Di depan kelas Bu Yuni terus-terusan membahas tentang identitas trigonometri. Sepertinya dia memang tidak peduli pada murid-murid yang mulai muak dengan pelajaran matematika. Sebagian besar, teman-temanku sudah menyenderkan kepalanya pada meja, seolah tak sanggup lagi menahan beban pikiran tentang sin, cos, dan kawan-kawannya.
Bukannya malas, tapi kami letih. Dua jam pertama kami sudah bertemu kimia, sekarang jam ke tiga dan empat kami harus menghadapi identitas trigonometri yang tak terhitung jumlahnya. Tolonglah, jangan siksa kami seperti ini!
Cukup, aku sudah mabuk matematika hari ini. Aku langsung pamit izin ke kamar mandi. “Permisi Bu, saya mau izin ke belakang!” pamitku ketika berada di dekatnya yang sedang menulis jutaan identitas trigonomerti di papan tulis.
“Ya!” sahutnya tanpa menoleh.
Baru selangkah aku ke luar dari kelas, udara segar menyambutku. Aku bisa bernapas dengan lega, tanpa dihantui sin-cos-tan. Di dekat kelasku memang ada kamar mandi, tapi aku sengaja memilih untuk ke kamar mandi di area kelas 10 saja. Aku tak mau cepat kembali ke kelas.
Sekolahku bentuknya seperti angka delapan. Di bagian barat adalah area kelas 11, bagian selatan area kelas 10, bagian utara ada kantin, laboratorium fisika, laboratorium biologi, laboratorium kimia, laboratorium computer, perpustakaan, dan UKS. Sedangkan ruang guru berada di tengah, membatasi bagian depan dan belakang. Bagian belakang terbentang lapangan utama yang biasanya digunakan untuk upacara. Sementara bagian depan, paling timur ada area kelas 12, TU, ruang kepsek dan masjid. Bagian selatan adalah aula, sedangkan bagian utara adalah parkiran. Antara area kelas 12 dan TU ada sekat yang merupakan gerbang utama dan terdapat pos satpam di situ.
Kalo aku keluar kelas, otomatis aku bisa langsung melihat murid-murid yang sedang olahraga. Ternyata ini jadwal olah raga kelas 12 MIA 6, kelasnya Bang Kevin. Aku sengaja melambatkan jalanku, untuk mencari sosok Kak Dimas. Tak butuh waktu lama aku langsung bisa menemukannya yang sedang bermain sepak bola dengan teman-temannya dan juga Abangku.
Sebuah senyum terukir di bibirku. Dia keren kalo lagi main bola. Aku jadi setengah tak percaya, cowok keren itu adalah pacarku. Aku terus memandanginya sampai aku masuk ke kamar mandi.
Aku hanya cuci muka di washtafel, aku mendengar langkah seseorang masuk dan pintu salah satu bilik toilet tertutup. Aku keluar dari kamar mandi, dan aku terkejut melihat Kak Dimas dan Bang Kevin sudah ada di depan pintu.
Mereka juga kelihatan kaget saat aku membuka pintu.
“Kalian?!” pekikku heran.
Bang Kevin malah mengusap dadanya dan terlihat lega, “Kamu baik-baik aja kan Ca?” tanyanya segera.
“Ya iyalah! Emang kenapa Bang?” aku semakin heran.
“Kamu ngapain sih ke sini? Di deket kelas kamu kan juga ada kamar mandi!” sahut Kak Dimas, dia terlihat cemas.
Aku benar-benar bingung dengan tingkah mereka. “Kalian kenapa sih?” aku mencoba meminta penjelasan.
“Kamar mandinya angker!” bisik Bang Kevin. “Lagian kamu nggak takut apa sendirian di dalem? Abang sama Dimas udah siap-siap mau masuk tadi! Takut kamu kenapa-kenapa!” lanjutnya tak lagi berbisik.
“Bentar, sejak kapan kalian ke sini?” tanyaku, perasaanku mulai tidak enak.
“Aku lihat kamu ke sini, terus aku langsung ajak Kevin nyusulin kamu.” Jelasnya.
Seketika bulu kudukku berdiri. Mereka sudah di sini dari tadi, dan mereka bilang aku sendirian di dalam. Artinya mereka tidak melihat orang lain masuk, lalu yang tadi itu langkah kaki siapa? Aku membuka kembali pintu kamar mandi, dan ternyata kosong, semua bilik toilet juga terbuka.
“Ca! nggak usah nakut-naktin deh!” seru Bang Kevin. Aku hampir lupa, Abangku ini memang takut sama hantu. Piagam juara bela dirinya banyak, tapi sama hantu takutnya minta ampun.
“Dasar penakut! Aku mau balik ke kelas dulu ya!” aku berlalu mendahului mereka. Aku sengaja tak membahas tentang suara langkah kaki dan pintu tertutup tadi, bisa-bisa nanti malem Bang Kevin nggak bisa tidur.
Mereka juga kembali ke lapangan.
“Teet!! Teet!!” Pas sekali. Aku masuk kelas, bel istirahat langsung berbunyi.
“Makasih Bu!” aku langsung berterima kasih atas izin yang tadi dia berikan.
“Sama-sama.” Jawabnya. “Sekian dulu, selamat beristirahat!” lanjutnya menutup pelajaran Matematika hari ini. Bu Yuni ke luar dari kelas ini dan teman-teman sekelasku mulai berhamburan ke luar.
“Di kamar mandi ada hantu!” pekikku segera sebelum keempat sahabatku beranjak.
“Seriusan?” tanggap Fika serius.
Aku mengangguk.
“Kamar mandi mana?” tanya Lia ikut berkomentar.
“Kelas 10.”
“Pantesan lama banget!” Sahut Jenifer.
“Makanya kalo mau cabut tu ngajak-ngajak!” Mey angkat bicara.
“Emang lo lihat apa?” Lia mengintrogasi.
“Jadi waktu gue cuci muka di washtafel, gue denger langkah kaki masuk terus pintu bilik ketutup. Gue kira ada orang masuk, ya jadi gue cuek-cuek aja! Nah, waktu gue ke luar kamar mandi, Bang Kevin sama Kak Dimas udah di depan pintu, mereka nyusulin waktu lihat gue masuk, dan mereka bilang khawatir gara-gara gue sendirian di dalem! Kalo mereka langsung nyusulin harusnya mereka lihat orang yang masuk waktu gue cuci muka dong!” jelasku panjang lebar.
“Lo yakin itu hantu?” Mey masih setengah tak percaya.
“Yakin banget! Orang gue ngecek kamar mandinya, dan nggak ada siapa-siapa, pintu bilik juga kebuka semua!”
“Terung Abang lo sama pacar lo gimana?” Lia menanyakan reaksi Abang dan pacarku.
“Iya tuh, bukannya Abang lo itu takut setan kan?!” Mey menambahi.
“Gue nggak bilanglah! Yang ada ntar malem Abang gue nggak bisa tidur!”
“Eh, by the way nanti malem lo jadi ngajak Yusuf sama Dimas makan malem?” Jenifer mengalihkan topik pembicaraan.
“Jadi.”
“Oh, pantesan!” pekik Fika setelah melihat layar handphonenya.
Kami melihat ke arah Fika.
“Kamar mandi itu emang angker, katanya tiap jam dua belas siang ada yang suara-suara gitu!” jawab Fika sebelum kami bertanya.
“Udahlah! Makan yuk!” ajakku. Kami langsung berlalu menuju kantin. Perutku sudah protes, minta diberi amunisi.
***
Sepertinya hanya aku orang yang sedang tegang di meja halaman belakang ini. Malam ini kami makan di meja yang ada di halaman belakang. Mana kutau kalau ternyata hari ini Ayah dan Bunda datang. Aku kaget setengah mati saat melihat mobil Ayah terpakir di halaman depan, sepulang sekolah tadi. Makan malam yang awalnya untuk membuat sahabat dan pacarku saling mengenal, malah berubah menjadi makan malam keluarga.
“Jadi, kalian berdua kelas 12? Seumuran sama Kevin ya?!” Ayah membuka pembicaraan dengan ramahnya.
Mereka berdua hanya tersenyum sambil mengangguk.
Aku tidak bisa menikmati makan malamku. Untuk menelan saja rasanya susah. Aku khawatir, apa saja yang akan di tanyakan Ayah pada mereka? Semoga Ayah tidak bertanya yang macam-macam.
“Ca, pisau buah ditaruh di mana sih?” sahut Bunda.
Aku agak linglung untuk mencerna perkataan Bunda. “Hah?”
“Pisau buahnya di mana?” Bunda mengulangi pertanyaannya.
Sial, gara-gara situasi ini aku jadi mendadak kikuk. Yang diintrogasi mereka berdua, kenapa malah aku yang bingung? Aku mencoba merangkai kata, supaya tak ada yang tau kalo aku sedang bingung. “Emang di dapur nggak ada Bun?” aku mencoba tetap tenang.
“Coba cariin! Bunda udah nyari nggak ada tuh!” pinta Bunda.
Aku segera menuju dapur. Tau apa yang kulihat? Pisau itu terletak di tempatnya, bersama pisau-pisau lainnya. Biar kutebak, ini alasan Bunda saja untuk menyuruhku pergi. Baiklah, setidaknya ini lebih baik dari pada aku tetap di sana.
“Tenang! Mereka nggak digigit kok!” sahut seseorang yang baru masuk ke dapur.
“Kenapa nggak bilang sih Bang kalo Ayah sama Bunda mau ke sini?!” aku sedikit kesal. Bang Kevin tidak memberitahuku tentang ini. Sengaja menjebakku ternyata. Lihat aja, aku nggak mau masakin dia selama sebulan. Biar tau rasa dia!
“Milih siapa?”
“Milih apa? Walikota? Gubernur? Atau Presiden?” aku sok nggak paham. Aku tau kok, dia memintaku memilih antara Kak Dimas dan Yusuf. Dan itu adalah pilihan yang sulit. Kak Dimas pacarku, sedangkan Yusuf sahabatku. Mereka berdua sama-sama penting.
“Kata orang-orang, Yusuf tukang mabuk? Urakan?”
Aku menggeleng. “Enggak.” Kurasa Yusuf terkenal dengan reputasi yang buruk, tapi aku nggak peduli. Aku tetap percaya, dia itu baik.
“Jangan asal percaya! Cowok jago pencitraan!” dengan bangganya dia bilang seperti itu. Apa dia nggak sadar, kalo dirinya sendiri juga cowok?!
“Abang juga dong!”
“Itu pengecualian!” tepisnya.
Aku tersenyum kecil. “Justru sikapnya yang apa adanya dan terbuka, bikin aku yakin dia baik!”
“Apa jaminannya?”
“Dikira gadaiin barang apa pake jaminan segala?!” candaku.
“Abang serius!” salah waktu ternyata candaanku.
“Orang yang punya reputasi buruk, belum tentu kelakuannya buruk! Orang yang kelakuaannya baik, juga bisa aja sekedar pencitraan!” itu yang aku pelajari dari Yusuf. Dan lagi, aku pernah benar-benar percaya pada orang yang kelihatannya baik. Tapi nyatanya dia lebih buruk dari pengkhianat. Maaf, aku nggak mau cerita tentang orang itu, bahkan menyebut namanya aja aku udah nggak sudi.
Tak lama berselang Bunda datang. “Ca, Vin, dipanggil Ayah!” wajah Bunda kelihatan berseri-seri. Aku jadi penasaran apa aja yang terjadi tadi.
“Udah pulang mereka?” tanya Bang Kevin.
Bunda mengangguk.
Bang Kevin dan Bunda berlalu meninggalkanku yang kebingungan. Aku mengerti sekarang, ini pasti rencana Bang Kevin. “Emang dasar tuh orang!” dengusku kesal. Aku mengikuti mereka menuju halaman belakang.
Kami berempat duduk di meja yang ada di halaman belakang. Hening. Ayah dan Bunda terlihat senang, entah kenapa. Mungkin mereka puas mengerjai Kak Dimas dan Yusuf.
“Gimana Yah?” Bang Kevin membuka pembicaraan.
“Lumayan.” Jawab Ayah.
“Ca!” seru Bunda.
Aku tak menjawab dan sengaja memasang tampang bête. Aku ingin mereka tau kalau aku nggak suka dengan apa yang mereka lakukan hari ini. Seenaknya mengerjai anak orang. Gimana kalo sampe aku yang kena karmanya?
“Tuh kan Yah, ngambek!” goda Bunda.
Mereka bertiga malah tertawa melihatku.
“Ketawa aja terus!” sungutku.
“Iya-iya, Abang minta maaf! Ini rencana Abang!” Bang Kevin akhirnya mengerti kekesalanku.
“Udah nggak usah ngambek, Ayah sama Bunda suka kok sama mereka berdua! Mereka baik!” sahut Bunda.
“Apalagi sama pacar kamu, siapa namannya? Yusuf?” tambah Ayah.
“Bukan Yah, Dimas yang pacarnya Caca!” Bang Kevin membenarkan.
“Jangan bilang Ayah nggak suka sama Kak Dimas?!” pekikku segera. Kenapa bisa Ayah mengira Yusuf pacarku.
“Tenang aja, mau kamu sama Yusuf ataupun Dimas, kita tetep restuin kok! Iya nggak Yah!” jawab Bunda.
“Iya!” sahut Ayah.
“Oh iya, besok pulang sekolah, Bunda mau ngajak kalian ke rumah temen Bunda!” Bunda mengganti topik pembicaraan.
Aku masih kesal dengan Bang Kevin, tapi tak kutunjukan. Nanti saja kalo Ayah sama Bunda udah pulang baru akan kubalas. “Siapa Bun?” tanyaku mencoba memendam rasa kesalku.
“Hesti, istrinya Almarhum Pak Kristanto.” Jawab Bunda.
“Tante Hesti yang dulu tetanggan sama kita?” tanggap Bang Kevin.
“Iya!” jawab Bunda.
Aku hanya menyimak. Aku bahkan tidak tau tetangga yang mana yang Bunda maksud. Dulu hampir tiap tahun kami pindah rumah. Maklumlah, waktu itu kami belum punya rumah, jadi kami pindah dari kontrakan satu ke kontrakan yang lain, demi mencari kontrakan yang paling murah.
Waktu itu, Ayah masih menjadi dokter junior, belum banyak orang yang percaya. Namanya juga dokter baru, belum banyak pengalaman dan pendapatannya sedikit. Alhamdulillah, dengan kerja keras dan kegigihan Ayah, serta kesabaran Bunda, tepat saat Bang Kevin lulus SD, kami mampu membeli rumah yang saat ini aku dan Bang Kevin tempati ini. Rumah dengan ukuran 6x10, dan halaman depan serta belakang masing-masing 6x2 ini, dapat kami beli setelah menabung bertahun-tahun.
Tiga tahun kemudian, Ayah mendapat tawaran pekerjaan dari temannya untuk menjadi dokter disalah satu rumah sakit swasta di Solo, jadi Ayah pindah ke sana bersama Bunda. Awalnya Ayah berat meninggalkanku dan Bang Kevin sendiri di Semarang, tapi Bang Kevin berhasil meyakinkannya bahwa dia bisa menjagaku, dan kami akan baik-baik saja di sini. Lagipula, sejak kecil kami memang sudah dididik untuk mandiri dan saling menjaga satu sama lain.
Satu tahun di sana Ayah sudah mampu mendirikan klinik sendiri, juga membeli rumah, dan sebuah mobil. Dia juga membelikan Bang Kevin motor, maklum motor lama kami sudah tua, dan nggak kuat kalo diajak jalan jauh. Mungkin karena dulu sering mengangkut kami berempat.
Perlahan kehidupan kami semakin membaik. Dari yang awalnya hanya tinggal dikontrakan, sekarang sudah mampu memiliki rumah sendiri. Dari yang awalnya kemana-mana naik 1 motor untuk berempat, sekarang punya satu mobil dan 2 motor. Dari yang awalnya dipekerjakan orang, sekarang mempekerjakan orang. Semua itu perlu proses, usaha, doa, kesabaran, dan keyakinan. Walaupun kami hanya hidup sederhana, setidaknya hidup kami tidak sesulit dulu.
Malam ini kehangatan menyelimuti rumah kami. Kami membicarakan banyak hal. Bercanda, berkeluh kesah, bercerita, semuanya terasa sangat menyenangkan. Kumpul keluarga seperti ini, sangat berarti bagi kami yang tinggal terpisah. Terkadang aku iri pada mereka yang setiap hari bisa berkumpul dengan keluarganya, tapi malah sibuk dengan gadgetnya masing-masing. Mereka tidak tau beratnya menahan rindu.
Sudah semakin larut. Kami kembali ke kamar masing-masing. Aku teringat dengan dua orang yang tadi diintrogasi Ayah. Aku agak nggak enak sama mereka, apalagi Yusuf. Kalo Kak Dimas kemungkinan besar pasti udah dikasih tau Bang Kevin, sedangkan Yusuf? Aku putuskan untuk menelpon Yusuf.
“Halo?” dia menjawab dengan cepat.
“Udah di rumah?”
“Baru aja nyampe.”
“Ayah tadi tanya macem-macem ya? Maaf ya! Aku nggak tau kalo mereka ke sini hari ini!”
“Santai aja! Orangtua kamu baik!”
“Tapi kamu nggak kapok kan main ke rumahku?” gurauku.
“Enggaklah! Malahan makin seneng main ke rumah kamu, kan sekarang keluarga sama pacar kamu udah kenal aku!”
“Ya udah, istirahat gih, udah malem!”
“Bilang aja kamu ngantuk!”
Aku tertawa mendengarnya. Memang benar, aku udah ngantuk. “Tau aja!”
“Ya udah, tidur sana!”
“Bye!” aku menutup telpon.
Untung saja dia nggak marah. Tapi tetap Bang Kevin harus dapet hukuman, dan kurasa aku tau apa hukuman yang cocok buat dia.
“Bang!” seruku di depan kamar Bang Kevin.
“Masuk!” jawaban dari dalam.
Aku langsung masuk. Dia sedang menata buku pelajaran. Aku langsung menjajah kasurnya. “Bang!” seruku.
“Apa?”
“Tadi waktu di kamar mandi Caca denger suara langkah kaki terus suara pintu bilik ketutup!” ini namanya pembalasan, dan ini lebih baik dari pada sebulan aku nggak masak buat Bang Kevin. Aku yakin setelah ini dia kapok.
Dia langsung berlari mendekat ke arahku dan meninggalkan tumpukan bukunya. “Ca! Nggak usah mulai deh!” ancamnya.
“Emangnya Abang yakin, tadi nggak lihat orang masuk gitu?! Soalnya waktu Caca lihat ke dalam, emang nggak ada siapa-siapa!” sengaja kubuat agak berlebihan, agar dia semakin takut.
Berhasil, dia semakin merapat padaku. “Ca, nggak usah bercanda deh! Nggak lucu tau nggak!?” dia sudah sangat takut.
“Ya udah ya Bang! Caca balik ke kamar dulu! Mau tidur!” aku bangkit, tapi dengan segera dia menarik tanganku.
“Tidur di sini aja Ca!” pintanya memelas.
“Ogah!” tungkasku.
“Kamu sih pake cerita masalah itu!” sungutnya.
“Kan Caca baik, jadi ada apapun harus cerita sama saudaranya!” sengaja kubuat agak menyindir.
“Oh, jadi kamu mau balas dendam?” akhirnya dia paham.
“Iya!”
“Maaf-maaf! Lain kali gak diulangi lagi deh!” dia menyesal. “Tapi malam ini kamu tidur di sini aja ya!” rayunya.
Wajahnya memelas, aku jadi tak tega. “ Ya udah iya!” kasihan juga kalo semaleman dia nggak tidur. Untung Abangku, kalo nggak udah aku bikin ketakutan sekalian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Believe
Teen FictionApapun hubungannya, jika sudah tak ada rasa saling percaya, bertahan akan sangat menyakitkan. Sesakit apapun itu, aku tak pernah sanggup meninggalkanmu sendiri. Biarlah aku saja yang merasakan perihnya, karna terlalu sakit melihatmu terluka.