. “Maklumlah, adik semata wayang!”
Kami pergi dengan naik sepeda. Sepeda jaman dulu yang ada boncengannya dan ada keranjangnya di depan. Sepeda berwarna biru ini kado dari Bang Kevin diulang tahunku ke 15. Dia mengumpulkan uang sendiri untuk membelikanku sepeda ini, pengorbanan kakak teladan katanya.
Tak ada pembicaraan antara kami selama perjalanan. Canggung, ini pertama kali kami bersama dalam jarak yang sedekat ini. Jadi bingung mau ngomongin apa. Memang, dia sering main ke rumahku. Bahkan sudah sejak dia kelas 10, maklumlah dia sangat dekat dengan Bang Kevin. Tapikan aku jarang ngobrol dengannya.
“Mas, fotocopy satu buku ini lama nggak?” tanyaku pada Mas-mas penjaga tempat fotocopy itu. Untunglah lagi sepi, jadi nggak perlu antri.
“Lumayan Dek, mau ditunggu?” jawabnya.
Aku melihat ke arah Kak Dimas yang berdiri di samping kiriku. Seolah menanyakan pendapatnya, sebagai orang yang mengantarku. Mengingat tugas yang dia tinggalkan demi mengantarku, aku jadi nggak enak jika memintanya menunggu lama.
“Nggak apa-apa!” jawabnya paham.
“Ya udah mas, dijilid sekalian ya!”
Kami duduk di kursi yang memang disediakan untuk menunggu.
“Kamu orang mana sih? Jakarta?” Kak Dimas membuka percakapan. Aku tau kenapa dia menanyakan itu, pasti karena aku memanggil Kakakku dengan sapaan Abang. Ini bukan pertama kalinya ada orang yang bertanya seperti itu. Mungkin karena Semarang cenderung menggunakan sapaan Mas atau Kak, jadi sapaan Abang terdengar sedikit aneh.
Aku tersenyum, “Ayah orang Solo, Bunda orang Jogja, Bang Kevin sama aku lahir di Semarang dan besar di Semarang.”
“Tapi…” ujarnya kupotong.
“Aku pake sapaan Abang?” aku memotong perkataan Kak Dimas.
Dia mengangguk.
“Nggak tau sih Kak, aku nyaman aja!”
“Oh..”
“Aku denger Kak Dimas tinggal sendiri ya?” aku mencoba membahas tentang dirinya sekalian memperpanjang obrolan, nggak enak juga kalo duduk bareng cuma diem-dieman aja.
“Iya, keluargaku tinggal di Kanada. Papa punya bisnis di sana.”
“Kenapa nggak ikut tinggal di sana aja?”
“Cinta Indonesia.”
“Cinta Indonesia, apa cinta wanita Indonesia?” godaku.
Dia tersenyum kecil. “Dua-duanya.”
Sedetik kemudian hujan turun sangat lebat. Udara terasa dingin. Dan aku terjebak di tempat fotocopyan bersama orang setampan Kak Dimas. Ditambah lagi tempat fotocopyan lagi sepi, hanya ada kami dan mas penjaga fotocopyan. Rezeki nomplok. Bukan tampan sebenarnya, tapi good looking.
Tinggi dan postur tubuhnya sama seperti Bang Kevin, tapi dia sedikit lebih hitam, dan senyumnya manis karena ditunjang dengan lesung pipinya itu. Saking gantengnya mereka berdua, mereka mendapat julukan “Duo gans” dari adik kelas.
Kak Dimas mengangkat telpon dari seseorang, kutebak sepertinya itu dari Abangku. “Iya.” “Iya-iya!” “Iya!” “Ya!”
“Bang Kevin ya?” tanyaku ketika dia memutus panggilan itu.
“Iya.”
“Kalo bukan sama Kak Dimas, pasti dia bakal nyamperin ke sini!” aku serius, Abangku itu nggak bakal kasih izin aku untuk pergi sama orang yang nggak dia percaya.
“Iya.”
Dia melepas jaket yang dia pakai. Dan memberikannya padaku. “Dingin, nanti kamu masuk angin!”
“Enggak usah Kak, lagian bajuku juga lengan panjang!” tolakku. Lagian aku memang pakai baju lengan panjang, yakali aku pake jilbab tapi bajuku lengan pendek.
Aku hijab udah dari kelas 7, itupun karena dipaksa sama Bang Kevin, tapi sekarang udah mulai terbiasa. Dan jangan pernah salahkan jilbabku ataupun agamaku kalau kelakuanku belum baik. Aku memang kadang malas sembahyang, sering bohong, sering ngomong kasar, dan belum bisa menjaga kontak langsung dengan yang bukan muhrimku. Bagaimanapun kelakuanku, ini murni kesalahanku sendiri.
“Udahlah, nggak usah banyak alasan, nanti kamu kedinginan!” Kak Dimas memakaikan jaketnya padaku. Aku kira yang seperti ini cuma ada di film, ternyata tidak. Aku benar-benar mengalaminya. Dan ini membuatku speakless.
“Ini udah Dek!” seru Mas tukang fotocopyan.
Kak Dimas langsung mendekat dan aku mengekor. Untung fotocopynya udah selesai, kalo enggak aku bakal bener-bener jadi patung gara-gara Kak Dimas. “Berapa Mas?” tanyaku segera.
“20.000”
Kak Dimas mengeluarkan uang dari kantongnya dan langsung membayarkannya.
“Nggak usah Kak!” aku agak nggak enak, sudah dianterin dibayarin pula.
“Nggak apa-apa.” Paksanya.
Ganteng, baik, royal, kurang sempurna apa makhluk ciptaan tuhan ini? Aku respect sama cowok yang satu ini. Selama aku mengenalnya, dia memang orang yang tau cara memperlakukan cewek dengan baik.
Kami segera pulang. Hujannya juga sudah mulai reda. Kalau kami kelamaan bisa-bisa Bang Kevin marah. Kalo sudah marah, laut aja bisa dikuras. Agak lebay ya? hehehe!
KAMU SEDANG MEMBACA
Believe
Teen FictionApapun hubungannya, jika sudah tak ada rasa saling percaya, bertahan akan sangat menyakitkan. Sesakit apapun itu, aku tak pernah sanggup meninggalkanmu sendiri. Biarlah aku saja yang merasakan perihnya, karna terlalu sakit melihatmu terluka.