Pertandingan sudah mulai saat aku tiba di sini. Hari ini Nanda ada pertandingan futsal dengan sekolah lain. Aku satu tribun dengan pendukungnya, tapi aku berada sedikit jauh dari mereka. Aneh aja rasanya kalo berada di antara orang-orang yang nggak aku kenal sama sekali.
Aku tidak tau soal bola. Tapi jika kulihat, Nanda hebat juga. Dia gesit. Dia dan timnya bermain dengan baik, mungkin dukungan dari teman-teman mereka menjadi salah satu kekuatan tersendiri bagi mereka.
Di antara puluhan pendukung timnya Nanda, aku melihat seorang cewek berbadan mungil dan cantik, begitu antusias mendukung Nanda. Biar kutebak, pasti itu Agnes, pacarnya Nanda.
“Nanda! Semangat! Kamu pasti bisa!” teriakan itu berkali-kali keluar dari mulut Agnes. Dia cewek yang perhatian. Itu kesan pertama yang kulihat darinya.
Pertandingan berakhir dengan skor 4-3 dan menyisakan timnya Nanda sebagai pemenang. Usai pertandingan, Agnes langsung menemui Nanda dan memberikan sebotol air mineral untuknya. Itu air yang harusnya diminum Agnes karena dia sudah berteriak-teriak mendukung Nanda dan timnya, tapi malah dia berikan pada Nanda.
Aku hanya memperhatikan mereka dari jauh. Sampai seorang temannya menunjuk ke arahku. Memberitahu Nanda tentang keberadaanku. Mengetahui aku di sini, Nanda berlari ke arahku, dan meninggalkan Agnes sendirian. “Dasar cowok!” pekikku melihat tingkahnya.
“Mbak! Kok nggak bilang kalo ke sini? Katanya nggak bisa dateng!” serunya setelah sampai di dekatku.
Aku memang bilang kalo aku nggak bisa datang. Tapi nggak mungkin aku nggak dateng di pertandingan final adikku. Aku langsung menjewernya.
“Aduh Mbak! Kok aku dijewer! Aku salah apa lagi?” teriaknya.
“Siapa yang ngajarin ninggalin cewek di tengah lapangan gitu?” aku langsung memarahinya.
“Maaf-maaf lain kali nggak diulang kok!” dia meminta maaf.
Aku melepaskan tanganku.
“Agnes!” teriaknya memanggil sosok yang dia tinggalkan di tengah lapangan tadi. Dia melambaikan tangan meminta Agnes kemari.
“Aku juga cewek! Aku tau, pasti Agnes sedih gara-gara kamu!” sungutku.
“Maaf Mbak, aku terlalu seneng lihat Mbak Caca!” pembelaannya. “Ini buat aku ya?!” dia menyerobot minum yang sebenarnya memang kubawakan untuknya.
“Enak aja!” aku merebut kembali air mineral itu dari tangannya. “Ini buat Agnes!” aku menyodorkan air itu pada Agnes yang sekarang sudah berdiri di samping Nanda.
“Buat aku?” Agnes ragu-ragu.
Agnes belum minum dari tadi, padahal dia tadi udah teriak-teriak buat Nanda. “Iya buat kamu! Minum kamu, tadi kamu kasihin Nanda kan?!”
“Makasih.” Dia menerima air itu dan langsung meminumnya.
“Ini Agnes, pacarku!” Nanda memperkenalkan Agnes. “Dan ini Mbak Kencana, Kakakku!” Nanda memperkenalkanku.
Akhirnya aku bisa ketemu Agnes juga. Nanda selalu aja nolak kalo aku minta ditemuin sama Agnes, ada aja alesannya. Kami berjabat tangan dan saling menyebutkan nama kami.
Pertemuan kami ini berlanjut dengan makan siang. Di dekat stadion ini ada tempat makan yang enak. Aku berangkat bersama Agnes dengan mobilnya, sedangkan Nanda membawa motor. Nanda ngotot minta aku ke sana sama dia, tapi aku menolak. Aku mau menjaga perasaan Agnes, takutnya dia merasa Nanda lebih menyayangiku dibanding dirinya.
“Satu sekolah sama Nanda?” aku membuka percakapan dengan Agnes.
“Iya Mbak.” Dia terlihat sangat hati-hati dalam bicara, aku melihat itu dari gerak-geriknya. Kayaknya dia takut aku nggak suka sama dia.
“Panggil Caca aja! Kita seumuran!”
“Oke!”
“Nanda sering nyakitin kamu ya? Dia emang gitu! Keras kepala, maunya menang sendiri!”
Dia tersenyum, “Aku udah biasa, dia memang keras kepala, mau memang sendiri, nggak peka, tapi semua kekurangannya ketutup sama cintaku ke dia.”
Waw! Salut sama cewek satu ini. Nanda bodoh kalo sampai ninggalin Agnes. “Kalo dia ninggalin kamu, apa yang bakal kamu lakuin?”
“Nunggu!”
“Nunggu?”
“Nunggu sampai dia bener-bener bahagia, kalo dia udah bahagia sama pilihannya, aku bakal pergi, cari kebahagiaan buat diriku sendiri dan berdoa untuk kebahagiaannya!”
Aku menatapnya. Jawaban yang aku sendiri bingung, mau menyebut itu kebodohan atau ketulusan?
“Aku agak berlebihan ya?” tanyanya setelah mengetahui reaksiku.
“Sesayang itu kamu sama dia?”
Dia mengagguk, “Walau aku tau ada orang yang lebih dia sayangi daripada aku!”
“Maksudnya?”
“Nanda lebih sayang sama kamu.”
Aku merasa tidak enak hati pada Agnes. “Maaf!” hanya itu yang bisa kuucapkan.
“Nggak apa-apa, aku percaya sama Nanda, aku yakin aku punya tempat tersendiri di hatinya!”
“Jangan terlalu percaya sama manusia, kamu nggak pernah tau kapan dia akan menusukmu!”
“Mantan kamu pernah nyakitin kamu ya? Aku tau kamu lagi ngomongin orang lain!”
Aku tersenyum mendengarnya, tebakan yang hampir benar. “Ketara banget ya?”
“Jadi bener mantan kamu pernah nyakitin kamu?”
“Bukan mantan, tapi sahabat…” “…sahabat palsu!”
“Nggak apa-apa kalo kamu nggak mau mbahas itu!”
Dia mengerti aku benci membahas orang itu.
“Aww!” rintihku. Kepalaku sangat sakit.
“Ca, kamu kenapa?” Agnes panik.
“Nggak apa-apa! Ada tisu nggak?”
Dia mengambil tisu dari tasnya.
Aku segera mengambil tisu itu untuk menghentikan mimisanku. Seminggu ini aku banyak kegiatan. Mungkin itu sebabnya aku mimisan, karena kecapekan.
“Halo, aku ke rumah sakit deket sini! Kamu langsung nyusul!” Agnes menelpon seseorang.
“Nggak usah Nes, beberapa hari ini aku memang sering kecapekan!”
Dia tak menghiraukanku dan memutar mobilnya menuju rumah sakit yang tak jauh dari sini.
“Please turutin aku sekali ini!” dia memohon dengan memelas.
Hatiku jadi iba melihatnya, aku menuruti apa kemauannya. Bahkan aku menuruti keinginannya untuk mengetes darahku. Kalo ini bisa membuatnya tenang, nggak masalah. Lagian memang aku baik-baik saja.
Aku dan Agnes menunggu hasil laborat di ruang tunggu. Nampak Nanda terengah-engah lari mendekati kami.
“Ada apa? Kenapa ke sini?” dia kelabakan.
“Nggak ada apa-apa!” sahutku menenangkanya.
“Kakak kamu tadi mimisan!” sahut Agnes.
“Ya ampun, aku kira kenapa!” dia kembali tenang.
“Aku khawatir aja, aku takut Caca kenapa-napa!” jelasnya.
“Sahabatnya dulu meninggal setelah mimisan, Agnes jadi parnoan kalo ada orang mimisan!” jelas Nanda.
“Mimisan bisa bikin mati?” aku heran.
“Bukan gitu, tapi itu salah satu gejalanya.” Terangnya.
Seorang perawat datang, “Nona Kencana Sanjaya silahkan masuk!”
Kami bertiga langsung masuk ke ruangan dokter.
“Ini keluarga anda?” tanya dokter itu.
“Iya Dok!” jawabnku.
“Bisa saya bertemu dengan orang tua anda saja?”
“Maaf Dok, tapi mereka sedang di luar kota. Dokter sampaikan saja pada saya!”
“Anda sering mimisan?”
“Kalo kecapekan aja sih, beberapa hari ini saya emang sering kecapekan. Memangnya kenapa Dok?”
“Anda menderita Leukemia limfotik kronis. Dan sudah pada stadium akhir.”
Waktu rasanya berhenti saat itu juga. Kakiku seketika lemas mendengar apa yang dikatakan dokter. Sejak kapan aku mengidap penyakit itu? Selama ini aku sehat-sehat saja. “Stadium akhir Dok? Tapi selama ini saya sehat-sehat saja!”
“Leukemia jenis ini memang biasanya menunjukan gejalanya saat telah sampai pada stadium lanjut.”
“Nggak mungkin Dok! Dokter bercanda kan!” sahut Nanda segera.
“Maaf, tapi ini serius!”
“Berapa besar kemungkinan saya sembuh?”
“Lima persen. Tapi saya hanya Dokter, saya hanya memprediksi berdasarkan ilmu medis, keputusan tetap ditangan Tuhan!”
“Berapa lama waktu yang saya punya?”
“Satu bulan.”
“Apa nggak ada obat atau kemo yang bisa bantu nyembuhin?”
“Kondisinya sudah sangat parah, obat dan kemo hanya mengurangi rasa sakitnya saja.”
“Terimakasih Dok!”
Kami bertiga keluar ruangan. Rasanya seperti mimpi. Siapa yang mengira, umurku hanya tinggal satu bulan. Mana dosaku masih banyak banget. Setidaknya Tuhan masih berbaik hati, dia memberiku waktu untuk memperbaiki kesalahanku.
Nanda memelukku dan tangisnya pecah dalam pelukanku, sedangkan Agnes terduduk lemas dengan pandangan yang kosong. Aku yang awalnya tetap tegar meleleh karena melihat mereka berdua. “Aku belum mau mati, aku masih punya waktu sebulan!” pekikku yang justru membuat tangisan Nanda semakin menjadi-jadi.
“Kenapa Mbak? Kenapa Allah nggak adil?!” sahutnya disela-sela tangisnya.
“Kamu nggak boleh ngomong gitu!” sahutku segera. Aku melepasnya dari pelukanku. Kutatap dia lekat-lekat dan menghapus air matanya. “Allah baik!” seulas senyum kuberikan padanya.
“Kalo dia baik, kenapa dia ngambil Mbak Caca? Apa dia nggak bisa biarin aku bahagia punya Kakak sebaik Mbak Caca?” teriaknya yang langsung membuat kami jadi pusat perhatian para perawat dan pengunjung rumah sakit ini.
“Kalo Allah nggak baik, ngapain dia kasih aku waktu sebulan?” aku mencoba membuatnya mengerti.
“Tapi…”
“Apa kamu lebih suka dia ngambil Mbak tiba-tiba, tanpa kasih waktu untuk kita dulu?” aku memotong perkataannya sebelum dia sempat mengelak lagi.
“Baru aja aku ngerasa ada orang yang bisa ngertiin aku, sama kayak Luluk ngertiin aku. Dan sekarang, aku harus terima kenyataan kalo orang itu bakal ninggalin aku sama persis kayak Luluk ninggalin aku…” sahut Agnes dengan pandangan kosong.
Aku menghampirinya, dan duduk di sampingnya. Aku menyenderkan kepalanya di pundakku.
“Nggak!” pekiknya sambil mengangkat kepalanya dari pundakku. “Nggak akan aku biarin dia lakuin itu lagi! Kalo sampai dia berani ngambil kamu dari hidupku, selamanya aku nggak akan percaya lagi sama dia!” ujarnya dengan penuh keyakinan.
Nanda menghampiri kami dan duduk di hadapanku. “Aku nggak akan lagi percaya sama dia! Dia selalu bikin hidupku menderita!” sahutnya lirih.
Aku menghela nafas berat. “Kalian mau Allah marah sama aku?” sahutku membuat dua orang itu melihat ke arahku.
Aku memandangi mereka bergantian. “Kalo dia marah gara-gara dua orang hambanya nggak percaya lagi sama dia karena aku, bukan nggak mungkin Allah bakal ambil kembali waktu yang udah dia kasih ke aku!” aku mencoba mengembalikan kepercayaan mereka. “Harusnya kalian baik-baikin Allah, siapa tau dia mau ngasih tambahan waktu lagi buat aku!” sambungku.
Aku bisa melihat, mereka sangat terpukul. Lucu ya? Yang bakal mati kan aku, kenapa malah mereka yang putus asa? Aku sendiri memang kaget, bahkan nggak percaya kalo umurku tinggal sebulan lagi. Entah kenapa, aku merasa beruntung. Setidaknya aku masih diberi waktu untuk berubah. Setidaknya sekarang aku sadar, tiap detik yang kupunya adalah anugerah terindah yang pernah kumiliki.
“Kita makan yuk?!” aku berdiri.
Mereka hanya menatapku.
“Ayolah! Aku nggak punya banyak waktu!” aku langsung melangkah mendahului mereka. Dan mereka langsung menyusul langkahku.
Kami makan di kantin rumah sakit. Mereka hanya berdiam diri saja, jadi aku memesankan menu yang sama untuk mereka, nasi goreng dan es teh. Dalam 15 menit pesanan kami telah tersaji di meja yang kami tempati.
Aku langsung mencicipi makananku, sedangkan dua orang ini masih saja menatapku dengan kesedihan. Aku tak suka situasi ini. “Oke! Sekarang terserah kalian!” aku melempar sendok dan garpu yang ku pegang ke atas piring.
Mereka tersentak dengan apa yang kulakukan.
“Kalo kalian terus-terusan kayak gini, itu artinya kalian pingin aku mati dengan penuh kesedihan!” tegasku.
“Mbak!” pekik Nanda.
“Caca bener, kalo kita kayak gini terus, kita justru bikin dia sedih! Aku janji, aku bakal bikin kamu lupa sama penyakit kamu, aku bakal bikin kamu bahagia sampai kamu nggak punya waktu untuk meratapi penyakit kamu! Aku janji Ca!” seulas senyum disertai tetesan air mata terukir di wajah cantik Agnes.
“Mulai sekarang, aku bakal sering-sering ngerayu Tuhan biar kasih waktu lebih lama buat Mbak Caca!” sama dengan Agnes, Nanda juga tersenyum dalam tangis.
Hatiku terasa teriris melihat mereka berdua berusaha tegar dihadapanku. Aku tau pasti, hati mereka sangat hancur. Antara senang dan nggak tega lihatnya. Senang karena ternyata mereka sangat menyayangiku, tapi juga nggak tega lihat mereka sampai begini. Apalagi Agnes, ini pertama kalinya dia bertemu denganku, tapi dia sangat merasa sedih seperti sudah bertahun-tahun mengenalku.
“Sekarang kita makan ya!” ajakku.
Kamipun menyantap makanan kami.
Aku melihat mereka berdua yang sedang lahap makan di depanku. Aku jadi berfikir, jika mereka sampai sesedih itu mengetahui umurku sudah nggak lama lagi, lantas bagaimana reaksi Bunda, Ayah, Bang Kevin, Kak Dimas, dan semua sahabat-sahabatku? Kenapa aku harus terlahir di antara orang-orang yang sangat menyayangiku? Tapi aku juga nggak mau sih, hidup di antara orang-orang yang membenciku.
“Mbak?” seru Nanda mengejutkanku.
“Eh..iya?” jawabku langsung tersadar dari lamunanku.
“Kamu mikirin apa Ca?”
“Bunda, Ayah, Bang Kevin…” aku berhenti sejenak. “Terlalu banyak hadiah yang Tuhan hadirkan dihidupku!” lanjutku.
“Mbak Caca nggak mau ngabarin mereka?”
Benar kata Nanda, aku harusnya mengabari mereka. Tapi, apa yang akan terjadi jika mereka tau? Nggak! Aku nggak mau kasih tau mereka! “Selain kita, aku nggak mau ada orang yang tau masalah ini!” tegasku.
“Kenapa Ca? Apa nggak lebih baik mereka tau?”
“Iya Mbak, setidaknya mereka punya kesempatan untuk mempersiapkan diri, kayak aku sama Agnes.”
“Selama masih ada kata rahasia di dunia ini, tandanya nggak semua hal harus terungkap!” entah darimana pemikiran ini.
“Kalo menurut kamu itu yang terbaik, kita nggak akan kasih tau siapa-siapa!”
“Iya Mbak! Kita nggak akan kasih tau siapa-siapa!”
Aku cukup tenang. Dengan begini, aku bisa menganggap semuanya baik-baik saja.
***
Aku melihat kalander yang ada di handphoneku, sambil merebahkan diri. “Satu bulan.” Pekikku. Jika tepat satu bulan, maka itu akan berakhir di hari ulang tahunku. Aku tau, hidup, mati, jodoh, rezeki, semua sudah diatur, tapi salahkah kalo aku minta umurku diperpanjang? Setidaknya biarkan aku merasakan ulang tahun ke tujuh belasku.
Handphoneku berdering, membuatku terkejut sehingga membuatnya terjatuh di mukaku. “Aww!” rintihku. Aku segera mengambilnya kembali. Ada telpon masuk ternyata.
“Halo?”
“Assalammualaikum!”
“Waalaikumsalam! Kenapa?”
“Nggak apa-apa! Lagi kangen aja sama kamu!”
“Nggak belajar? Seminggu lagi UN lho!”
“Kamu sendiri emang belajar? Dua minggu lagi UKK lho!”
“Masih lama!”
“Aku kangen kamu!”
“Aku enggak!”
“Udah punya adek, sekarang nggak peduli lagi sama pacarnya!”
“Apaan sih! Gimana aku bisa kangen sama kamu, kalo setiap tutup mata wajah kamu selalu muncul dihadapanku!”
Dia tertawa. Tawanya terasa lebih indah dari sebelumnya. Harus ya aku kehilangan tawa kamu? Tuhan, di kehidupan selanjutnya tolong kasih aku kesempatan lebih lama untuk bisa dengar tawa indahnya.
“Kebanyakan main sama Nanda, jadi pinter ngegombal ya kamu!”
“Eh jangan salah! Nanda jago ngegombal itu berkat aku!”
“Iya percaya! Gimana pertandingannya Nanda tadi?”
“Menang dong!”
“Kamu seneng hari ini?”
“Banget!” aku seneng masih bisa denger suara kamu sampai detik ini.
“Ya udah, aku belajar lagi ya! Aku udah tenang denger kamu baik-baik aja!”
“Aku nggak baik-baik aja Kak! Aku sakit, umurku tinggal sebulan!” ingin aku mengatakan itu, tapi kutahan. “Semangat ya!”
“Iya sayang! Aku tutup dulu ya! Asslamualaikum!”
“Waalaikumsalam!”
Telpon berakhir.
Aku udah jarang ketemu Kak Dimas. Maklumlah, kelas 12 lagi sibuk prepare buat UN yang tinggal seminggu lagi. Tapi hubungan kami tetap hangat, apalagi sejak kami putus waktu itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Believe
Teen FictionApapun hubungannya, jika sudah tak ada rasa saling percaya, bertahan akan sangat menyakitkan. Sesakit apapun itu, aku tak pernah sanggup meninggalkanmu sendiri. Biarlah aku saja yang merasakan perihnya, karna terlalu sakit melihatmu terluka.