“Ca! Biarin ajalah!” seru Mey.
Aku masih terperangah dengan foto yang ditunjukan Jenifer. Seorang cewek yang memasang foto Kak Dimas di foto profil linenya. Naura, anak kelas 11 IIS 3. “Nih orang maunya apa sih?!” rasanya aku mau mencabik-cabiknya.
“Kak Dimas tau?” tanya Fika.
“Harusnya sih tahu!” sahut Lia.
“Tapi lo juga nggak bisa nyalahin Kak Dimas, tuh cewek aja yang ganjen!” Mey ikut berpendapat.
Tapi kalo dipikir-pikir benar juga kata Mey. Kak Dimas memang nggak sepenuhnya salah. Aku mau melabrak cewek ganjen itu, akan kutegaskan padanya kalo Kak Dimas itu milikku. “Apa gue labrak aja tuh cewek?” pekikku sambil mengebrak meja.
“Udahlah nggak usah!” sahut Mey segera menenangkanku.
“Mending lo omongin dulu sama Kak Dimas, nanti habis jumatan pasti dia ke rumah lo kan?” saran Jenifer.
“Iya juga sih!” ada benarnya apa yang dikatakan Jenifer.
Handphoneku berdering. Telpon dari nomor yang tak ku kenal.
“Halo? Ini siapa?”
“Aku.” Suara Yusuf.
“Oh, kenapa?” nada bicaraku emang jadi datar karena kesal.
“Lagi bête ya?”
Aku tak menjawab.
“Kenapa? Ada masalah sama pacar?”
Kenapa tebakannya harus benar. “Kamu peramal ya?”
Dia malah tertawa.
“Ish!”
“Habis jumatan aku mau ngajak kamu jalan. Mau nggak?”
“Kemana?”
“Ikut aja!”
“Enggak ah, aku mau ketemu pacarku dulu nanti. Mau nyelesaiin masalah!”
“Ya udah, next time aja!”
“Oke!”
“Udah dulu ya, aku mau balik ke kelas!”
“Emang kamu di mana? Kantin?”
“Enggak, di perpus!”
“Serius?”
“Nggak percaya?”
“Dikit sih!”
“Ya udah jangan percaya! Musrik!”
Aku tertawa mendengar candaannya, “Udah-udah, balik sana! Ntar keburu bel!”
“Iya!”
Dia memutus telponnya.
“Siapa Ca?” tanya Fika. Aku memang mengangkat telpon di depan mereka.
“Yusuf.”
“Siapa tuh?” tanya Mey.
Aku belum pernah menceritakan tentang Yusuf pada mereka. “Temen baru gue, belum kenal lama sih!”
“Lo deket sama dia? Ati-ati baper! Lo baru jadian lho!” sahut Lia mengingatkan.
“Enggaklah! Dia baik, tapi kan udah ada Kak Dimas!” aku menepis. Mana mungkin aku berpaling? Aku ini orang yang setia, sekali aku sayang, aku akan benar-benar menjaga. Begitulah orang bergolongan darah A.
Bu Elly, guru bahasa Indonesia yang killer itu datang. Membuat para siswa termasuk aku kelabakan. Kami langsung berbondong-bondong duduk di tempat masing-masing. Untunglah dia tidak marah, kalo sampai marah lengkap sudah hari burukku!
***
Bel pulang berbunyi. Semua siswa berhamburan termasuk aku dan ke empat sahabatku. Seperti biasa hari ini kita mau ke rumahku. Ini sudah agenda rutin.
“Ca!” seru Aksal setengah mengejarku dan ke empat sahabatku yang sudah memasuki lapangan.
Kami berhenti, “Kenapa?” jawabku.
“Ke perpus bentar deh!” Aksal menarik tanganku.
“Eh..eh..mau ngapain?” tanyaku.
“Udah ikut aja!” tegasnya.
“Kita nunggu di gerbang ya Ca!” teriak Mey.
“Iya.” Jawabku.
“Apaan sih Sal?” tanyaku. Aksal itu sahabatku. Kami jarang curhat-curhatan. Nggak pernah main bareng, tapi tiap salah satu butuh, yang lain selalu ada.
Sampai akhirnya kami sampai di perpustakaan, dan kami langsung masuk. “Lihat!” Aksal mengajakku ke meja yang biasa digunakan untuk tempat membaca. Tau apa yang kulihat? Kak Dimas bersama Naura. Mereka terlihat sangat dekat, tapi mereka membelakangi kami. Pasti mereka tak tau kami ada di sini.
“Biar gue hajar dia!” Aksal terlihat sangat marah. Jika sahabatku saja marah, apalagi aku? Rasanya aku mau membalik meja itu dan melempar Naura ke luar dari sini.
Tapi aku berusaha meredam amarahku dan menghentikan Aksal. Ini perpustakaan, aku tak mau membuat keributan. Aku memegang tangannya agar tidak menghampiri mereka. “Jangan Sal, ini perpustakaan! Gue nggak mau lo kena masalah gara-gara gue!”
“Tapi…” dia mencoba protes.
Aku menariknya ke luar sebelum sempat melawan.
“Makasih, tapi sekarang lo jumatan aja! Gue bisa kok, ngatasi ini!” sahutku setelah menjauh dari perpus.
“Tapi lo…” tanyanya masih mengkhawatirkanku.
“Masih ada Mey sama yang lain! Nggak usah khawatir!”
Dia memegang bahuku. “Kalo lo butuh gue, kabarin aja!”
Aku mengangguk. Dia pergi sesuai keinginanku.
Aku menuju rooftop dekat gudang. Di sana sepi. Aku mau menenangkan diri dulu. Aku mengirim pesan singkat pada Mey, aku bilang ingin sendiri dulu, jadi mereka bisa pulang tanpa menungguku.
Mey menelponku. Pasti dia khawatir setelah membaca pesan yang kukirim.
“Iya Mey?”
“Lo di mana?”
“Haha..khawatir ya?”
“Nih anak! Kita khawatir sama lo?”
“Kalian balik aja! Gue lagi pengen sendiri!”
“Lo nggak akan nekad kan?”
“Ish! Apaan sih Mey, gue masih ingat tuhan kali!”
“Ya udah!”
“Jaga diri baik-baik!”
“Iya!”
“Bye!”
“Bye!”
Aku tak tahu sudah berapa lama aku ada di sini. Yang jelas aku tak mau pulang dulu. Para siswa yang habis jumatan baru saja keluar masjid, makanya aku memilih tetap di sini dulu. Di sini udaranya segar. Aku bisa melihat seisi sekolahku dari sini. Itu lebih baik, daripada aku pulang dan bertemu Kak Dimas. Aku tak bisa janji untuk tak marah padanya jika bertemu dengannya saat ini.
Aku mendapat telpon dari Yusuf.
“Halo?”
“Ngapain di atas sana?”
“Hah?” aku sedikit heran, aku menengok ke segala penjuru, tapi tak berhasil menangkap sosok Yusuf. Jika dia tidak di sini darimana dia tahu aku sedang di atas?
“Buruan turun! Aku tunggu di halte! Pacarmu udah balik sama Abangmu!”
Tanpa menunggu jawaban dariku, dia langsung menutup telponnya. Aku heran, darimana dia tau kalo aku sedang menghindari Kak Dimas. Apa dia bisa menerawang? Ah, sudahlah!
Aku segera bergesas menuju halte. Benar, dia ada di sana. Dengan sepeda motor antiknya itu.
“Hai! Nggak jumatan?” seruku begitu melihatnya.
“Aku tadi jumatan di sini.”
“Oh.”
Tanpa bertanya dia memasangkan helm padaku. Dan menariku duduk diboncengannya. “Ayo! Aku culik sebentar!” seruya.
Aku tak melawan. Aku memang butuh jalan-jalan. Mungkin Yusuf bisa membuatku merasa lebih baik.
“Hapalin jalannya!” serunya.
“Emang kenapa?”
“Biar bisa pulang.”
Aku agak tak mengerti maksudnya, tapi aku iyakan saja.
Motornya berhenti diantara kebun-kebun. Dia mematikan mesin motornya. “Jangan takut! Aku nggak mungkin macem-macem!” serunya sembari melepas helm.
Awalnya memang aku sedikit khawatir, tapi mendengarnya bicara seperti itu aku percaya. Aku juga melepas helmku dan menyusulnya yang sudah jalan duluan di depanku. Tak jauh ada sebuah pohon besar dengan rumah pohon di atasnya. Rumah pohon itu hanya setinggi 4 meter dari tanah. Kami naik ke sana, dengan pijakan yang memang dibuat agar bisa naik ke atas. Rumah pohonnya bagus. Luasnya 2x3 meter dengan tinggi 2,5 meter. Rumah pohon itu terbuat dari kayu, dengan penataan yang vintage abis. Sepertinya dia memang anak vintage.
“Yang bikin aku!” Pekiknya saat kami duduk bersebelahan di dalam rumah pohon, memecahkan keheningan yang sebelumnya terjadi.
Aku yang awalnya sibuk memperhatikan detail rumah pohon ini langsung menoleh ke arahnya, “Bagus!”
“Cuma kita yang tau tempat ini!”
“Kita?”
“Iya, ini tempat kalo aku lagi badmood!”
“Berarti kalo lagi badmood kamu sendirian di sini?”
“Iya. Mau nemenin?”
“Boleh!”
“Kenapa?”
“Kenapa apanya?”
“Kenapa baru sekarang kamu kenal aku. Kalo kamu kenal aku dari dulu, pasti aku nggak akan sendirian di sini.”
“Mungkin karna dulu kita emang nggak saling butuh, makanya kita nggak saling kenal!”
“Di tasku ada cokelat!” dia mengalihkan pembicaraan dengan sangat cepat.
“Hah?”
“Ambil!” serunya.
Aku mengambil tasnya yang terletak di sampingku. “Boleh aku buka?” tentu aku butuh izin darinya untuk membuka tasnya.
Dia mengangguk.
Aku mendapati sebatang cokelat. Saat aku mengambilnya, tak sengaja sebuah kertas ikut terambil. “Yusuf Setyaji, peringkat satu.” Aku membaca tulisan yang distabilo, . “Hasil try out kemarin?” tanyaku.
Dia mengangguk.
Selain baik dan aneh, ternyata dia juga pintar nilai rata-ratanya 9. “Kenapa bawa cokelat?” aku mempertanyakan cokelat yang dia bawa.
“Biar nggak badmood lagi! Abisin!”
Kreatif, tingkahnya penuh kejutan. Aku membuka cokelat itu dan memotongnya jadi dua, “Mau jadi sahabatku?” aku menyodorkan setengah cokelat itu padanya. Harus kuakui, tingkahnya ini membuatku yakin bisa mempercayainya. Pertama kalinya dihidupku, aku percaya sama orang dalam waktu sesingkat ini.
“Enggak!” jawabnya.
“Kenapa?” aku kecewa dengan jawabannya.
“Aku mau jadi teman hidupmu aja!” serunya dengan seulas senyum, kemudian mengambil setengah cokelat yang memang ingin kuberikan padanya.
“Maksudmu?” aku kaget mendengarnya. Teman hidup? Apa maksudnya?
“Nggak mungkin kan aku jadi teman matimu, lagian ogah juga sih!” serunya. Sekali lagi aku tak paham maksudnya.
“Terserah!” jawabku menyerah. Aku memakan cokelat itu sampai habis, begitu juga dia.
“Kok kamu bisa tau kalo aku lagi di atas tadi?” tanyaku penuh selidik.
“Aku lihat kamu naik tangga tadi!”
“Kok kamu bisa lihat aku?” aku kaget.
“Ya bisalah! Emangnya kamu setan sampe aku nggak bisa lihat kamu?” jawaban yang nyeleneh tapi berhasil bikin aku ketawa.
“Maksudnya, kok kamu bisa tau aku lagi naik tangga? Emangnya kamu tadi di sekolahanku?” aku mencoba memperjelas pertanyaanku.
“Iya.”
“Ngapain?”
“Nyariin kamu!”
Aku melihat ke arahnya, seolah meminta penjelasan yang lebih detail.
“Aku mau kasih cokelat biar kamu nggak galau lagi, tapi malah tadi aku lihat kamu ditarik-tarik cowok, makanya aku ikutin, bahkan aku juga sempet ikut naik ke rooftop tapi nggak jadi gara-gara aku inget jumatan!” jelasnya.
Mendengar penjelasannya, aku sangat yakin dia bisa jadi sahabat yang istimewa untukku. Kalo boleh aku bilang, dia sweet banget, jauh-jauh ke sekolahku cuma buat ngasih sebatang cokelat.
***
“Assalammualaikum!” aku masuk ke rumah. Yusuf baru saja mengantarku pulang.
Kak Dimas langsung menyambutku, “Waalaikumsalam! Kamu dari mana? Kamu marah sama aku?”
“Masih peduli sama gue?” jawabku ketus.
“Gara-gara Naura?” tanyanya sambil menatapku tajam.
“Menurut lo?” aku memalingkan wajah darinya dan berlalu menuju kamar.
Dia memegang tanganku, dan berhasil menghentikan langkahku. “Aku nggak akan berpaling dari kamu!” pekiknya.
Aku melepas genggamannya. “Maaf, gue nggak percaya!” aku langsung meninggalkannya. Semua cowok juga biasanya ngomong gitu! Tapi buktinya? Tetep aja berpaling!
Baru saja aku masuk kamar, aku mendapat telpon dari Yusuf. Kenapa dia menelponku? Baru juga ketemu.
“Halo?” aku mengangkat telpon.
“Mau main tebak-tebakan nggak?”
“Lo kurang kerjaan ya?”
“Mau nggak? Daripada bête!”
Aku diam sebentar, benar juga dia, daripada aku bête. “Boleh deh!”
“Tapi kalo kalah harus dihukum!”
“Hukumannya apa?”
“Nurutin satu permintaan dari yang menang!”
“Tapi permintaannya jangan aneh-aneh!
“Iya! Pertanyaannya cuma satu, kalo kamu bisa jawab kamu yang menang, kalo nggak berarti aku yang menang!”
“Oke.”
“Monas ada di…”
“Jakartalah!”
“Salah!”
“Anak SD juga tahu kalo monas itu ada di Jakarta!”
“Salah!”
“Terus jawabannya apa?”
“Monas ada di tempatnya.”
“Tempatnya kan Jakarta!”
“Jakarta menunjukan tempat bukan?”
“Iya sih…”
“Nah, berarti aku yang menang!”
“Ih, mana bisa gitu!”
“Kalo kalah ya udah akuin aja!”
“Nyebelin!”
“Sekarang kamu turutin satu permintaanku!”
Agak sebel juga, aku kalah gara-gara dia curang. Tapi, aku harus mengakui kalau aku memang kalah. “Iya deh, apa?”
“Dengerin penjelasan pacar kamu!”
“Hah?”
“Aku sempet denger kalian berantem tadi!”
“Kalo aku ngelakuin itu apa untungnya buat kamu?”
“Untungnya, hak cowok untuk diberi kesempatan menjelaskan bisa ditegakkan!”
Aku tersenyum mendengarnya, “Iya deh iya! Ya udah, aku matiin telponnya, aku mau nurutin permintaan kamu!”
“Oke! Assalammualaikum!”
“Waalaikumsalam!” aku memutus telpon. Kalo dipikir lagi, tebakan yang nggak mutu itu cuma alesan aja. Intinya dia mau aku dengerin penjelasan Kak Dimas. Di sini aku rasa dia ingin aku menyelesaikan semua dengan baik-baik.
“Ketika kau marah dan cemburu
kau kelihatan begitu cantik
walau kadang mengesalkan
kau selalu bertanya dan penuh curiga
kutahu kau takut kehilanganku…” seseorang menyanyikan lagu aishiteru 3 yang dipopulerkan oleh zivilia. Suaranya dari arah jendela. Aku langsung membuka jendela untuk mengetahui siapa itu.
Kak Dimas. Dia berdiri di antara lilin yang membentuk kata ‘MAAF’. Kalo tujuannya untuk meluluhkan hatiku, dia hampir berhasil! Aku hanya menatapnya yang sedang bernyanyi dengan diiringi gitar. Aku baru tau dia bisa main gitar ternyata.
“…begitupun aku maafkan
yang selalu kasar marah padamu
meski tak lagi ada kata cinta terucap
sekedar basa-basi
tapi hatiku masih milikmu..milikmu..
cemburu tanda cinta
marah tandanya sayang
kalo curiga itu karena kutakut kehilangan
kalo dekat bertengkar
kalo jauh kurindu
jadi serba salah buatku dilema
tapi aku slalu aishiteru…” dia meletakkan gitar yang dia pinjam dari Abangku itu.
“Aku sama Naura nggak ada apa-apa, minggu depan ada lomba story telling, Pak Daud minta aku ngajarin dia. Aku denger dia emang nge-fans sama aku, tapi aku nggak pernah nanggepin, dan aku udah kasih tau dia, kalo aku punya pacar yang super duper cantik!” jelasnya.
Aku paham sekarang. Kak Dimas memang dulu pernah juara satu story telling tingkat provinsi, pantas saja Pak Daud, guru Bahasa Inggris kelas 11 itu meminta Kak Dimas mengajari Naura. Harusnya aku paham, Kak Dimas itu keren, ganteng, baik, pinter, udah pasti dia punya banyak fans.
Aku memang terlalu egois, aku langsung marah tanpa dengerin penjelasannya. Aku jadi merasa bersalah sekarang, “Sejak kapan bisa main gitar?” tanyaku berusaha mengalihkan.
“Dua tahun yang lalu, waktu kamu bilang kamu suka cowok yang jago main gitar.” Jawabnya. Bagiku, dan mungkin juga bagi kebanyakan cewek, cowok yang jago main gitar itu memang punya daya tarik tersendiri. Iya nggak sih?
Dua tahun yang lalu, aku tak bisa mengingatnya. Bahkan aku lupa pernah bilang begitu padanya. Kalo Kak Dimas bilang dua tahun yang lalu, itu artinya waktu awal-awal dia kenal Abangku, dan kayaknya aku masih kelas 9. “Aku pernah bilang gitu?” tanyaku.
“Pernah.” Jawabnya sambil berjalan mendekat ke jendela. “Maafin aku!” pekiknya lembut.
Aku mengangguk, “Maaf, harusnya aku dengerin kamu dulu!” aku juga meminta maaf. Aku juga bersalah di sini, harusnya aku memberi kesempatan untuknya menjelaskan, tapi aku malah langsung marah padanya.
“Kamu tau hal yang paling aku benci seumur hidupku?” tanyanya dengan tatapan yang selalu membuatku tak mampu berkutik.
Aku menggeleng.
“Aku benci saat aku sayang sama kamu tapi aku nggak berani untuk bilang itu ke kamu!” lanjutnya.
“Cinta itu lucu, orang yang pinter ngomong mendadak bungkam saat harus menyatakan perasaanya di depan orang yang dia suka!”
Dia tersenyum.
“Wait! Dua tahun yang lalu aku masih kelas 9 kan?” aku membahas maksud perkataannya. Apa mungkin dia emang suka sama aku sejak dulu? Tapi kenapa aku nggak sadar?
Dia mengangguk
“Sejak kapan kamu suka sama aku?” tanyaku penuh selidik.
Dia jadi salting mendengar pertanyaanku. “Ya…sejak pertama kali kita ketemu.” Jawabnya malu-malu.
“Lho eh, kok bisa kejadian malu-maluin gitu bikin kamu kesengsem sama aku sih?!” gerutuku. Aku nggak akan lupa gimana pertama kali aku ketemu dia. Waktu itu aku hampir rubuhin rumah gara-gara ngejar kecoa, rumah berantakan banget.
Kalo kalian lihat kondisi rumah saat itu, kalian bakal ngira itu rumahnya orang yang abis depresi berat. Tadinya si kecil yang nakal itu ada di kamarku, sebelum akhirnya terbang ke dapur sampai ruang tamu. Aku hampir merasa perang akan berakhir saat kecoa itu nemplok di pintu, aku berjalan perlahan biar kecoa itu nggak kaget dan terbang lagi. Saat kurasa jaraknya sudah pas, aku langsung mengayunkan pemukul kasti ke arah pintu tempat kecoa itu nemplok, tapi tiba-tiba pintu terbuka dan kudapati dia secara refleks menangkis pukulanku.
Baik aku maupun dia saling berdiam bingung, bahkan Bang Kevin yang ada di belakangnya sedang membawa kardus mie instan menganga sempurna melihatku. “Ca, kamu kenapa?” tanya Bang Kevin bingung.
Aku masih sangat ingat, penampilanku waktu itu kacau banget. Gara-gara si kecil yang nakal itu. “Hehe..Ngejar kecoa Bang!” aku meringis.
Jawabanku itu malah membuat orang yang sedang berdiri di depanku itu tertawa. Aku malu banget waktu itu. Setelah itu dia dan Bang Kevin membantuku merapikan rumah yang aku obrak-abrik gara-gara kecoa sialan itu.
Dia tersenyum kecil.
Senyumnya membuatku terfokus pada wajahnya, dan aku mendapati pipinya sedikit memar. Itu karena sebuah perkelahian. Aku memegang pipinya untuk memastikan, apakah dia memang sedang terluka.
“Aduhh!” dia meringis kesakitan.
“Kamu kenapa?” tanyaku khawatir.
“Kepleset.” Jawaban yang jelas-jelas bohong.
“Ih, ketara banget bohongnya! Kamu berantem sama siapa?”
“Khawatir ya?” dia malah tersenyum manja.
“Sini! Masuk!” aku menyuruhnya masuk.
Dia langsung memanjat jendela yang tingginya hanya satu meter dari tanah itu. Ukuran jendela kamarku 75x100 cm, membuatnya dengan mudah masuk ke kamarku.
“Lewat pintu kan bisa!” seruku.
Dia tak menghiraukannya.
Aku mengambil kotak P3K, dan langsung mengobatinya. Pintu terbuka saat aku sedang mengobatinya. Jangan tanya siapa yang datang! Sudah pasti itu Bang Kevin.
“Enak ya punya pacar anak PMR!” ledeknya. “Tau gitu, gue hajar beneran aja tadi!”
“Iyalah! Makanya buruan cari pacar!” jawab Kak Dimas dengan tawa khasnya.
“Eh, jadi kamu abis berantem sama Bang Kevin?” selidikku.
“Menurut kamu, Abang bakal biarin orang yang bikin kamu seharian pergi dari rumah?” jawab Bang Kevin mendahului.
“Ih, tapikan…”
“Udah, nggak apa-apa! Aku emang salah kok!” potongnya sebelum aku sempat protes.
“Makan yuk!” ajak Bang Kevin.
Aku yang memang sudah lapar langsung mengiyakan ajakannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Believe
Teen FictionApapun hubungannya, jika sudah tak ada rasa saling percaya, bertahan akan sangat menyakitkan. Sesakit apapun itu, aku tak pernah sanggup meninggalkanmu sendiri. Biarlah aku saja yang merasakan perihnya, karna terlalu sakit melihatmu terluka.