Try out menjadi berkah tersendiri bagi kami, siswa kelas 10 dan kelas 11. Selama 3 hari, kami diliburkan agar tidak mengganggu kakak-kakak yang lagi berjuang. Berbeda dengan kami, siswa kelas 12 sedang pusing menghadapi try out. Kebahagiaan untukku, tapi derita untung Abangku.
“Makan dulu!” aku mengambilkan sepiring nasi goreng untuk Abangku yang sedang duduk di meja makan sambil membaca buku.
Dia makan sambil membaca buku. Makan lauk buku jadinya, biarlah, yang penting dia sarapan.
Aku ke dapur mengambil tempat makan. Meja makan dan dapur tidak terletak jauh.
“Kamu nggak sarapan?” tanya Abangku.
“Nanti Bang! Belum mood makan!” jawabku sembari kembali ke meja makan membawa tempat makan yang kuambil dari dapur.
“Kok 2?” dia bingung melihatku menyiapkan dua bekal.
“Yang satu buat Kak Dimas, yang satu buat Bang Kevin!” jawabku. Aku menyiapkan dua bekal hari ini. Satu untuk Abangku, satu lagi untuk Kak Dimas. Hari ini mereka try out jadi harus banyak tenaga biar bisa mikir.
“Cie!!” ledeknya.
“Apa sih Bang!” aku agak malu sebenarnya, tapi bodo amatlah, namanya juga usaha. Kata orang dulu, kuasai dirinya lewat perutnya.
Dengan cepat Bang Kevin menghabiskan makanannya dan segera bergegas sekolah. Aku mengantarnya sampai depan rumah.
“Semangat Bang ngerjainnya! Jangan lupa berdoa!” aku mengingatkannya.
“Iya, kamu jangan lupa sarapan!”
Aku mencium tangannya, kemudian dia berangkat dengan sepeda motornya.
“Assalammualaikum!” serunya sambil berlalu.
“Waalikumsalam!”
Aku teringat kalo aku belum mengambil laporan praktikum Biologiku di fotocopyan dekat gang. Kemarin aku menjilidnya di sana, tapi belum aku ambil. Maklumin aja, kemarin terlalu girang gara-gara Jeni sama Mey udah baikan.
Lebih baik aku ambil sekarang. Fotocopyan itu buka 24 jam, dan mumpung masih pagi warung di dekatnya masih tutup, jadi aman.
Aku ke sana naik sepeda, sekalian olahraga. Lagi pula nggak ada motor juga sih di rumah. Maklumlah, Ayah dan Bunda melarangku naik motor sendiri. Bahaya katanya. Aku nurut-nurut saja, kan ada Bang Kevin, kalo ke mana-mana tinggal minta dianterin Bang Kevin.
Dari dalam tempat fotocopyan aku melihat seseorang. Pakai seragam SMA, pasti kelas 12. Hari ini kan kelas 10 dan 11 libur. Aku tidak terlalu melihat wajahnya dengan jelas, tapi aku bisa melihat apa yang dia lakukan. Dia turun dari motornya, karena ada nenek-nenek yang mau menyebrang, dan dia membantu nenek itu. Salut, masih ada orang sebaik dia ternyata.
“Dek ini, 3000!” seru Mbak-mbak penjaga fotocopyan. Aku agak terkejut, karena aku sedang fokus memperhatikan orang tadi yang dengan sabar menuntun nenek itu.
“Oh iya Mbak, makasih!” aku membayar dan segera keluar.
Aku memperhatikan orang itu lagi, aku tau dia. Orang iseng yang waktu itu mengajakku kenalan, Yusuf kalo nggak salah. Ternyata dia orang yang baik. Penilaianku kalo dia hanya orang urakan yang hobinya gangguin cewek, ternyata salah.
Dia selesai menyebrangkan nenek itu, dia kembali menyebrang ke sini, karena motornya ada di sini. Aku sengaja menunggunya, aku mau minta maaf sudah berprasangka buruk padanya tempo hari.
“Hai Nggak Peduli!” sapanya langsung menuju arahku.
Aku tersenyum, “Aku Kencana!” Aku percaya dia orang yang baik, makanya aku memberitahu namaku.
Dia tersenyum, “Ngapain di sini?”
“Ambil jilidan.”
“Nggak sekolah?”
“Libur.”
“Oh iya, kelas 11 hari ini libur ya?!” dia menepuk jidadnya. Aku heran sebenarnya, dari mana dia tahu kalo aku kelas 11?
“Maaf, tempo hari aku berprasangka buruk sama kamu!” aku meminta maaf.
“Aku juga minta maaf!”
“Buat?”
“Aku bohong waktu bilang aku nggak tau nama kamu!”
“Kamu tau namaku? Dari mana?”
“Kencana Sanjaya, lahir di Semarang tanggal 29 April, anak dari Pak Sanjaya dan Ibu Karina, punya kakak namanya Kevin Sanjaya, sekarang kelas 11…”
“Tunggu-tunggu! Kok kamu tau?” aku memotong perkataannya. Aku heran bagaimana dia bisa tahu? Semua yang dia katakan itu benar.
Dia melihat jam tangannya, “Aduh, udah hampir telat, masih pengen ngobrol sama kamu sebenernya!”
“Ya udah berangkat aja, kita ngobrol lain waktu!”
“Kamu mau ngobrol lagi sama aku?”
Aku mengangguk.
“Asyik! Ya udah aku berangkat dulu, assalammualaikum!” dia berlalu dengan sepeda motornya. Motornya unik, motor jaman dulu, kayaknya dia pencinta vintage.
“Waalikumsalam!”
Aku juga pulang, dengan naik sepeda.
Sesampainya di rumah aku membuat kue kering di dapur. Daripada aku nggak ada kerjaan. Sekalian nimbun makanan untuk temen-temenku atau temen-temen Bang kevin.
***
Ini hari terakhir try out. Kak Dimas mengajakku jalan. Sepulang sekolah dia langsung ke sini menjemputku. Ini pertama kalinya aku jalan berdua dengannya. Mungkin aku bisa sebut ini dating. Nggak sabar, tapi juga deg-degan.
“Assalammualaikum!” Abangku sudah pulang.
“Waalaikumsalam!” aku segera ke luar kamar untuk menyambutnya. Dia bersama Kak Dimas.
“Mau pergi sekarang?” tanya Bang Kevin.
“Iya.” Jawab Kak Dimas.
Kami segera berangkat. Pertama kalinya aku dibonceng Kak Dimas naik motornya. Jantungku berdegup kencang sekali. Aku bingung harus bagaimana. Selama perjalanan tak ada percakapan antara kami. Sampai akhirnya dia menghentikan sepeda motornya di sebuah tempat. Tanah luas yang ditumbuhi ilalang yang menjulang tinggi, dan ada sebuah pohon besar yang tidak terlalu tinggi. Tak ada siapa-siapa selain kami di sini.
“Ayo naik ke pohon!” ajaknya. Sambil berlalu menuju pohon itu.
“Hah?” bingung jadinya, sebenarnya apa tujuannya mengajakku ke sini? Tapi aku mengekor saja. Sebenernya aku mengira dia mengajakku ke tempat yang romantis, ternyata tidak. Apa romantisnya tumbuhan-tumbuhan ilalang itu?
Pohonnya tidak terlalu tinggi, jadi aku bisa naik ke atasnya, menyusul Kak Dimas yang sudah lebih dulu naik ke pohon. Kami duduk di ranting pohon yang cukup kokoh.
“Sebenernya kita ngapain sih Kak ke sini?” tanyaku heran.
“Kamu lihat ke sana!” dia menunjuk ke bawah.
Aku melihat ke arah dia menunjuk. “Waw!” pekikku kagum. Dia memotong ilalang membentuk love dan menghiasinya dengan bunga. Jika di lihat dari sini, Bunga itu membentuk suatu kalimat. “I love you.” Seketika aku dibuat membeku olehnya. Aku harus apa sekarang? Apa dia baru saja mengakui perasaannya? Aku yakin wajahku terlihat sangat bego sekarang.
“Kamu mau jadi pacarku?” tanyanya membuatku makin membeku.
Aku tak bisa mengatakan apapun. Lidahku rasanya kelu.
“Aku nggak perlu jawaban! Aku perlu kesempatan! Kamu kasih kesempatan buat aku, masalah bikin kamu sayang sama aku itu tugasku!” lanjutnya lagi.
Sumpah Kak, aku nggak nyangka kamu bisa seromantis ini. “Kak Dimas nggak perlu kesempatan untuk bikin aku sayang sama Kak Dimas, karena aku memang udah sayang sama Kak Dimas.” Akhirnya aku bisa mengatakan sesuatu.
“Jadi?” dia memastikan.
“Aku terima Kak Dimas!”
Dia terlihat bahagia. Begitu juga aku. Kami menikmati pemandangan dari atas sini. Sejujurnya aku merasa ini terlalu cepat, tapi tak ada salahnya mencoba. Cinta emang sering datang dengan cepat. Kalo suatu saat nanti aku menyesal, setidaknya aku menyesal karena melakukan sesuatu, itu lebih baik daripada aku menyesal karena tidak melakukan sesuatu.
“Waktu aku ngajak kamu jalan tapi kamu lagi badmood, sebenernya aku udah nyiapin ini!” sahutnya.
Sekarang aku jadi nyesel, kenapa aku harus badmood waktu itu? Kasihan Kak Dimas, pasti waktu itu dia kecewa banget. “Pasti waktu itu kamu kecewa banget ya?”
“Anggap aja itu perjuangan buat dapetin kamu!” jawabnya dengan senyum manis.
Aku nggak bisa nahan untuk nggak ikut senyum tiap lihat senyum manisnya itu. Ini moment yang bener-bener istimewa. Aku seneng banget, aku rasa hidupku sempurna sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Believe
Teen FictionApapun hubungannya, jika sudah tak ada rasa saling percaya, bertahan akan sangat menyakitkan. Sesakit apapun itu, aku tak pernah sanggup meninggalkanmu sendiri. Biarlah aku saja yang merasakan perihnya, karna terlalu sakit melihatmu terluka.