Aku terbangun, Agnes baru saja selesai sholat. Dia langsung menyambutku dengan senyuman. “Semalem, lo berantem sama Yusuf?” tanyanya langsung mendekatiku.
Aku menggeleng.
“Gue tau semuanya, kayaknya lo lagi baper aja gara-gara lagi red day deh!”
“Emosi gue labil kalo h-1 red day, ini udah hari ke lima gue red day!”
“Lo beneran suka sama dia?” Agnes terkejut.
“Kayaknya!” aku tak terlalu tertarik untuk membahas bagaimana dia bisa tau kejadian semalam. Aku bergegas mandi dan segera bersiap pergi.
Singkat kata kita berangkat, aku naik mobil bersama Agnes. Ayah, Bunda, Bang Kevin, dan si muka dua naik mobil Ayah. Nanda dan Kak Dimas langsung menyusul di sana nanti.
“Bang, Caca udah lama ya nggak ngobrol sama Bang Kevin!” aku bercakap-cakap dengan Abangku saat yang lain sedang sibuk. Agnes mengajak si muka dua menjemput Nanda di pintu masuk, aku tau itu pasti rencana Agnes. Ayah dan Bunda sedang membeli minum. Dan pacarku belum datang.
“Iya.”
Aku belum banyak bicara dengannya, tapi tiba-tiba seseorang menutup mataku dari belakang.
“Hei, lama banget!” aku langsung melepaskan tangannya. Aku sudah mengenali dia, itu pacarku.
Saat aku berhasil melepaskan tangannya aku melihat seseorang menyiram sesuatu ke arah Bang Kevin, tapi tiba-tiba Yusuf muncul mendorongnya ke belakang, dan mereka berdua jatuh bersama. Tangan Yusuf sempat terkena sedikit cairan itu, dan akibatnya tangannya melepuh.
“Air keras!” refleks aku langsung berlari mengecek kondisi Abang dan Yusuf.
“Kalian nggak apa-apa?” Kak Dimas langsung membantu mereka berdiri.
Ayah dan Bunda yang baru datang bingung melihat kami yang di kerumuni beberapa pengunjung dan petugas keamanan. “Kalian kenapa?” Tanya Bunda panik.
“Ada yang mau nyiram air keras ke Kevin Bun, untung Yusuf datang tepat waktu!” jelas Bang Kevin.
“Tangan kamu melepuh, kamu langsung ke rumah sakit aja sama Caca!” sahut Ayah tanpa meminta persetujuanku.
“Ini luka kecil Om, aku bawa kotak P3K di mobil!” tolaknya.
“Ya udah, Ca, kamu obati dia sekalian kalian pulang duluan aja! Dimas sama Kevin ikut Ayah laporin kejadian ini ke petugas keamanan. Bunda cariin yang lain!” keputusan Ayah yang nggak mungkin ditawar lagi.
Aku mengikuti Yusuf menuju mobilnya. Aku merasa bingung harus bagaimana, kata-kataku semalam membuatku canggung sekarang.
Yusuf menghidupkan mobilnya dan mengeluarkan kotak P3K. Kami sudah di dalam mobil, aku mengobati luka di punggung tangannya dan membalutnya dengan perban. Tak ada percakapan sedikitpun.
“Kamu minum dulu, biar lebih tenang!” dia menyodorkan sebotol air mineral.
Aku yang sudah selesai membalut lukanya menerima air yang dia sodorkan dan meminumnya. Aku memang butuh minum, aku agak shock karena kejadian tadi.
“Kita langsung pulang ya!” dia mulai mengendarakan mobilnya.
Aku hanya mengangguk.
Aku kembali memikirkan kejadian yang hanya sepersekian menit itu. Bukan Bang Kevin yang mereka incar, tapi aku. Hanya saja aku beruntung karena Kak Dimas tadi sedikit membuat mundur saat dia menutup mataku dari belakang.
Satu kejutan yang nggak aku kira. Yusuf datang di saat yang tepat, seperti dia tau kalo ini bakal terjadi. Bahkan aku baru tau kalo dia juga ikut pergi juga. Ini aneh, aku rasa ini ada hubungannya dengan si muka dua.
“Rencana siapa?”
“Rencana apa?” dia mencoba berkulik.
“Terlalu rapi untuk nggak di ketahui! Jelas banget, lo bukan variabel di kejadian ini! Yang mereka incer sebenernya gue!”
“Kamu tenang, semua berjalan sesuai rencana!”
“Rencana?”
“Aku curiga ada yang mau berniat buruk sama kamu, waktu aku minta kamu datang ke rumah pohon, ada orang yang ngikutin kamu.”
“Tapi waktu aku sampai sana nggak ada siapa-siapa, kamu tau dari mana?”
“Aku punya banyak pasukan yang nglindungi kamu, terutama waktu aku pergi ke Sumatra.”
“Dengan kata lain lo mata-matain gue?”
“Terserah kalo kamu anggap begitu. Temen-temenku udah nangkap mereka, dan besok semua orang bakal tau!”
“Agnes tau?”
“Makanya Agnes ngajak Aisyah pergi, temen-temenku bakal nyuruh mereka bilang ke Aisyah kalo mereka berhasil lolos. Sisanya Agnes yang ngatur.”
Gara-gara semalem nangis, sekarang aku jadi ngantuk. Aku menguapa, “Itu sebabnya semalem lo ke rumah gue?”
Dia mengangguk, “Kalo ngantuk tidur!”
“Kayaknya gara-gara semalem gue nangis, sekarang jadi ngantuk!”
“Ya udah tidur aja!”
Aku tak mengindahkan ucapannya dan tertidur pulas. Aku benar-benar ngantuk.
***
Listrik mendadak mati. Aku tak bisa melihat apapun. Ini masih pukul tiga, langit masih hitam. Aku mencoba mencari senter, tapi tiba-tiba aku merasa seseorang membungkamku dengan obat bius dari belakang. Setelah itu aku tak tau apa yang terjadi. Kayaknya aku udah mati! Tapi kok belum ada malaikat yang menemuiku? Ah, mungkin mereka lagi istirahat!
“Lepasin gue!” teriakan itu membuatku tersadar. Suara si muka dua.
Aku bisa membuka mataku sekarang. Kepalaku pusing, baru juga bangun udah di bikin pingsan lagi tadi.
Ternyata aku belum mati. Hanya saja sekarang aku sedang terikat di kursi, begitu juga Bang Kevin, Aisyah, Kak Dimas, dan juga Yusuf. Kami didudukkan melingkar saling berhadapan.
Tak berselang lama, segerombolan orang bertampang sangar masuk. Kira-kira jumlahnya 10 orang. “Diem!” bentak salah seorang dari mereka.
“Hei, jangan galak-galak dong!” seseorang yang tak asing muncul di antara orang-orang berwajah sangar itu.
“Agnes?” pekikku.
“Sorry ya gaes, gue terpaksa ngiket kalian! Soalnya di kursi kalian ada pemicu bom yang saling bersambungan, kalo salah satu berdiri ataupun banyak gerak, door! Caca dan Aisyah bakal meledak!” dia tertawa ala nenek sihir.
“Lo ada masalah apa sama kita?” tanya Bang Kevin membentak.
“Gue cuma punya masalah sama Caca!”
“Kalo gitu kenapa lo libatin mereka?!” aku merasa tak adil. Jika dia hanya punya masalah denganku, harusnya mereka semua nggak perlu ada di sini. Dan aku nggak keberatan kalo aku harus mati sekarang demi mereka, toh aku juga akan mati sebentar lagi.
“Karena gue terlanjur janji sama lo! Jadi gue bakal tepatin janji gue dulu sebelum habisin lo!”
“Berani lo nyentuh Caca, urusan lo sama gue!” Bang Kevin berteriak.
“Lo bakal mati kalo berani sentuh Caca!” Kak Dimas terdengar sangat menakutkan.
“Hei, Aji! Kenapa lo diem aja? Gue tau, lo bisa lepasin diri dengan mudahkah?” sepertinya dia bicara dengan Yusuf. Sepertinya banyak hal yang nggak aku tau di sini.
“Lo tau alesan gue diam!” jawaban yang aku sendiri tak mengerti.
“Salahku apa? Kenapa kamu libatin aku?” Aisyah merengek.
“Apa! Lo masih nggak tau apa kesalahan lo?” bentak Agnes.
Aisyah semakin terisak.
Dua pria berwajah sangar menyeret seseorang ke hadapan kami. “Siapa dia? Orang yang lo suruh nyiram air keras ke Caca kemarin kan?!” perlahan semua menjadi jelas.
“Apa maksudnya? Lo mau nyelakain adek gue?” Bang Kevin sangat marah.
“Aku nggak kenal dia!” si muka dua mengelak.
Agnes mengeluarkan pistol dan mengacungkannya ke arah si muka dua. “Mungkin kalo gue tarik pelatuknya lo bakal ngaku?!” perlahan dia semakin mendekatkan pistol itu pada Aisyah.
“Iya-iya, gue yang nyuruh dia.” dia akhirnya mengakui.
“Anjing lo!” Kak Dimas mencaci Aisyah.
“Percaya sama lo itu kesalahan gue! Kita putus!” tegas Bang Kevin.
Aku tersenyum mendengarnya. “Thanks udah tepati janji lo! Gue nggak peduli kalo sekarang lo mau habisin gue! Sekarang ataupun besok gue tetep bakal mati!” Aku heran, apa yang sebenarnya terjadi. Tapi sungguh aku tak punya rasa takut sedikitpun saat ini. Apa yang aku takutkan? Mati? Bentar lagi juga gue mati!
“Maksud kamu apa Ca?” Bang Kevin meragu.
“Leukemia limfotik kronis, menurut prediksi dokter besok hari terakhirnya!” jelas Agnes.
“Apa bener Ca?” Kak Dimas memastikan.
“Dia bohong kan Ca?” Bang Kevin terlihat sangat khawatir.
“Setidaknya sebelum aku pergi, aku bisa buktiin kalo emang Aisyah muka dua!” aku tersenyum. “Lihat, gue menang lagi kan! Kalo sampai lo berani ganggu orang-orang kesayangan gue, gue bakal gentayangin lo!” ancamku merasa menang.
“Kenapa kamu nggak pernah cerita Ca? kamu sembunyiin hal sebesar ini dari Abang?” Abangku menangis.
“Buat apa cerita sama orang yang nggak percaya sama aku?” aku tersenyum kecut.
“Gobloknya kalian lebih percaya sama orang yang baru kalian kenal!” Yusuf ikut menyalahkan.
“Kalo gue jadi lo, gue nggak bakal ngeraguin adek gue sendiri!” Agnes bicara tepat di muka Bang Kevin. “Dan lo, gue tau lo setia, baik, dan bisa bikin Caca nyaman, tapi kesalahan lo itu fatal! Gara-gara lo nggak percaya sama Caca, sekarang Caca lebih suka sama Yusuf!” lanjutnya bicara pada Kak Dimas.
Baik aku maupun Yusuf terbelalak kaget, kami melihat ke arah Agnes sebelum akhirnya saling berpandangan.
Agnes berjalan ke belakangku. Aku bisa merasakan dia menempelkan sesuatu di kepalaku, kupikir ini pistol.
“Lepasin Adek gue sekarang kalo lo masih pengen hidup!” bentak Bang Kevin segera.
“Berani lo nyentuh Caca, gue bunuh lo!” Kak Dimas ikut berteriak.
“Psikopat ya lo Nes! Lepasin Caca sekarang juga!” Yusuf juga tak mau kalah.
Sedangkan Aisyah sedang menangis tersedu-sedu. “Lepasin gue!” pekiknya lirih.
“Diem semuanya! Atau gue tarik pelatuknya!” Bentak Agnes membuat suasana menjadi hening. Hanya terdengar suara Aisyah yang menahan isak tangisnya. “Gue udah penuhin janji gue!”
“Kenapa lo ngelakuin ini!” pekikku akhirnya.
“Berani banget lo ngomong! Mau gue tarik pelatuknya sekarang!” bentaknya sedikit mendorong pistol itu sehingga kepalaku ikut maju.
“Jangan!” teriak Bang Kevin, Kak Dimas, dan Yusuf bersamaan.
“Emang apa yang bakal terjadi kalo lo tarik pelatuknya?” tantangku sambil tersenyum kecut.
“Lo bakal tenang!” Agnes tertawa puas, dia semakin merapatkan pistol itu ke kepalaku. “Lo harus mati!”
Aku memejamkan mataku, menunggu peluru menembus kepalaku.
“Dorr!” Agnes sudah menarik pelatuknya. Kurasakan cairan lengket berwarna merah membasahi kepalaku. Bau darah menyebar ke seluruh ruangan yang tidak terlalu lebar ini.
“Caca!” teriak Bang Kevin, Kak Dimas dan Yusuf bersamaan. Tangis mereka menggema di ruangan ini.
Aku masih terikat di kursi. Tiga orang cowok itu menangisi kepergianku.
Aku seneng bisa buktiin siapa Aisyah sebenernya. Memang untuk sekarang masih tersisa rasa sakit hati pada Abangku. Jika Kak Dimas tak mempercayaiku, aku masih bisa menganggapnya wajar, walaupun dia pacarku. Tapi Bang Kevin? Dia kakakku, bahkan jika ada hubungan yang lebih erat dari saudara, itulah hubungan kami. Tapi hanya karena cinta, dia tak lagi mempercayai adiknya ini.
“Masih ada yang harus gue tanyain ke lo!” Agnes mendekat ke arah si muka dua dengan tatapan keji.
Sedangkan mak lampir itu hanya tertunduk takut, “Dua tahun yang lalu, siapa yang nyebar berita hoax kalo Caca pake narkoba dan udah nggak perawan lagi?” dia layaknya polisi yang sedang mengintrogasi penjahat.
Si muka dua diam saja.
“Lo mau nasib lo kayak Caca?” bentaknya.
“Iya, aku yang lakuin. Aku nggak suka Caca lebih pinter dari aku.”
“Jadi siapa yang sebenernya beli bocoran soal waktu itu?”
“Aku juga.”
“Terus air keras itu maksud lo apa?”
“Aku cuma mau balas dendam ke Caca. Aku sengaja mainin hati kakaknya, itu pasti bakal nyakitin hatinya. Dengan begitu balas dendamku bakal sempurna karena aku nggak cuma rusakin wajahnya tapi juga hatinya.”
“Satu pertanyaan terakhir, gimana bisa Irfan jadian sama lo?”
“Maksud kamu?”
“Irfan suka sama Caca kan?”
“Aku yang hasut Irfan, aku bilang kalo Caca udah punya pacar dan Irfan bukan tipenya.”
Aku sudah tak tahan lagi. “Apa!? Jadi Irfan suka sama gue? Keparat lo!” aku menarik tanganku yang terikat, sedikit perih karena aku memaksakan tanganku.
Aku memang tidak benar-benar mati. Tapi aku juga nggak tau soal rencana ini. Cairan merah itu bukan darahku, entah darah siapa itu. Darah itu dibungkus sesuatu, dan saat Agnes menembakku, dia hanya berusaha memecahkan pembungkus darah yang sudah ditempelkan padaku, pasti dia lakukan saat aku tak sadarkan diri tadi.
Semuanya terbelalak kaget.
“Dua tahun yang lalu, mungkin gue ngelepasin lo gitu aja! Tapi sekarang nggak lagi!” sahutku. Aku menampar pipi kanannya keras, “Itu karna lo udah rebut Irfan dan nuduh yang nggak-nggak tentang gue dua tahun yang lalu!” aku menampar pipi kirinya lebih keras, “Itu karna lo udah nyakitin Abang gue dan nipu orang-orang yang deket dengan gue dengan wajah sok polos lo!”
Dia menangis.
“Maaf Non, kami boleh pergi?” tanya seseorang yang bertampang sangar.
“Oh iya, makasih udah bantuin aku!” jawab Agnes.
“Salam buat Pak Gunawan!” jawab mereka lagi.
“Oke, ntar aku sampein ke Ayah!” jawab Agnes.
Merekapun pergi.
Agnes menghampiriku.
“Aisyah!” teriak seseorang Bapak-bapak yang datang bersama Ayah dan Bundaku.
Orang itu lagsung melepaskan ikatan Aisyah. Sedangkan aku dan Agnes sedikit mundur. Aisyah langsung mengadu, “Pa, Ais di tampar sama dia!” dia mengadu ke orang itu. aku baru ingat, itu Papanya Aisyah. Aku pernah bertemu dengannya sekali, dulu pihak sekolah memanggil orang tuanya saat dia menuduhku membeli kunci jawaban.
Waduh, kayaknya aku bakal kena masalah! Harusnya aku tidak menamparnya tadi. Pasti Ayah dan Bunda juga akan mendapat masalah karenaku. Oh Tuhan, tolong aku sekali ini!
“Prak!!” Tak kuduga beliau malah menampar Aisyah, dan tamparan itu pasti lebih keras dari tamparanku. “Papa malu sama keluarga Pak Jaya, apa pantes, keturunan darah biru melakukan hal serendah ini!? Papa bakal balikin kamu ke pesantren!” dia menarik anaknya keluar.
“Kamu nggak apa-apa?” Bunda menghampiriku.
Aku mengangguk.
“Agnes udah cerita ke kita, termasuk tentang penyakit kamu!” Ayah mendekat.
“Kemarin, Yusuf kasih kamu minuman yang udah Ayah kasih obat tidur. Waktu kamu tidur, Ayah ambil sample darah kamu! Ayah udah tes bareng temen Ayah, dan kamu nggak sakit apa-apa!” jelas Ayah.
Senangnya. “Berarti aku nggak jadi mati kan?”
Ayah mengangguk.
“Tapi test darahku sebulan yang lalu?” aku masih bingung.
“Ayah udah cek ke rumah sakit itu, setelah di periksa ternyata itu kesalahan dari orang yang waktu itu magang di situ, dia salah kasih nama.” Jelas Ayah.
Aku rasa sekarang sudah selesai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Believe
Teen FictionApapun hubungannya, jika sudah tak ada rasa saling percaya, bertahan akan sangat menyakitkan. Sesakit apapun itu, aku tak pernah sanggup meninggalkanmu sendiri. Biarlah aku saja yang merasakan perihnya, karna terlalu sakit melihatmu terluka.