Malam Sabtu

2.2K 62 4
                                    

Satu-satunya yang kusuka dari 5 hari sekolah adalah aku jadi punya dua hari libur tiap minggunya. Walaupun tiap Senin sampai Kamis harus pulang sore. Nanti malam rumahku pasti akan sangat ramai, seperti malam Sabtu yang lalu. Teman-teman Bang Kevin biasanya datang ke rumah.
Rumah kami memang jadi basecamp untuk teman-temanku ataupun teman-teman Abangku. Maklumlah hanya kami berdua yang tinggal di sini, jadi lebih bebas. Tapi tenang, kami nggak pernah macam-macam kok!
“Ambil camilan sendiri ya!” seruku pada keempat sahabatku. Pulang sekolah kami langsung berkumpul di rumahku. Paling-paling kita mau nge gosip. Daripada main ke mall, ngabisin banyak duit. Mending main ke rumahku, begitu motto mereka.
“Kakak kamu belum pulang?” tanya Lia sambil membuka kulkasku mencari sesuatu yang bisa di makan.
“Belum, masih Jumatan dia!” jawabku.
“Ca!” seru Jenifer yang baru keluar dari kamar mandi.
“Hemm!” sahutku sambil bermain handphone dan tiduran di sofa.
“Lo kenapa?” tanyanya.
“Kenapa apanya?” aku mengalihkan pandanganku padanya.
“Ayolah Ca, kita itu sahabat lo! Kita tau ada hal yang ngeganjel dihati lo!” sahut Fika yang sudah berhasil mendapat camilan dari dapur. Sahabatku yang punya suara kayak toak masjid ini memang menyerbu dapurku tiap main ke sini.
“Bener tuh, apa ini ada hubungannya sama Kak Rey?” Mey ikut bersuara.
Entah aku yang payah dalam menyembunyikan perasaan, atau mereka yang terlalu peka. Tapi memang aku akui ada hal yang mengganjal dihatiku. Dan itu semua karena Kak Dimas. “Gue bingung!” sahutku.
“Gara-gara?” Lia duduk di sofa dengan membawa minuman dingin dari kulkas.
“Kayaknya gue suka sama Kak Dimas deh!” jelasku. Aku tak bisa menyembunyikan hal seperti ini dari mereka.
Mey, Fika, dan Jenifer mendekat dan duduk di sofa. Aku yang awalnya berbaring kini duduk agar sofa ini muat untuk kami berlima.
Jenifer tersenyum, “Gue tau, pasti lo agak nggak enak sama kita, gara-gara kita nyomblangin lo sama Kak Rey.”
“Ya Allah Ca, jadi gara-gara itu lo nggak cerita sama kita?!” Sahut Lia dengan tampang polosnya. Dia itu yang sahabatku yang paling lemot. Hobinya nonton vlog, dan dia paling update diantara kami.
“Ca, kita nggak maksa lo sama Kak Rey! Kita cuma mau lo bahagia, dan kita kira Kak Rey bisa bikin lo bahagia, tapi kalo ternyata kita salah, lo bisa bilang kan!” timpa Mey dengan bijaknya. Di antara kami berlima memang Mey yang paling tua. Dia juga yang paling judes, paling galak, tapi juga paling dewasa.
“Bener Ca! Nggak usah ngerasa nggak enak gitu deh!” tambah Jenifer. Sahabatku yang paling baperan, paling centil, dan paling peka.
“Thanks guys!” hanya itu yang bisa aku katakan saat menerima pengertian dari sahabat-sahabatku.
Aku beruntung punya sahabat seperti mereka. Sahabat yang selalu peduli. Kita memang bukan tipe sahabat yang mau diajak ke kantin, ke kamar mandi, pokoknya bukan tipe sahabat yang mau diajak ke sana-ke sini. Tapi kita bakal selalu ada saat salah satu dari kita butuh dukungan, saat salah satu dari kita lagi terluka yang lain ikut terluka, dan kita ikut seneng saat salah satu dari kita bahagia.
“Gue baru dapet gebetan baru!” entah itu sudah berapa kali dia katakan dalam seminggu ini. Fika memang paling laku diantara kita. Tak tau bagaimana caranya, tapi dia selalu kedatanganan cowok-cowok baru yang entah dari mana dia mengenalnya. Dan kebanyakan cowok-cowok itu pasti anak SMK.
“Fik, sekali-kali kenalin ke si Mey tuh!” celetuk Jenifer.
“Heleh, lo juga masih jomblo kali Jen!” sahutku sambil tertawa.
Temanku yang lain ikut tertawa.
“Gue sih nyatai-nyatai aja, kalo ada yang suka syukur, kalo nggak ada ya udah!” pembelaan Mey.
Dia memang jarang suka sama orang. Daridulu sampai sekarang cowok yang dia bahas itu paling Kak Panji sama Kak Abas. Mereka berdua anak kelas 12, Kak Panji itu satu bimbel sama Mey dan dia langsung jatuh cinta waktu pertama kali ketemu. Sedangkan Kak Abas itu anak OSIS yang dulu jadi penanggung jawab kelas MOSnya.
“Assalamualaikum!” seru seseorang yang kemudian masuk ke rumah. Abangku, dia tidak sendiri, Kak Dimas bersamanya. Panjang umur dia, baru saja aku membahasnya, sekarang dia datang bersama kakakku.
“Waalaikumsalam!” seru kami serentak.
“Makan sana! Aku udah masak tadi!” pekikku. Aku memang sudah masak setibanya di rumah tadi. Dari banyaknya sisi negative didiriku, aku masih punya sisi positif. Aku pandai memasak. Aku tak tau darimana aku mendapatkan keahlian ini, padahal aku tidak pernah belajar memasak. Mungkin ini yang namanya bakat, tak perlu dicari sudah muncul sendiri.
“Ya udah kita makan bareng-bareng aja! Sekalian ajak temen-temen kamu!” jawabnya.
“Nggak usah disuruh juga mereka ntar ambil sendiri!” pekikku segera.
“Iya Kak, nanti kita juga ambil sendiri!” timpa Fika.
“Udah sana-sana, gangguin urusan cewek aja!” aku melempar bantal sofa ke arah Abangku dan tepat mengenainya.
“Iya-iya!” Dia membalasku dengan melempar sajadahnya. Tapi tidak mengenaiku. Diapun berlalu bersama Kak Dimas. Entah menuju kamarnya, atau menuju dapur aku tak tahu.
Sedangkan kami berlima melanjutkan obrolan kami ngalor-ngidul nggak jelas. Mulai dari membahas anak baru di sekolah kami lumayan ganteng itu, sampai membahas anak kelinci Mey yang keluyuran sampai malem. Hal yang terpenting dari semuanya adalah quality time yang kita dapatkan.
***
Bang Kevin sering bilang kalo aku udah kumpul sama temen-temenku berisiknya bukan main. Aku rasa dia salah. Dia dan teman-temannya lebih berisik dariku. Paling-paling aku hanya bergosip ria dengan teman-temanku, nggak mungkin kan kita bergosip kenceng-kenceng. Sedangkan dia dan teman-temannya, berisiknya minta ampun entah apa yang mereka bahas. Tapi sungguh ini sangat berisik.
Aku putuskan untuk membaca wattpad saja di teras. Mereka berkumpul di halaman belakang, setidaknya suara bising mereka tidak terlalu terdengar di teras. Last love, sebuah cerita tentang kekuatan takdir. Dimana akhirnya ketulusan menjadi pemenangnya. Aku suka cerita ini. Sangat suka.
“Hai!” sapa seseorang dari balik pagar rumahku.
Aku mendekat, mungkin temannya Abangku. “Bang Kevinnya di halaman belakang!” Sahutku sambil membukakan pagar setinggi satu meter itu.
Tapi dia tak masuk setelah aku membukakan pagar, dia malah menatapku.
“Hey! Bang Kevinnya di belakang sama yang lainnya!” pekikku sekali lagi.
“Aku bukan temannya Abangmu! Kamu tau namaku?” jawabnya yang justru membuatku agak takut. Jangan-jangan dia punya niat buruk padaku.
Aku menggeleng ragu-ragu.
“Aku juga nggak tau namamu.” Jawabnya membuatku bingung. Apa dia gila? Kenapa menjawab seperti itu. “Mau kasih tau?” sambungnya.
Aku hanya menggeleng, dan hendak kembali menutup pagar. Aku rasa tak penting menanggapinya. Pasti dia cowok nggak bener yang suka godain cewek.
“Tunggu! Jangan takut aku nggak punya niat buruk!” dia menghentikanku.
Aku tidak jadi menutup pagar, tapi aku tak mengatakan suatu katapun. Bisakah aku mempercayai omongannya?
“Kalo kamu nggak mau kasih tau namamu, biar aku aja yang kasih tahu namaku! Aku Yusuf!” sahutnya.
“Aku nggak peduli!” jawabku lalu kembali menutup pagar. Dan kembali ke dalam.
“Oke, sampai ketemu lagi nggak peduli!” teriaknya yang sempat aku dengar. Maksudku aku nggak peduli denganmu, bukannya namaku ‘nggak peduli’.
“Kayaknya tadi ada yang dateng? Siapa?” Abangku sudah berada di depan pintu saat aku hendak masuk. Dia sudah bersiap hendak membuka pintu.
“Orang iseng.” Jawabku sambil berlalu menuju kamarku.
“Ca!” seru Abangku. Ternyata dia ikut ke kamarku.
Aku duduk di tempat tidurku. “Apa?”
“Cowok tadi siapa?” dia berdiri menyender ke jendela, tapi menghadap ke arahku.
“Cowok yang mana?”
“Yang tadi di depan.”
“Orang iseng paling.”
“Kalo lo deket sama cowok kenalin ke Abang!”
“Ya ampun Abang, Caca nggak bohong. Tadi dia ngajakin kenalan Caca, tapi Caca nggak nanggepin!”
“Kenapa nggak manggil Abang tadi? Kalo tau dia gangguin kamu Abang hajar aja dia!”
Mulai lagi Abang gue, dikit-dikit pake otot. “Tumben nggak ada Kak Dimas?” aku mengalihkan, sudah muak aku menasehatinya biar nggak selalu pake kekerasan. Lagipula dari tadi memang aku tidak melihat Kak Dimas. Terakhir aku lihat dia tadi waktu dia pulang jumatan. Aku tak melihatnya lagi sampai sekarang.
Dia tersenyum meledek, “Kangen?”
“Dikit.”
Bang Kevin tertawa geli. “Ha..ha..dia pergi ke Jogja.”
“Ngapain?”
“Sepupunya lahiran.”
“Oh..”
“Ya udah, Abang ke belakang dulu ya, nyamperin yang lain!”
Aku mengangguk.
Handphoneku berdering, ada panggilan masuk. Dari Kak Dimas. Rasanya seperti ada semangat 45 dalam diriku mengetahui ada telpon dari Kak Dimas. Baru juga dikangenin udah nelpon aja!
“Halo?” jawabku cepat.
“Assalammualaikum!”
“Waalaikumsalam!”
“Belum tidur?”
“Belum, tumben telpon?”
“Biasanya kan ketemu, aku lagi di Jogja.”
“Udah tahu. Sama siapa?”
“Sendiri.”
“Hati-hati di sana!”
“Iya. Kamu mau oleh-oleh apa?”
“Kak Dimas balik ke sini selamat aja aku udah seneng!”
“Kamu hati-hati di sana!”
“Tenang, kan ada Bang Kevin.”
Kami terus ngobrol sampai larut malam. Dan aku lupa apa pembicaraan terakhirku dengannya. Sepertinya semalam aku ketiduran. Dikabarin sama seseorang tanpa kita harus nanya dulu itu rasanya kayak kita dianggep penting. Apa mungkin Kak Dimas menganggapku penting? Aku tak tau. Yang sudah kutau sekarang adalah, aku mencintainya.

BelieveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang