“Ca, ada kakak kamu di depan!” seru Fina.
Aku lagi asyik main game dari handphoneku waktu Fina memanggilku, tapi karena dia bilang ada Abangku, jadi aku langsung menghampirinya. “Ngapain?”
Fina menggeleng.
Aku segera ke depan kelas menemui Bang Kevin. “Kenapa Bang?” seruku.
“Tolong bukain UKS?”
“Emangnya siapa yang sakit?” Abangku terlihat sehat-sehat saja, mungkin temannya.
“Dimas.”
Pasti gara-gara dia ngasihin jaketnya kemarin, dia jadi masuk angin sekarang. “Bentar!” aku masuk kembali ke kelas mencari Fina. “Fin, kunci UKS!” seruku. Fina itu wakil ketua PMR di sekolahku. Dulu ketua PMR, Dila, pernah menghilangkan kunci UKS, makanya sekarang kunci UKS dipegang oleh Fina yang juga merupakan teman sekelasku.
UKS memang selalu dikunci, jika ada yang sakit barulah menemui Fina minta dibukakan UKS. Memang sedikit ribet, tapi itu aturan dari sekolah. Alasannya biar UKS tidak dijadikan tempat bolos pelajaran. Dan kunci UKS sepenuhnya ada dikekuasaan kelas 11.
Ini yang aku suka dari menjadi kelas 11, kita menguasai ekstrakulikuler. Terlalu berlebihan untuk disebut menguasai, mungkin bertanggung jawab lebih tepat. Walau begitu sebenarnya hanya ketua dan wakil yang punya kuasa penuh atas kunci UKS, dan aku anggota biasa. Tapi jangan salah, waktu pemilihan dulu aku adalah salah satu kandidad yang cukup kuat, tapi aku kabur waktu debat soalnya memang aku nggak berminat sama sekali menjadi ketua. Aku lebih suka menjadi anggota tapi sangat dibutuhkan. Dan ya, aku menjadi anggota yang bisa dibilang pentinglah, itu sebabnya Fina membiarkan kunci UKS di tanganku.
“Siapa yang sakit?” Fina memberikan kunci UKS padaku.
“Kelas 12, Kak Dimas.”
“Oh..” tak banyak bertanya lagi dia langsung menyerahkan kunci UKS padaku.
Aku segera menuju UKS bersama Bang Kevin, ternyata Kak Dimas sudah ada di depan UKS. Dia terlihat sangat lemas. Aku memintanya beristirahat ditempat tidur yang ada di UKS.
Badannya panas, aku mengompresnya dengan air dingin untuk menurunkan demamnya. “Kak, biasa minum obat nggak?”
“Iya.”
“Biasanya kalo demam minum obat apa?”
“Lha kan kamu yang PMR, kok malah nanya Dimas! Makanya jangan bolos kalo ada ekstra!” seru Bang Kevin yang duduk di tempat tidur kosong di sebelah Kak Dimas. Di sini memang ada 8 tempat tidur, 5 untuk cewek 3 untuk cowok dan dibatasi sekat dari triplek.
“Ish! Enak aja! Takutnya Kak Dimas alergi obat, bahaya tahu!” pembelaanku.
Kak Dimas tersenyum melihat tingkah kami, “Sehari nggak ganggu Caca, nggak bisa ya?!” serunya.
“Iya tuh Kak, jail banget tuh orang!” aku merasa menang mendapat pembelaan. “Kak Dimas biasanya minum obat apa?” lanjutku.
“Biasanya aku minum paracetamol.”
Aku mengambilkan paracetamol dan air minum untuk Kak Dimas.
“Bang, nggak balik ke kelas?” sebentar lagi jam istirahat selesai.
“Enggak. Paling juga kosong!”
“Oh..”
“Abang nunggu di bawah AC aja ya Ca, ngadem.” Di UKS ada meja yang biasa digunakan rapat oleh anak-anak PMR, dan AC terletak tepat di tembok dekat meja rapat.
Aku menunggui Kak Dimas dan berkali-kali mendinginkan kembali kompresnya.
Kak Dimas menatapku ketika aku sedang mendinginkan kompresnya. Tatapan yang sangat lekat.
“Pasti gara-gara kemarin ya Kak? Maaf ya gara-gara aku Kak Dimas jadi sakit!” tak ada salahnya memulai percakapan.
“Enggak kok!”
“Kalo kemarin Kak Dimas nggak nganterin aku, pasti Kak Dimas nggak akan sakit gini!”
“Aku seneng bisa nganterin kamu! Kamu nggak balik ke kelas?”
“Nggak ah, aku mau nungguin Kak Dimas aja.”
“Nanti ketinggalan pelajaran lho!”
“Biarin, kan bisa minta diajarin Bang Kevin. Buat apa punya Abang pinter kalo nggak dimanfaatin!”
Dia tersenyum.
“Tidur gih! Biar cepet sembuh!”
Dia mengangguk dan memejamkan matanya. Aku duduk dikursi dekat tempat tidurnya.
“Aku denger kamu deket sama Rey!” serunya dengan kondisi menutup mata.
Aku menoleh ke arahnya. “Kalo iya kenapa? Kalo enggak kenapa?” Reynaldi, ketua OSIS angkatan kakakku. Dia memang mendekatiku. Baik, ramah, putih, dia blasteran china-jawa. Aku tidak terlalu suka sebenarnya, tapi karena dia minta bantuan sahabat-sahabatku, jadi aku mau menanggapinya.
“Nggak apa-apa, kayaknya dia lagi deketin anak kelas 10.”
“Oh..”
“Nggak cemburu?”
“Enggaklah! Kita juga belum pacaran jadi nggak masalah!”
“Apa dia nyakitin kamu?”
“Kenapa nanya gitu?” entah aku yang kege-er-an atau memang ada maksud tersirat dalam perbincangan ini.
Sekarang dia kembali membuka matanya dan duduk sambil menatapku. “Karena aku bakal kasih pelajaran buat siapapun yang nyakitin kamu!”
Untuk pertama kalinya aku merasakan sesuatu yang beda dari Kak Dimas. Untuk pertama kalinya tatapannya begitu menusuk jantungku. Untuk pertama kalinya jantungku berdetak kencang karenanya.
“Apa maksudmu? Kenapa membuatku membeku seperti ini? Kenapa aku merasa ada yang berbeda? Apa ini hanya perasaanku saja, atau memang Kak Dimas yang berbeda?” pertanyaan itu memenuhi otakku, “Istirahat! Biar cepet sembuh!” namun hanya ini yang bisa kukatakan.
Dia tak menjawab dan kembali tidur.
***
Bagaimana keadaannya? Apa dia udah sembuh? Apa dia baik-baik aja? Kenapa aku terus memikirkannya? Sepertinya memang aku suka sama dia. Kalo dipikir-pikir, dia itu lucu juga, kadang pendiam, kadang ceriwis, tapi menurutku dia itu misterius.
“Kak!” seruan itu mengejutkanku. Itu Citra adik kelas 10. Hari ini memang sedang ada ekstra PMR.
“Eh, iya kenapa Cit?” tanyaku kelabakan.
“Kak Caca kenapa? Dari tadi aku manggil Kakak, tapi Kakak nggak jawab.”
“Sorry, aku nggak konsen tadi.”
“Ini udah pada selesai praktek bidainya, sekarang kita ngapain?”
“Oh, ya udah. Kalian rapiin lagi, habis itu kita pulang!”
“Oke Kak!”
Fina yang awalnya sedang mengawasi adik kelas mendekat ke arahku. “Hai!” sambutku dengan senyuman.
“Kamu kenapa Ca?” aku rasa dia tau perubahan sikapku. Dia memang cukup peka.
“Nggak apa-apa.” Bohong, aku bohong. Jelas-jelas aku sedang tak tenang, aku mengkhawatirkan Kak Dimas. Sepulang sekolah tadi dia pulang dengan keadaan masih lemas. Aku takut sesuatu terjadi padanya. Bang Kevin tadinya mau mengantarkannya, tapi dia menolak.
“Jangan-jangan gara-gara kamu tau Kak Rey deketin anak kelas 10?” tebaknya, tapi salah.
Aku heran, kenapa berita itu begitu cepat tersebar. “Enggak Fin.”
“Sebenernya kamu suka nggak sih sama Kak Rey?”
“Kamu tau kan gimana getolnya temen-temenku nyomblangin aku sama dia? kalo bukan karena mereka aku juga nggak bakal nanggepin dia!” Jenifer, Lia, Mey, dan Fika adalah sahabatku di kelas. Mereka berempat sangat getol mendekatkanku dengan Kak Rey. Aku mau menanggapi Kak Rey, karena menghargai usaha mereka. Tapi sungguh, aku tidak bisa membuka hatiku untuk Kak Rey.
“Terus gara-gara apa?”
“Dimas baik-baik aja!” suara itu datang dari belakang kami.
Kami menoleh ke sumber suara. “Bang Kevin?!” pekikku bingung. Bukan karena kehadirannya, tapi karena dia tau kalo aku sedang memikirkan Kak Dimas.
“Kamu balik duluan nggak apa-apa kok! Daripada kamunya di sini, tapi pikiran kamu kemana-mana!” Fina cukup mengerti.
Aku memang lebih baik pulang. “Ya udah aku duluan, salam buat yang lain!” pamitku.
“Iya.”
Aku pulang bersama Bang Kevin.
“Tadi Abang ngater Dimas, emang sih dia nolak, tapi aku paksa. Aku bilang dia harus mau, biar kamu nggak khawatir!” pekik Bang Kevin saat aku sedang memakai helm.
“Maksud lo apa sih Bang? Kenapa bawa-bawa gue?” sahutku sok sebel, padahal seneng.
“Dari kecil kita bareng-bareng, nggak mungkin hal sekecil ini Abang nggak tahu! Kamu naksir Dimas kan?” entah kenapa aku merasa tenang mendengar penjelasan Bang Kevin, sekaligus tersipu.
“Entahlah! Kita balik aja yuk!”
Tanpa banyak protes Bang Kevin langsung mengeluarkan motornya dari parkiran.
Dia tidak langsung membawaku pulang, Bang Kevin berhenti di sebuah rumah. Entah rumah siapa itu. Rumahnya lumayan besar, tapi sepi. Ada taman di halaman depan, banyak bunga warna-warni di sana. Apa mungkin ini rumah pacarnya Bang Kevin? Nggak mungkin ah! Nggak mungkin aku nggak tahu kalo dia punya pacar, setidaknya aku pasti bisa membaca gerak-geriknya.
“Rumah siapa?” tanyaku.
“Temen.” Jawabnya singkat.
“Mau ngapain?” tanyaku lagi.
Bang Kevin tidak menjawab. Kami langsung masuk. Sepertinya pemilik rumah ini teman dekat Bang Kevin, makanya dia langsung nyelonong masuk. Nanti akan kumarahi dia, walaupun sudah deket tapi ini rumah temen ceweknya. Nggak baik kalo dia main nyelonong gitu.
“Tok…tok…tok…” Bang Kevin mengetuk salah satu kamar.
“Iya?” jawaban dari dalam.
Aku terbelalak kaget. Itu suara Kak Dimas. Serius, jantungku rasanya mau meloncat dari tempatnya. “Bang!” pekikku.
“Udah nurut aja! Daripada ntar di rumah kamu kebanyakan ngalamun!” tegasnya.
“Dim! Gue pinjem buku catetan Bio lo dong!” seru Bang Kevin.
Tak lama kemudian pintu kamar itu terbuka. Dia terlihat terkejut melihatku.
Aku melempar senyum padanya.
“Masuk aja, ambil sendiri!” jawabnya.
“Orang tua lo belom pulang?” Tanya Bang Kevin sambil berlalu masuk, aku mengekor di belakangnya diikuti dengan Kak Dimas.
“Belum.”
“Dim, ada air dingin nggak?”
“Ada, biasanya juga langsung ambil!”
Bang Kevin keluar mengambil minum.
Aku yakin pinjam buku, ataupun minta minum itu cuma alasan.
Untuk beberapa saat, baik aku maupun dia hanya berdiam diri dengan pemikiran masing-masing. “Taman di depan Kak Dimas yang bikin?” aku memulai.
“Ya.”
“Waw! Aku suka tamannya.”
“Makasih.”
“By the way, Kak Dimas udah mendingan?”
“Beberapa menit yang lalu sih belum, tapi setelah lihat senyum kamu, aku sampai nggak inget kalo lagi sakit!” sekali lagi senyum manisnya membuat kalimat itu terasa begitu indah.
“Rumah sebesar ini apa nggak capek kalo bersihin?” aku berusaha mengalihkan pembicaraan sambil sebisa mungkin menahan perasaan senang karena kalimatnya barusan.
“Entah, Mbok Dar yang bersihin.”
“Oh..”
“Aku seneng.”
“Seneng kenapa?”
“Kamu di sini.”
Aku tersipu. Lidahku kelu, tak ada sepatah katapun yang sanggup kuucap.
Tak lama kemudian Abangku masuk kembali. Dia masuk di saat yang tepat. Kehadirannya bisa menetralkan suasana.
“Ya udah gue pulang ya, bukunya gue bawa!”
“Jangan ngebut!”
“Iye!”
“Pulang dulu Kak!”
Kamipun pulang.
Entah mengapa aku merasa lebih tenang setelah melihat keadaannya baik-baik saja. Apa aku memang jatuh cinta? Kenapa harus dia? Kalo semisal aku jadian sama dia, terus putus, nggak enak sama Bang Kevin. Tapi hati juga nggak bisa disalahkan kan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Believe
Teen FictionApapun hubungannya, jika sudah tak ada rasa saling percaya, bertahan akan sangat menyakitkan. Sesakit apapun itu, aku tak pernah sanggup meninggalkanmu sendiri. Biarlah aku saja yang merasakan perihnya, karna terlalu sakit melihatmu terluka.