Bad boy

1.6K 45 0
                                    

“Oh tidak!” pekikku ketika melihat sekumpulan orang yang dari penampilannya mereka pasti anak-anak nakal. Hari ini Kak Dimas mengajakku makan di café dekat sekolahku, katanya sebagai permintaan maaf karena kemarin bikin aku marah. Jika tau ada mereka di sana pasti aku tidak menolak saat Kak Dimas bilang akan menjemputku tadi.
Setelah membayar, aku segera turun dari angkot yang ku naiki. Aku berada agak jauh dari mereka. Harap-harap cemas, semoga mereka tidak menggangguku. Tak lama saat aku hendak menyebrang, sebuah taksi berhenti di depan mereka. Seorang cewek yang perkiraanku seumuran denganku, turun dari taksi itu.
“Cewek!” goda beberapa dari mereka sambil bersiul.
“Minta nomor telponnya dong!” goda mereka tadi.
Cewek itu hendak menyingkir dan menjauh sepertiku, tapi mereka terlanjur menghalanginya. “Namanya siapa Mbak?” goda mereka.
Aku bisa melihat jelas dia sangat ketakutan. Naluriku sebagai seorang wanita membuatku geram dengan perlakuan mereka. Aku menghampiri mereka. Tanpa banyak bicara, aku menarik tangan wanita itu, membantunya menjauh dari kumpulan anak urakan itu.
“Assalammualaikun Neng cantik! Mau ke mana?” seru salah satu dari mereka. Tapi tak mengejarku saat aku membawa wanita itu. Lagi-lagi identitasku sebagai seorang muslim sangat menolong. Makasih ya Allah.
Setelah kurasa kami cukup jauh dari mereka, aku berhenti dan melepaskan tangan wanita itu. “Makasih banget udah nolongin aku!” serunya segera.
“Santai aja! Kamu mau ke mana?”
“Ke café depan.” Dia menunjuk café yang ada di seberang jalan.
“Sama. Ke sana bareng aja!”
Dia mengangguk setuju.
Jalanan cukup sepi, kami segera menyebrang dan masuk ke café. Kak Dimas belum datang, jadi tak ada salahnya aku ngobrol dulu dengannya. Kami memesan secangkir kopi untuk menemani ngobrol kami.
“Kalo nggak ada kamu, aku nggak tau gimana nasibku tadi! Makasih banget ya!” dia membuka pembicaraan.
“Santai ajalah! Oh iya, nama kamu siapa?”
Dia mengulurkan tangannya, “Aku Bella, kamu?”
Aku menyambut uluran tangannya, “Kencana.”
“Hem..aku harus panggil kamu apa? Ken? Cana? Ana?” tanyanya.
“Panggil aja Caca!” sahutku segera.
“By the way kamu ke sini sendirian?”
“Enggak, aku nunggu pacarku. Kamu sendiri?”
“Aku juga lagi nunggu orang. Kok nggak minta dijemput aja?”
“Iya, soalnya tadi aku pergi ke rumah temen dulu!”
“Oh…”
Tak lama berselang orang yang kutunggu menghampiri meja kami. “Lho, kalian kok bisa kenal?” tanyanya bingung.
“Lho, Kakak kenal dia?” Bella juga kebingungan.
“Kakak?” tanyaku.
Kak Dimas tersenyum manis. “Bel, ini orang yang mau aku kenalin ke kamu!” jelasnya sambil memegang pundakku dengan tangan kanannya. “Dan Ca, ini adikku. Kemarin dia baru balik dari Kanada.” Dia mengenalkanku pada adiknya.
Kak Dimas kemudian duduk di sampingku. Meja kami dekat jendela, dan aku duduk menghadap ke luar.
“Jadi ini yang sering kakak ceritain ke aku?” Bella membuka pembicaraan.
“Hayo, pasti ceritanya yang jelek-jelek ya?!” sahutku bercanda.
“Enggak kok! Kak tau nggak? Selain cantik, baik, pinter, dia juga pemberani lho Kak! Tadi Caca nolongin aku waktu digangguin sama cowok-cowok rese!” jawabnya segera.
“Kamu digangguin siapa? Kakak kan udah bilang kamu turun di depan café aja!” Kak Dimas kelihatan khawatir. Kakak yang baik!
“Iya maaf Kak, tapi untungnya tadi ada Caca!” jawab Bella santai, sambil meminum kopi yang belum sempat dia cicipi dari tadi.
“Makasih ya Ca, kamu nggak apa-apa kan? Mereka nggak macem-macem kan?” dia melihatku penuh kecemasan.
“Aku nggak apa-apa!” jawabku.
Kami melanjutkan obrolan kami sambil makan. Banyak yang kami bahas. Terutama tentang Kak Dimas. Dia sering cerita tentang aku ke Bella. Ternyata Bella sering kasih saran untuk Kak Dimas bikin kejutan untukku. Salah satunya cara dia minta maaf semalam, itu ide Bella. Juga cara dia nembak aku, itu juga ide Bella.
Berkat obrolan ini aku tau banyak tentang Kak Dimas. Dia nggak suka pisang. Sebelum sama aku, dia nggak pernah pacaran. Dia pernah kabur dari rumah gara-gara nggak mau tinggal di Kanada, makanya sampai sekarang orang tuanya ngizinin dia tinggal di Indonesia. Dan masih banyak lagi.
Saat kami tengah asyik ngobrol, mataku menangkap sosok yang tak asing bagiku. Yusuf, dia menghampiri orang-orang yang tadi mengganggu Bella. Salah seorang dari mereka membuka botol minuman keras dan meminumnya bersama.
Aku berusaha tak menghiraukannya. Aku ingin tetap fokus pada pertemuanku dengan Bella ini.
***
Aku sangat lelah hari ini. Aku baru saja pulang. Tadi aku berjalan-jalan dulu dengan Kak Dimas dan Bella. Aku senang, sepertinya Bella menyukaiku. Ini bisa jadi lampu hijau untukku mendekati keluarga Kak Dimas.
Aku masih teringat dengan apa yang kulihat tadi. Apa benar tadi itu benar-benar Yusuf? Tapi rasanya nggak mungkin kalo dia itu anak nakal. Aku putuskan untuk menelponnya dan menanyakan langsung padanya, daripada aku hanya menebak-nebak.
“Halo? Kenapa Ca?” Yusuf mengangkat telponku.
“Aku tadi lihat kamu!”
“Aku juga!”
“Kamu lihat aku?”
“Iya, di café sama pacar kamu kan?”
“Kamu minum?”
“Iyalah, kalo nggak minum haus!”
“Aku serius, kamu tadi minum sama temen-temen kamu?”
Dia diam cukup lama.
“Jadi kamu minum ya?!”
“Kalo aku jawab enggak kamu pasti nggak akan percaya kan?”
Sekarang giliran aku yang diam.
“Aku jemput besok jam 9 pagi, kamu masih hutang traktir makan kan? Besok traktir aku mie ayam Pak Anwar!” dia langsung menutup telponnya.
Apa dia marah? Kenapa aku harus bertanya seperti itu? Memang apa urusannya jika dia pemabuk? Selama dia baik padaku, harusnya aku tidak mempermasalahkan itu! “Arggg!!” geramku.
Aku tak mau memikirkan ini lagi. Memikirkan ini membuatku pusing. Sekarang aku tidur dulu, besok saja aku pikirkan cara minta maaf.
***
“Ca, beneran nggak ikut?” tanya Abangku untuk kesekian kalinya.
“Iya.” Sahutku sambil mengganti chanel TV yang membosankan.
“Dimas ikut lho!” bujuknya sekali lagi.
“Salam aja buat dia!” jawabku lagi. “Nanti aku mau pergi sama Yusuf!” sambungku lagi.
“Kalian deket?” Bang Kevin mengintrogasi.
“Siapa?”
“Kamu sama Yusuf!”
“Iya. Dia sahabatku!”
“Ya udah, Abang cuma mau ngingetin kalo kamu udah punya Dimas!” peringatan yang cukup lebay menurutku.
Dari dulu juga sahabat cowokku lebih banyak dari sahabat cewekku. Baru SMA ini jumlah sahabat cewekku bisa lebih banyak dari sahabat cowokku. Maklumlah, dari dulu aku mainnya sama temen-temennya Bang Kevin yang mayoritas cowok.
“Iya, santai aja kali Bang! Dari dulu temen cowok gue juga banyak!” jawabku.
“Berangkat dulu! Assalammualaikum!” Bang Kevin meninggalkan ruang tengah. Dia mau jalan-jalan ke Car Free Day, sekalian jogging di Tri Lomba Juang. Biasanya dia langsung main futsal sama temen-temennya.
Aku heran, kenapa acara TV sekarang nggak ada yang bagus. Ini hari minggu, kenapa malah banyak acara infotaiment? Harusnya banyakin acara kartun, biar adik-adik yang lagi pada liburan bisa nonton TV. Bukannya malah dibanyakin sinetron.
Kebanyakan pesan-pesan moral yang dimuat dalam sinetron cuma tempelan aja. Kayak anjuran menaati lalu lintas. Adegan romantisnya lebih banyak, daripada adegan taat aturannya. Nggak heran, jaman sekarang anak SD udah pada pacaran. Kenapa malah bahas acara TV ya? Sudahlah, lupakan! Toh, aku nggak punya wewenang juga!
“Assalammualaikum!” suara Yusuf.
Aku langsung keluar. Setelah menutup pintu aku langsung menemuinya yang tidak turun dari motor. Dia memasangkan helm padaku dan tak mengatakan sepatah katapun. Aku rasa dia benar-benar marah.
Setibanya kami di warung Pak Anwar, kami langsung memesan mie ayam dan es teh. Kami duduk di salah satu meja, berhadapan. Dia tak bicara. Hanya sibuk dengan kertas dan bolpoint yang dipinjamnya dari Pak Anwar sewaktu memesan mie ayam tadi.
Apa dia benar-benar marah karena pertanyaanku semalam? “Mau ngobrol?” aku mencoba membuka pembicaraan ala dia.
Dia melihat ke arahku sebentar sambil menggeleng, kemudian kembali asyik dengan kertas dan bolpointnya.
Pesanan kami datang. Tapi dia tak menjamah makanan itu sedikitpun.
Aku mulai bingung harus bagaimana. “Marah?” tanyaku memastikan.
Dia tak menjawabku, malah memanggil Pak Anwar. “Pak pesanan saya tolong bawa ke sini!” serunya. Entah dia memesan apa lagi.
Tak berselang lama Pak Anwar membawakan sebingkis plastik. Aku tak tau apa isinya, plastiknya berwarna hitam. “Ini Mas!” Pak Anwar meletakkan bingkisan itu di meja.
Aku melihat ke arahnya seolah bertanya apa itu.
“Semalem kamu tanya, apa aku ini pemabuk, iya kan?” jawabnya akhirnya setelah cukup lama membisu.
“Kamu marah? Maaf, aku tau aku nggak punya hak untuk ikut campur tentang hidup kamu! Aku minta maaf!” aku langsung menggunakan kesempatan ini untuk minta maaf. Selagi dia mau bicara, aku harus segera minta maaf.
“Kalo gitu mulai sekarang aku kasih hak untuk kamu ikut campur tentang hidupku!” sahutnya dengan seulas senyum.
“Maksudnya?” apa itu artinya dia sudah memaafkanku?
Dia mendekatkan bingkisan yang dibawa Pak Anwar tadi. “Buka! Mungkin kamu dapet jawaban dari pertanyaanmu semalam!” serunya.
Aku membuka plastik itu. Isinya 11 buah jeruk. Aku mengeluarkan buah-buahan itu dari plastiknya, mungkin saja ada kertas atau semacamnya. Tapi tidak, plastik itu hanya berisi 11 jeruk, 10 mandarin dan 1 lokal.
Aku berpikir keras tentang maksudnya memberiku buah-buahan ini, dan dia malah asyik menyantap mie ayamnya. “Jeruk…” aku memutar otakku, mencoba mengingat hubungan jeruk dengan kejadian kemarin.
Aku sedang berpikir keras, sedangkan dia menikmati es tehnya.
Aku rasa keywordnya ada di jeruk lokal. Kupandangi detail jeruk yang satu itu. Aku tau! Kenapa aku bisa sebodoh itu? Harusnya aku tau ini dari tadi! “Sama-sama jeruk, ditaruh di plastik yang sama. Tapi jeruk lokal nggak akan jadi jeruk mandarin! Rasa dan bentuknya nggak akan berubah!” pekikku. “Kemarin kamu nggak minum, temen-temen kamu yang minum? Kamu tetep anak baik yang aku kenal!” lanjutku.
Dia melihat ke arahku sambil melahap mie ayamnya. Dia menyodorkan kertas yang dia tulisi tadi. “Hadiah karena kamu bisa jawab!” pekiknya.
Aku menerima kertas itu, dan membaca tulisannya. Tanpa kusadari senyum mengembang di wajahku. “Sajak Putih…”
“Bersandar pada tari warna pelangi
Kau denganku, bertudung sutra senja
Di hitam matamu kembang mawar dan melati
Harum rambutmu mengalun bergelut senja
Sepi menyanyi malam dalam mendoa tiba
Meriak muka air kolam jiwa
Dan dalam dadaku memerdu lagu
Menarik menari seluruh aku
Hidup dari hidupku pintu terbuka
Selama matamu bagiku menengadah
Selama kau darah mengalir dari luka
Antara kita mati datang tidak memebelah” dia bersajak dengan indah. Kaget juga, dia bisa membaca puisi dengan indah.
“Buat miratku, ratuku! Kubentuk dunia sendiri,
Dan kuberi jiwa segala yang dikira orang mati di alam ini
Dan semburkanlah tenaga dan hidup dalam tubuhku” aku meneruskan bait yang sering dilupakan. Setahuku ada empat bait dari puisi ini, tapi kebanyakan orang hanya tahu tiga bait pertama saja. “Bait keempat!” sambungku.
“Cuma tiga bait kan?” tanyanya.
“Ada empat! Sayangnya bait terakhir nggak banyak yang tau!” jawabku.
“Kamu suka puisi?” tanyanya sambil melanjutkan makannya.
Aku mulai menyantap mie ayam yang daritadi belum kusentuh sedikitpun. “Dulu waktu SMP aku hobi bikin puisi, bahkan waktu kelas tujuh aku pernah ikut lomba cipta puisi, tapi sayangnya kalah gara-gara waktu itu moodku lagi nggak mendukung!” jelasku. Aku butuh mood yang lagi sedih untuk bisa bikin puisi, dan saat itu aku lagi seneng. Aneh ya? Memang!
“Oh..” dia mengangguk paham.
Aku tak sengaja menatap matanya saat hendak melahap mie ayamku. Matanya cokelat, aku baru menyadarinya. Untuk pertama kalinya aku punya sahabat sepertinya, sahabat yang penuh teka-teki. Kadang dia bersikap seperti bad boy, kadang dia menjadi good boy.
“Kenapa?” tanyanya menyadari aku menatapnya.
“Sebenernya kamu itu bad boy atau good boy sih?” pekikku jujur.
“Kalo aku bad boy, kamu masih mau temenan sama aku?” dia membalik pertanyaanku.
“Why not?” jawabku. “Bajingan sekalipun akan kujadikan teman jika dia layak!” sambungku.
“Aku lebih suka berteman sama mereka, royalitas mereka aku suka! Terserah mau anggap aku bad boy atau good boy!” sahutya.
“I don’t care! Kamu tetep sahabatku!” aku melempar senyum padanya.
Kami melanjutkan makan kami. Setelah aku membayar, dia langsung mengantarku pulang.
Di depan rumah ada Kak Dimas, feelingku tak enak. Benar saja, baru saja aku turun dari motor, Kak Dimas memukul Yusuf. Yusuf tak tinggal diam dan membalasnya.
“Anjing! Berani lo gangguin cewek gue!” Pekik Kak Dimas sambil melayangkan pukulan tepat dipipi Yusuf yang baru saja melepas helm nya. Hingga dia terjatuh
Tak terima dengan pukulan Kak Dimas, Yusuf melayangkan pukulan balasan.
Aku segera melerainya, “Kamu pulang dulu!” aku mencoba membuat Yusuf mengalah.
“Nggak, gue bukan pengecut yang pergi tanpa nyelesaiin masalah!” sahutnya penuh amarah..
“Pulang sekarang, atau aku nggak mau ketemu kamu lagi!” tegasku.
Tanpa menjawab dia pergi sambil berteriak, “Masalah kita belum selesai!”
“Awas kalo lo berani nemuin Caca lagi!” teriak Kak Dimas tak mau kalah.
Aku menatapnya dan memegang pipinya. “Kamu kenapa?” tanyaku.
Dia menepis tanganku dari pipinya tapi tetap melihat ke arahku. “Udah ada yang lain?!”
“Namanya Yusuf, dia sahabatku.” Aku mencoba menjelaskan.
“Yakin cuma sahabat?” dia tak mempercayai penjelasanku. Sebenarnya aku sedikit senang, selama ini dia tidak pernah cemburu.
“Terserah kalo kamu nggak percaya, asal kamu tau! Kencana Sanjaya cuma cinta sama satu orang, Dimas Bagaskara! Kalo kamu nggak bisa terima itu ya udah!” aku menegaskannya dan berlalu meninggalkannya. Tapi tangannya memegang tanganku, menghentikan langkahku.
Dia menyusul langkahku dan berdiri dihadapanku. “Aku percaya!” sahutnya sambil membelai pipiku lembut dengan tatapan tajam ala Kak Dimas.
***
Kak Dimas sedang bersama Abangku di ruang tamu. Mereka berdua bersama teman-temannya sedang mengerjakan tugas. Tadi, tak berselang lama setelah aku dan Kak Dimas masuk rumah, Bang Kevin dan teman-temannya datang. Setelah memberi jamuan untuk mereka, aku kembali ke kamarku.
Saatnya aku menyelesaikan masalah dengan Yusuf. Jika ada kesempatan, aku ingin mengenalkannya pada Kak Dimas dan juga Abangku. Biar kejadian kayak tadi nggak terulang lagi. Aku menelponya. Kalo saja aku tau rumahnya, aku akan datang ke rumahnya dan meminta maaf.
“Halo?” dia mengangkat telponku.
“Maaf!”
“Kamu nggak salah!”
“Maafin Kak Dimas!”
“Ya!”
“Ikhlas nggak?”
“Iya!”
“Beneran?”
“Iya.”
“Besok ada acara nggak?”
“Enggak!”
“Mau makan malam di rumahku?”
“Oke.”
“Aku mau kenalin kamu ke Kakak dan pacarku, biar mereka nggak salah paham sama kamu!”
“Ya.”
“Aku tunggu besok jam tujuh malam!”
“Ya.”
Aku menutup telpon.

BelieveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang