Aku dan Nanda kembali menyantap pesanan kami. Ada sebuah pesan singkat yang baru saja masuk di handphone Nanda. Dengan cepat dia langsung membuka pesan itu, tapi aku menangkap perubahan pada air mukanya. “Kenapa?” tanyaku.
“Yusuf pergi dari rumah, marah sama Mama.” Jelasnya.
“Gara-gara?”
“Kemarin dia ditangkep polisi gara-gara temen-temennya yang brandal itu tawuran.”
“Tapi dia nggak apa-apa kan?”
Nanda mengangguk.
“Ya udah, sekarang kamu pulang aja! Kamu tenangin Tante Hesti! Kayaknya aku tau di mana dia.” ideku.
“Aku anter Mbak Caca pulang aja ya! Nggak usah dicari! Ntar juga balik, tuh orang udah sering gitu!” Nanda terlihat kesal.
“Percaya sama aku!” aku mencoba membuatnya mengerti.
Dia mengangguk dan mengikuti kemauanku. Aku rasa aku tau dia ke mana. Aku langsung ke sana dengan naik ojek online. Tempat itu nggak jauh dari sini, 10 menit juga udah nyampe.
Dia lagi duduk di bawah pohon, sambil mengorek-ngorek tanah. Entah apa yang dia cari. Benar kan dugaanku? Cuma rumah pohon ini tempat yang dia kunjungi kalo lagi suntuk, dan pohon itu adalah sandarannya di tempat ini.
Aku menghampirinya dan duduk di sampingnya. “Kasihan pohonya, nggak kuat lagi kamu senderin!” pekikku.
Dia yang awalnya bersandar pada pohon itu, kini bersandar pada bahuku.
Aku lihat telapak tangannya luka. Sepertinya dia memukul sesuatu yang justru menyakiti tangannya sendiri. “Stop nyakitin diri sendiri!” aku menutup luka itu dengan dasi sekolahku.
Hujan turun. Tanpa memberitahu terlebih dahulu. Bersama hujan itu, air mata mengucur dari pelupuk matanya. “Kamu kenapa?” tanyaku. “Tangan kamu sakit?” aku bingung, aku tak mengerti apa yang membuatnya menangis.
“Jangan tinggalin aku!” pekiknya dengan tatapan lekat padaku. Kayaknya ada trauma yang bikin dia kayak gini.
“Aku di sini! Kamu nggak usah sedih lagi!” aku mencoba menenangkannya.
“Gue trauma sama hujan! Papa pergi waktu hujan! Mama keguguran waktu hujan! Hujan selalu renggut kebahagian gue! Gue takut sekarang hujan bakal rebut lo dari gue!” tangisnya pecah.
Aku bisa merasakan apa yang saat ini dia rasakan. Aku berdiri dan menggandengnya, aku mengajaknya merasakan tetesan hujan. “Hujan nggak rebut kebahagiaan kamu! Dia cuma mau meluk kamu tiap kamu ada masalah!”
Dia tersenyum. Tak berselang lama hujan itu juga berhenti begitu saja, seperti sebuah sulap. Senyumannya meredakan hujan.
“Waw! Kamu senyum hujannya langsung pergi!” pekikku.
“Kamu bener.”
“Kalo kamu senyum hujan pergi?” aku kaget.
“Ayo pulang! Bentar lagi magrib!” ajaknya.
Dia mengantarkanku pulang.
Aku nggak pernah tau, apa senyumannya benar-benar membuat hujan pergi. Tapi rasanya mustahil.
Terlalu banyak hal yang nggak aku ngerti tentang dia. Semua yang berhubungan dengannya selalu mengandung teka-teki yang nggak aku sangka jawabannya. Dan aku sudah terbiasa dengan itu, bahkan sejak pertama kali aku mengenalnya.
Bang Kevin sedang di kamarnya saat aku pulang. Aku langsung masuk kamar dan istirahat aku capek banget hari ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Believe
Teen FictionApapun hubungannya, jika sudah tak ada rasa saling percaya, bertahan akan sangat menyakitkan. Sesakit apapun itu, aku tak pernah sanggup meninggalkanmu sendiri. Biarlah aku saja yang merasakan perihnya, karna terlalu sakit melihatmu terluka.