Kelas 12 lagi pemadatan, jadi kelas 10 dan 11 banyak yang kosong. Paling-paling cuma dapet tugas. Kelas-kelas IIS pasti udah pada sepi, banyak yang cabut.
“Cabut yuk!” ajak Fika.
“Cabut kemana?” Mey yang tadinya sedang asik dengan handphonenya kini ikut menanggapi.
“Ke rumah Caca!” sahut Jeni semangat.
“Ikut!” Monica berteriak.
“Eh, naik apa?” aku bingung.
“Jeni, Fika, sama Monic bawa motor kan?” jawab Lia.
“Ya udah!” aku mengiyakan.
Singkat kata kami langsung melancarkan aksi cabut kami. Ini jam isoma, gerbang nggak ada yang jaga. Para satpam pasti lagi pada sholat. Hitungan menit saja kami sudah berpindah tempat.
Aku bersama Jeni mampir dulu beli camilan. Stok makanan di rumah abis soalnya. Yang lain aku suruh ke rumahku langsung, mereka udah tau di mana biasa aku menyimpan kunci.
“Eh Ca, cari minum gih!” pinta Monica yang sedang bingung memilih makanan ringan.
Aku mengangguk. Tempat minuman dingin ada di ujung. Aku sedang bingung memilih minuman dingin saat tiba-tiba saja aku melihat Yusuf. Aku bisa melihatnya dengan jelas, dinding minimarket ini kaca, aku bisa langsung melihat keadaan di luar. Mukanya memar, pasti dia abis tawuran lagi.
Aku langsung ke luar mengejarnya. Dia sedang bersama teman-temannya, duduk di warung dekat minimarket ini. Apa yang dia lakukan, bukannya ikut pemadatan malah tawuran.
“Caca?!” pekiknya bingung ketika aku berdiri di hadapannya.
“Lo ngapain di sini? Bukannya pemadatan malah cabut!” sungutku.
“Rasain lo, dimarahin pacar lo tuh!” sahut salah satu temannya.
Dia menarikku untuk menjauh dari teman-temannya. “Cabut ya?”
Aku sedikit merasa nggak pantas mengingatkannya, aku juga cabut soalnya. “Tawuran lagi ya?” aku memperhatikan pipi kanannya yang memar.
“Iya.”
“Sakit?” aku menyentuh pipinya lembut.
“Enggak.”
“Apa sih yang lo dapet dari tawuran?”
Dia hanya diam.
“Kalo lo kenapa-napa gimana?”
Sekali lagi dia hanya diam.
“Bisa nggak, lo berhenti tawuran? Bisa nggak, berhenti bikin orang-orang yang sayang sama lo khawatir?” mungkin reaksiku ini terlalu berlebihan, mengingat ini hal yang sudah biasa untuknya. Aku cuma khawatir, dan aku nggak pernah tau apa aku masih bisa nasehatin dia lagi setelah ini.
“Maaf!”
Aku merasakan sesuatu bergetar di kantongku. Ternyata itu telpon dari Monica. Hampir saja lupa kalo aku bersamanya. Pasti dia sudah selesai berbelanja sekarang. Aku membalikan badan dan sedikit menjauh.
“Ca, lo dimana?”
“Gue lagi ada perlu bentar sama temen gue!”
“Ini gue udah selesai!”
“Lo duluan aja!”
“Terus lo gimana?”
“Gampanglah nanti!”
“Yaudah, gue duluan ya!”
“Bye!” aku memutus telponku dan kembali berbalik.
Aku terdiam beberapa detik. Aku ingin berteriak rasanya. Yusuf sudah menghilang dari pandanganku, begitu juga teman-temannya yang kutaui tadi ada di warung. “Sialan!” dengusku. Dengan langkah kesal aku langsung menuju warung yang tadi jadi tempat beristirahat Yusuf dan teman-temannya.
“Bu, es teh satu!” aku memesan minum agar amarahku lebih mereda.
Dengan cepat penjaga warung berbadan gembul itu selesai membuat pesananku, mungkin dia sudah terbiasa. “Ini Mbak!” dia meletakan segelas es teh di hadapanku.
“Makasih Bu!”
“Pacarnya Mas Aji ya?”
“Aji?”
“Iya, yang tadi ngomong sama Mbaknya!”
“Oh, Yusuf?!”
“Biasa dipanggi Aji kalo di sini!”
“Sekarang dia ke mana Bu?”
“Lanjut tawuran sama temen-temennya!”
“Dia sering tawuran ya Bu?”
“Iya Mbak, tapi Mas Aji itu baik. Justru kalo ada dia semua pasti baik-baik aja!”
“Kok bisa Bu?”
“Iya soalnya dia adil, nggak peduli musuh atau temen kalo salah ya tetep salah! Makanya semua temen-temennya patuh sama dia dan musuh-musuhnya segan!”
Nggak nyangka ternyata dia hebat juga. “Emang kali ini tawurannya gara-gara apa Bu?” aku mengorek informasi lebih dalam.
“Katanya sih, temennya dikeroyok sama orang dari sekolah lain!”
“Selalu itu penyebabnya Bu?”
“Enggak sih Mbak, biasanya nggak pernah antar sekolah kok!”
“Antar geng gitu Bu?”
“Iya.”
Aku bingung harus apa sekarang.
“Tapi ya Mbak, katanya lawannya kali ini nggak kenal ampun dan brutal banget!”
Seketika jantungku berhenti berdetak. “Sekarang mereka di mana Bu?” aku sangat mengkhawatirkannya.
“Paling di jalan sepi gang sebelah!”
Aku tau jalan itu, nggak jauh dari sini. “Ini Bu!” aku langsung meletakkan uang lima ribuan dan berlari mencari Yusuf.
Dengan cepat aku mendapati orang-orang yang sedang pukul-pukulan. Bahkan sampai baku hantam benda-benda keras. Aku menemukan Yusuf, dia baik-baik saja.
Sekarang aku baru menyadari satu hal. Aku terlalu dekat dengan mereka, harusnya aku memikirkan diriku dulu sebelum melakukan ini. “Tamat riwayat gue!” desisku.
Sebuah gir melayang ke arahku dan siap menghantam mukaku. Refleks aku jongkok sambil menutup mata dengan kedua telapak tanganku. Kupikir saat itu aku sudah tamat, ternyata belum. Aku membuka ke dua mataku tapi masih berjongkok.
“Bangsat, ati-ati bego! Ada orang lewat!” seseorang berdiri dibelakangku berteriak pada temannya, dan dia sudah menangkap gir yang tadi hampir mengenaiku. Dia lawannya Yusuf, soalnya seragamnya beda. Dengan cepat dia berpindah di depanku. Dia kembali menangkis beberapa benda keras yang melayang ke arahku. “Mbak, jangan lewat sini! Ada tawuran!”
Aku berdiri, “Iya tau, aku nyari orang!”
“Nyarinya jangan di sini, bahaya!”
“Masalahnya orangnya di sini!”
“Siapa?”
“Yusuf, eh..Aji maksudnya!”
“Nyarinya besok-besok aja Mbak! Bahaya sekarang!”
Jujur, aku salut. Dia tau aku ini teman dari musuhnya, tapi dia tetap melindungiku. “Ya udah, makasih!” aku berniat pergi, sayangnya tali sepatuku lepas membuatku jatuh. Dan sialnya, aku terjatuh ke sungai yang ada di belakangku.
Rasanya seperti terjun bebas, dan kemudian… “Byurr!!” aku terjatuh. Satu hal yang selalu kuingat saat berada di dalam air, aku harus tetap tenang. Dengan begitu aku bisa mengkondisikan diriku.
Aku menyelam setelah kurasa tubuhku cukup stabil. Sungai ini dalam, sekitar 6 meteran, dan airnya cokelat keruh. Aku mencari tepi sungai ini dan mencoba berenang ke atas.
Aku rasa ada yang ikut melompat, mungkin orang yang tadi melindungiku. Aku sempat mendengar suara orang nyemplung.
Berhasil, kini aku sudah berada di tepi sungai. Aku memang nggak bisa berenang, tapi aku bisa menyelam dan kemampuanku menahan napas di atas rata-rata. Jika aku tak punya kemampuan itu pasti aku sudah mati sekarang.
Aku duduk di tepi sungai dengan nafas yang tak beraturan. Sialan, jantungku mau copot rasanya, saking cepatnya berdetak.
Tak lama aku melihat orang yang menyelamatkanku tadi muncul ke permukaan, disusul dengan Yusuf. Aku baru tau kalo dia juga ikut nyemplung.
“Hei!” seruku.
Mereka yang membelakangiku, kini berbalik dan berenang ke arahku.
Yusuf langsung memeluku sesampainya di tepi. Nafasnya masih terengah-engah. “Kamu nggak apa-apa kan? Aku takut kamu ninggalin aku!” bisiknya.
Gue emang bakal ninggalin lo, tapi nggak sekarang. “Sorry!”
Melihat orang yang tadi menyelamatkanku sudah ke tepian, dia melepasanku untuk memukulnya keras. “Banci lo! Masalah lo sama gue bukan sama dia!”
Dengan cepat aku memegangi tangannya agar dia nggak kembali melayangkan pukulan. “Dia nolongin gue, tadi gue hampir kena lempar gir!” jelasku.
“Lo ngapain ke sini? Di sini bahaya Ca!” dia membentakku. Aku tau, itu wujud kekhawatirannya.
Aku menunduk menyesal. “Gue takut lo kenapa-napa!”
“Tawuran itu bahaya, kamu nggak boleh ikut-ikut lagi!”
Kini aku mendongakan kembali kepalaku. “That’s the point! Tawuran bahaya!”
“Tapi Ca…”
“Gue tau, berkat lo semua jadi damai lagi! Tapi lo harus tau, gue takut kehilangan lo!” gue nggak bisa kehilangan lo sebelum gue pergi, gue pengen lo tau itu. Tapi dia nggak akan tau!
“Gue janji, nggak akan ada yang bisa bikin kamu kehilangan aku!” dia tersenyum manis padaku.
“Ji!” seseorang memanggil Yusuf.
Aku bersama Yusuf melihat ke arah suara. Itu orang yang tadi menolongku. Dia melemparkan sesuatu ke arah kami, dan Yusuf berhasil menangkapnya. Dia mengisaratkan bahwa itu untukku. Itu jaket.
“Buat nutupin pinky!” Dia nyengir sambil memakaikan jaket berwarna hitam itu padaku.
Argggg! Daleman gue warna pink, dan pasti kelihatan gara-gara baju gue basah semua. “Ih, dasar omes!” sungutku berjalan mendahuluinya.
Dia mengejar langkahku, “Jangan marah! Kan nggak sengaja!”
“Bodo amat!”
“Aku anterin pulang ya!”
“Tawurannya udah kelar?”
“Udah.”
Aku tak menjawab. Tapi akhirnya aku pulang bersamanya.
“Makasih! Mau mampir dulu nggak?” aku turun dari motornya.
“Nggak usah, nggak enak sama temen-temen kamu!”
“Ya udah! Lo ati-ati!”
Dia mengangguk.
Aku meninggalkannya masuk.
Teman-temanku yang sedang terdampar di ruang tamu kaget melihatku yang basah kuyup.
“Caca?!” pekik Mey.
“Keujanan di mana?” tanya Monica heran.
“Tadi suara motornya Yusuf kan?” Jeni ikut angkat bicara.
Sedangkan yang lainnya tertawa melihatku.
“Udah ya, gue mau ganti baju dulu!” aku berlari ke kamar mandi untuk mengeringkan diri sekalian ganti baju.
“Gue bikinin teh anget di belakang!” sambut Mey saat aku keluar dari kamar. Mey memang yang paling bisa momong teman-temannya.
“Thanks Mey!”
“Jadi, gimana ceritanya lo bisa basah kuyup gitu?” sambut Fika saat aku datang ke ruang tamu membawa segelas teh buatan Mey.
“Gue nyemlung ke sungai!”
“Hah?!” reaksi mereka serempak.
“Jadi, waktu gue cari camilan sama Monic, gue lihat Yusuf. Dia abis tawuran, gue samperin dia…”
“Dia sendiri apa sama temen-temennya?” sela Lia.
“Sama temen-temennya.”
“Ih, kok lo berani nyamperin mereka, kalo mereka macem-macem gimana? Bukannya mereka itu brandal ya?!” sanggah Jeni.
“Kan ada Yusuf, mana mungkin dia biarin gue kenapa-napa!”
“Terus? Kok lo bisa nyemplung ke sungai?” Monic terlihat nggak sabar mengetahui penyebaku nyemplung ke sungai.
“Waktu lo telpon gue, Yusuf pergi sama temen-temennya…”
“Ke mana?”
“Tawuran lagi.”
“Masa dia ninggalin lo gitu!”
“Gue sempet marah sih Fik, gue tinggal beli es teh aja di warung deket situ! Nah, di situ gue cerita-cerita sama penjualnya…”
“Cerita soal?”
“Jadi, Yusuf sama temen-temennya biasa nongkrong di situ, dan Yusuf sebenernya baik kok! Dia yang jadi penengah kalo ada tawuran kayak gitu!”
“Terus?”
“Dan ternyata lawannya itu dikenal sangar dan nggak kenal ampun!”
“Berasa nonton IP man deh!” Lia tertawa.
Yang lain juga ikut tertawa.
“Ya, gue khawatir! Gue susulin dia di jalan sepi deket situ!”
“Di deket jembatan yang katanya angker itu?” tanya Monic.
“Iya!” jembatan didekat situ memang terkenal angker. Tapi, kupikir itu cuma rumor biar nggak ada yang ke sana aja! Soalnya bahaya, jembatannya nggak ada pembatasnya dan di bawahnya sungai sedalam 6 meter. Itu posisi aku jatuh tadi.
“Lo nekad banget sih! Nggak mikirin keselamatan lo apa?”
“Ya namanya juga khawatir Mey! Gue baru kepikiran waktu gue hampir kena lempar gir!”
“Tapi lo nggak apa-apa kan?” kini mereka menjadi tegang.
“Gue kira gue udah tamat waktu itu, tapi ada yang nyelametin gue! Dia ngelindungi gue dari benda-benda keras yang dilempar kesana-kemari, ya kalian taulah gimana suasana tawuran!”
“Untung aja ada yang nyelametin lo Ca!”
“Siapa Ca? Yusuf?”
“Iya Mey, untung aja! Bukan Fik! Seragamnya warna navy kotak-kotak! Kayaknya itu musuhnya Yusuf!”
“Dia mau nyelametin lo?”
“Iya, makanya gue salut banget sama dia! Bahkan dia tetep lindungin gue waktu gue bilang kalo gue lagi nyari Yusuf!”
“Mujur banget nasib lo Ca!”
“Iya Mon!”
“Tapi ya guys! Setau gue kalo cowok-cowok nakal kayak gitu justru bisa menghargai cewek dengan baik!”
“Iya Fik, buktinya dia juga yang kasih jaket ke gue!”
“Eh iya, lo kan nggak bisa berenang! Gimana ceritanya lo bisa selamat? Sungainya dalem kan?”
“Caca kan bisa nyelem Mey!”
“Gue kira Yusuf yang selamatin lo!”
“Lia, mana mungkin dia nggak nyelametin gue? Orang Yusuf sama cowok yang ngelindungi gue ikut nyemplung nyariin gue! Tapi gue udah terlanjur sampai tepi!”
“Sekolah mana sih dia?”
“Siapa?”
“Yang nyelametin lo!”
“Nggak tau gue!”
“Navy kotak-kotak itu seragamnya sekolah yang kalo kita mau ke sekolahnya Yusuf sebelumnya ada pertigaan kan? lha deket situ ada sekolah, tapi gue lupa namanya!”
“Iya-iya gue tau kayaknya!”
“Lo nggak boleh nekad gitu lagi Ca! kalo sampai lo kenapa-napa kita bakal sedih banget!”
“Iya Ca, lo itu penting buat kita!”
Aku tersentuh dengan itu. Lagi-lagi aku dibuat senang sekaligus sedih. Senang karena teman-temanku menyayangiku, sedangkan aku sedih karena umurku udah nggak lama lagi.
“Kalo lo kenapa-napa, gue nggak bisa bayangin gimana gue nantinya!”
“Gue seneng kalian perhatian sama gue, tapi kalupun gue pergi, kalian harus tetep baik-baik aja!”
“Lo kok ngomong gitu sih Ca!”
“Lo nggak boleh pergi!”
“Enngak kok! Sekarang gue baik-baik aja kan? Jadi kalian nggak perlu khawatir!”
Kami saling berpelukan.
***
Aku yang sedang mengerjakan tugas Kimiaku, mendengar suara dari depan rumah. seperti suara orang berkelahi. Secepat kilat aku langsung berlari ke depan.
Bang Kevin sedang menghajar Yusuf. Bodohnya lagi Yusuf nggak melawan, padahal aku tau dia bisa saja mengimbangi Bang Kevin kalo dia mau.
“Bang!” teriakku berhasil menghentikan Bang Kevin.
Untung saja nggak ada tetangga yang mendengar. Kalo nggak, bisa-bisa ramai rumahku.
Bang Kevin mendorong Yusuf, dan dia tidak melawan.
“Jangan pernah deketin adek gue lagi!” bentaknya.
“Apa-apaan sih Bang!” protesku.
“Gara-gara dia lo hampir celaka tau nggak!”
Pasti Bang Kevin tau soal kejadian tadi siang. Kadang aku suka bingung, dari mana dia tau semua hal yang nggak aku ceritakan padanya. Jangan-jangan dia memata-mataiku? “Caca yang salah! Caca yang nyusulin dia!”
“Tetep dia yang salah, harusnya dia nggak bikin lo terlibat tawuran kayak gitu!”
“Abang kamu bener! Aku yang salah!”
“Ayolah bang! Yang penting sekarang Caca baik-baik aja kan!”
Hening sesaat.
“Please, sekarang Abang masuk aja, belajar buat persiapan UN! Please demi Caca!” aku mengatupkan tanganku dihadapan Abangku.
“Sekali lagi lo bikin adek gue dalam bahaya, mati lo!” Bang Kevin masuk sesuai permintaanku.
“Lo ngapain ke sini sih?” aku menghampiri Yusuf.
“Aku khawatir kamu trauma gara-gara kejadian tadi!”
Aku memperhatikan wajahnya yang terluka. Entah luka karena tawuran tadi atau karena pukulan Bang Kevin. “Ayo masuk! Biar gue obati luka lo!” aku berjalan mendahulinya dan dia mengikuti di belakangku.
Aku memintanya duduk dan segera kuambil kotak P3K.
“Harusnya kamu tadi ngelawan!” pekikku sambil mengobati lukanya.
“Buat apa?”
“Dasar lo itu!”
“Aku emang salah!”
“Sorry, gara-gara aku, kamu jadi kena omel Bang Kevin!”
“Iya.”
“Gue heran deh, dari mana tuh orang tau ya? Padahal gue nggak cerita!”
“Aku yang bilang!”
“Gila lo! Cari mati apa? Ngapain ngomong ke Bang Kevin sih?”
“Terus, aku harus sembunyiin kayak pengecut gitu?”
“Iya juga sih!”
“Kamu nggak takut air kan?”
“Enak aja! Emang aku kucing!”
“Mirip sih!”
“Sialan!”
“Bukanya kamu nggak bisa berenang ya? Gimana ceritanya kamu bisa nyampe tepi duluan?”
“Aku bisa nyelem!”
“Aneh, nggak bisa renang tapi bisa nyelem!”
“Biarin! Dan kamu nggak perlu khawatir! Aku nggak bakal trauma kok! kan cewek strong!”
Dia mengangguk dengan senyum manisnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Believe
Teen FictionApapun hubungannya, jika sudah tak ada rasa saling percaya, bertahan akan sangat menyakitkan. Sesakit apapun itu, aku tak pernah sanggup meninggalkanmu sendiri. Biarlah aku saja yang merasakan perihnya, karna terlalu sakit melihatmu terluka.