“Ayah!” seruku memanggil Ayah yang sedang duduk-duduk di halaman belakang sambil minum teh bersama Bunda.
“Kenapa Ca?”
“Temenku boleh nginep di sini seminggu nggak?”
“Siapa? Geng kamu?” Bunda ikut bersuara.
“Bukan, Agnes!”
“Agnes? Ayah baru denger!”
“Dia itu sahabatku, sekaligus pacarnya Nanda.”
“Nggak apa-apa sih! Tapi orang tuanya udah ngizinin kan?”
“Udah kok Yah!”
“Ya udah!”
“Asyik!” aku bersorak gembira. Langkah kedua siap dilancarkan. Jadi, aku dan Agnes sengaja bikin rencana. Berhubung sekarang Aisyah udah masuk perangkapku, sekarang tugas Agnes adalah cari tau apa rencana Aisyah.
Aku segera kembali ke kamar.
“Langkah kedua siap dilancarkan.” Aku mengirim pesan singkat pada Agnes.
“Otw.” Dia membalas dengan cepat.
Tinggal enam hari lagi sebelum waktuku habis. Aku nggak akan tenang sebelum bikin Bang Kevin tau bejatnya Aisyah. Bisa-bisa aku jadi hantu penasaran kalo sampai gagal.
Sebuah panggilan masuk dari Yusuf. Aku kangen banget sama dia, selesai UN dia pergi ke Sumatera. Mengurus beberapa berkas perusahaan yang dikelola Tante Hesti. Tante Hesti sengaja mengajaknya, sekalian menajarinya yang notabenya adalah pewaris perusahaan itu.
“Sesibuk itu atau gue emang nggak penting?” hardikku sebelum dia bicara.
“Bukan gitu Ca! Signalnya susah! Kamu kemarin ke mana aja sih? Aku baru tau kalo kamu pergi dari rumah!”
“Tenang, aku baik-baik aja kok!”
“Kamu kemana?”
“Aku nginep di fotocopyan deket gang.”
“Kalo kamu mau kabur kan bisa ke rumah pohon aja!”
“Waktu itu malem, aku nggak tau mau kemana, cuma tempat itu yang masih buka.”
“Kamu ada masalah apa, kalo mau kabur bisa nunggu aku balik dulu kan!?”
“Kamu nggak balik-balik sih! Ntar aja kalo kamu balik aku cerita semuanya.”
“Ya udah, aku harus urus berkas lagi. bye!”
“Bye!”
Senyum merekah diwajahku ketika aku melihat lookscreenku. Fotoku dengan Yusuf waktu di ulangtahunnya Deviana. Dia sangat manis.
“Kalo aja dia dateng lebih awal!” suara itu melengking di kamarku.
“Apa sih Nes!” tapi aku setuju dengan Agnes, kalo aja Yusuf datang ke hidupku lebih awal. Mungkin sekarang aku lagi bahagia sama dia.
Dia masuk dengan membawa koper dan langsung menjajah kasurku. “Sekarang apa?” tanyanya.
“Tugas lo, cari tau apa yang sebenernya dia rencanain!” pekikku yakin.
“Rencana apa?” Bang Kevin tiba-tiba muncul dari balik pintu.
Waduh, gawat! “Rencana…” aku memutar otakku.
“Rencananya Nanda!” sahut Agnes cepat.
“Ini lho Bang, Agnes curiga kalo Nanda punya rencana selingkuh.” Tambahku tanpa berpikir panjang. Semoga jawabanku nggak akan timbulin masalah.
“Makanya Abang paling selektif kalo kamu deket sama cowok, semua cowok itu gitu!” syukurlah dia tak bertanya lebih banyak lagi.
“Mas Kevin kan juga cowok!” celetuk Agnes. Benar juga, aku sampai nggak kepikiran kalo Abangku juga cowok, hehe.
“Makanya gue tau, soalanya gue cowok!” jawabnya sambil berlalu.
Aku menghela nafas lega, “Untung aja!”
“Kita harus lebih hati-hati!” Agnes mengingatkan.
“Sekarang, kita mau apa? Nonton film?” tanyanya tentang rencana kami malam ini.
“Oke!”
Tutup dulu masalah misi kami. Sekarang aku mau senang-senang dulu, selagi masih ada waktu. Aku udah cukup penat dengan semua masalah ini, aku tak mau sampai gila. So, aku harus lebih calm down.
***
Aku terbangun setelah mencium harum masakan Bunda. Agnes sudah bangun rupanya, tapi di mana dia? Mungkin sedang ke kamar mandi.
Seperti biasa aku selalu mengecek handphoneku di pagi hari. Ada banyak notifikasi chat yang sampai ribuan, panggilan tak terjawab, dan pesan singkat. Aku langsung meloncat dari tempat tidur saat mengetahui sebuah pesan.
“Aku tunggu di rumah pohon.”
Tanpa tunggu lama lagi aku langsung memesan ojek online dan segera bersiap. Untung saja ojek yang kupesan datang dalam waktu 5 menit.
Aku langsung ke dapur untuk pamit pada Bunda. Ternyata Agnes sudah di sana, membantu Bunda masak. “Bun, Caca pergi dulu!” aku langsung mencium tangan Bunda yang sedang mencuci sayur.
“Eh, mau ke mana?” tanya Bunda.
“Ada perlu Bun!” aku langsung melenggong ke halaman belakang untuk pamit pada Ayah.
Ada Kak Dimas dan Bang Kevin juga di halaman belakang. Rajin banget Kak Dimas ke sini, mentang-mentang camernya lagi di sini.
“Yah, Caca pergi dulu!” aku langsung mencium tangan Ayah yang sedang memegang Koran.
Ayah menarik tanganku saat aku mau pergi, “Mau ke mana?”
“Nanti aja tanyanya, Caca buru-buru!” aku menarik tanganku, tapi gagal karena tenaga Ayah lebih besar dari tenagaku.
“Biar dianter Dimas aja kalo buru-buru!”
“Udah terlanjur ditunggu ojek online!” aku kembali menarik tanganku dan kali ini berhasil. Aku langsung bergegas, “Assalammualaikum!” aku langsung pergi sebelum mendapat jawaban.
Aku langsung meluncur ke rumah pohon. Setelah membayar aku langsung berlari menuju rumah pohon. Aku mulai berjalan kembali dengan nafas yang terengah-engah saat melihat Yusuf berdiri bersandar di pohon.
Dia tersenyum melihatku.
Aku tak bisa bohong, aku senang melihatnya. Aku sangat merindukannya. Tubuhku seakan bergerak begitu saja untuk memeluknya. “Aku kangen banget sama kamu!” Maklumlah, setelah UN dia langsung pergi, dan baru mengabariku saat tiba di Sumatra.
Dia hanya terdiam tanpa membalas pelukanku, bisa kudengar jantungnya berdegup kencang. Ups, kesalahan!
Aku melepasnya yang masih diam terpaku. Aku duduk bersandar pada pohon besar yang jadi tempat rumah kecil kami bersemayam. Kulambaikan tangan untuk memintanya duduk di sampingku.
Dia mengangguk dan duduk di sampingku.
“Kesiangan ya!?”
“Maaf, tadi malem abis begadang sama Agnes.”
“Kamu nginep di rumah Agnes?”
“Enggak, dia yang nginep di rumahku.”
“Kamu utang cerita!”
Aku memulai ceritaku dengan peristiwa kemarin. Dari mulai kejadian waktu kelas 9 sampai kejadian kemarin.
“Terus, kamu udah tau apa rencananya?”
Aku menggeleng. “Masalahnya, si muka dua itu licik.”
“Mungkin nggak, dia balas dendam?”
“Nah, itu yang aku takuti! Dia tau kalo Bang Kevin itu segalanya buatku!”
“Sejauh ini, kamu sama Agnes udah dapet info apa?”
Aku menggeleng. “Sejauh ini sih, belum! Emang kamu nggak punya info apa-apa tentang dia? Kan dia anak baru di Sekolahmu, biasanya anak baru jadi artis dadakan gitu kan?”
“Aku nggak terlalu peduli sama yang bukan urusanku, tapi aku denger katanya dia baik, pinter, cantik, ramah. Aku pernah ketemu sekali, dia manis.”
Aku kesal dengan jawabannya yang justru terdengar seperti pujian. “Terus? Kamu nggak percaya sama aku?” hardikku terlanjur kesal. Aku memalingkan wajah darinya. Aku benci, dia lebih percaya padanya.
“Sebaik apapun dia, aku lebih percaya sama kamu!”
Aku kembali melihat ke arahnya. Aku nggak bisa menahan air mata yang mengucur begitu saja. Hatiku rasanya sakit. Saat Kakak dan pacarku nggak percaya denganku, dia sahabat yang belum lama mengenalku justru percaya.
“Hei, aku nggak punya maksud untuk nyakitin hati kamu!” dia mengusap air mataku dengan tangannya. “Jangan nangis ah! Nanti aku beliin balon!”
Aku tersenyum kecil. Disangka aku anak kecil? Dibeliin balon. “Pernah nggak sih, lo ngerasa hidup itu lucu?!” aku tersenyum, “Saat mereka yang punya hubungan khusus sama aku nggak percaya sama aku, kalian yang bahkan belum lama jadi sahabatku segitu percayanya sama aku.”
Dia mengeluarkan handphonenya, “Liat!” dia menunjukan loocscreennya yang sama sepertiku.
Aku menepuk jidadku, “HP gue ketinggalan!” aku lupa membawa handphoneku, masalahnya kalo sampai Kak Dimas tau lookscreenku dia bakal cemburu. “Kamu punya nomernya Agnes gak?” mungkin aku bisa minta tolong agar dia menyembunyikan HPku atau mengganti lookscreenku.
“Santai aja kali Ca!” Yusuf bingung sendiri melihatku.
“Gini, masalahnya lookscreen kita sama! Dan Kak Dimas lagi di rumah gue sekarang!” jelasku.
“Cie, kangen ya?” dia malah bercanda.
“Ih, serius nih! Bisa berantem lagi deh gue!” keluhku.
“Bentar, jadi kamu ke sini padahal pacar kamu lagi di rumahmu?” dia tersenyum geli, “Sebenarnya aku sahabat kamu apa selingkuhan kamu sih?!” dia tertawa puas.
Aku ikut tertawa bersamanya. Benar juga, kalo dipikir-pikir aku bodoh juga. Ngapain aku ke sini pagi-pagi, padahal pacarku lagi di rumahku. “Wah, makin bingung gue!”
“Nah lho! Siapa yang telpon?” Yusuf menunjukan panggilan masuk ke handphonenya, panggilan dari nomorku.
“Kalo itu Kak Dimas gimana?” aku semakin cemas.
“Aku angkat ya?”
Dengan berat hati aku mengangguk.
“Halo?” Yusuf sengaja mengeraskan suara handphonenya.
“Caca lagi sama lo?” benar suara Kak Dimas.
“Iya.”
“Baru balik lo?”
“Barusan nyampe.”
“Caca mana?”
Yusuf melihat ke arahku.
Aku menarik nafas panjang untuk mengumpulkan nyali, “Kenapa sayang?”
“Tumben panggil sayang?”
“Biarinlah, kan kamu pacarku!”
Dia tertawa, “Aku nggak marah kok! Aku udah lihat lookscreen kamu, dan aku juga nggak apa-apa kamu nemuin Yusuf.”
“Maaf, abis gimana lagi aku udah lama nggak ketemu dia!”
“Nggak apa-apa!”
“Aku seneng dengernya!”
“Yusuf mana?”
“Kenapa?” Yusuf langsung menjawab.
“Titip pacar gue! Tolong ajakin dia makan dulu sebelum pulang, dia belum sempet sarapan.”
“Oke.” Yusuf menutup telpon.
Sekarang aku masih bingung, apa aku harus memberitahunya tentang penyakitku atau tidak. Selain Nanda dan Agnes, aku rasa dia layak untuk tau. Dia juga orang yang selalu percaya denganku, sama seperti Agnes dan Nanda. “Kalo aku nggak ada, kamu nggak boleh terlalu sedih ya!” pekikku akhirnya.
Dia terbelalak kaget, “Apa maksud kamu?” dia terlihat sangat serius. Bahkan kali ini aku tak melihat sosoknya yang biasanya santai dan konyol.
“Bukan apa-apa, udah lupain aja!” aku mengurungkan niatku.
“Mau taruhan nggak?”
“Taruhan?”
“Iya, kita hitung sampai tiga kalo hitungan ketiga ada daun yang jatuh, kamu harus jawab jujur satu pertanyaanku.” Jelasnya.
“Kalo nggak ada?”
“Aku kabulin 3 permintaan kamu!”
“Oke, setuju!”
“Satu…” dia mulai menghitung.
“Dua..”
“Tiga!” seperti sebuah sulap angin kencang berhembus dan membawa daun berguguran. Aku curiga, jangan-jangan dia dukun, hehe.
“Eh, kok bisa?” aku takjub dengan apa yang ku lihat.
“Kamu nggak tau aja, aku jelmaan avatar!” dia tertawa.
“Avatar apaan!” aku ikut tertawa bersamanya.
“Udah-udah, sekarang kamu jawab jujur pertanyaanku!” dia kembali serius.
“Kayaknya aku nggak pernah menang taruhan dari kamu ya?! Ya udah, apa? Tapi jangan macem-macem!”
“Apa yang sebenernya kamu sembunyiin sejak tiga minggu yang lalu?”
Aku terdiam. Apa dia sebenarnya memang sudah curiga denganku? Bagaimana bisa dia tau aku menyembunyikan sesuatu.
“Mata kamu nggak bisa bohong Ca! Aku bisa baca kamu!”
Aku menarik nafas panjang, aku nggak tau apa yang akan terjadi kalo aku cerita, tapi karena aku emang kalah taruhan aku harus menjawab jujur jadi harus aku katakan. Mungkin ini cara Tuhan untuk minta aku cerita ini ke dia. “Leukemia limfotik kronis, stadium akhir. Kemungkinan sih, aku masih punya waktu lima hari!” aku tersenyum kecil.
Dia terdiam mendengarku.
“Nggak usah kasih tau siapa-siapa! Cuma kamu, Nanda, sama Agnes yang tau! Aku nggak mau yang lain tau!” lanjutku.
“Aku nggak suka becandaan kamu!” sahutnya datar.
Aku tau, dia pasti nggak akan percaya tentang yang satu ini. Aku tertawa, yang sebenarnya aku paksakan. “Iya-iya, aku becanda.” aku tersenyum padanya, berharap semoga dia tidak memperpanjang masalah ini.
“Makan yuk!” ajaknya.
Aku lega dia melupakan soal ini.
Hari ini, seharian aku bersama Yusuf. Kami menghabiskan waktu di rumah pohon. Seenggaknya, rasa kangenku terbayar hari ini.
Kami pulang menjelang magrib.
Ngomong-ngomong soal kangen, aku jadi inget sama ke empat sahabatku yang lagi mudik. Kalo aja ada mereka di sini, mereka bakal sangat khawatir sama keadaanku. Apalagi kalo mereka tau soal si muka dua, pasti mereka nggak segan-segan ngacak-ngacak muka tuh nenek lampir.
Agak sedih sih, ulang tahunku yang terakhir bakal aku lewati tanpa mereka. Tapi mau bagaimana lagi? Nggak mungkin aku kasih tau mereka! Aku nggak mau ganggu liburan mereka.
“Sisa empat hari.” Aku berdecak.
“Lo masih punya banyak waktu!” sahut Agnes yang baru saja masuk ke kamarku.
“Iya, empat hari itu waktu yang lama!” aku tersenyum.
“Lo punya lebih dari empat hari Ca! Dan gue akan pastiin itu! Gue nggak akan biarin semua berakhir kayak gini!” tangis Agnes pecah.
Aku langsung menghampirinya dan memeluknya. “Nggak ada kata sad ending dikamus gue, kalo belum happy, itu artinya belum ending!” nggak ada yang tau, apa yang akan terjadi empat hari lagi. Mungkin hari itu, akan jadi sangat sempurna. Semoga saja!
***
Seharian kami di dalam mobil, mengintai gerak-gerik si muka dua. Sejauh ini nggak ada satupun tingkahnya yang mencurigakan. Nggak ada orang yang bertamu ke rumahnya, dan seharian ini dia di rumah.
“Kita nggak dapet apa-apa hari ini!”
“Ya udahlah, kita pulang aja! Bentar lagi Nanda jemput kamu kan?” ini sudah pukul lima, dan setengah enam nanti ada acara grand opening restoran baru. Khusus buat couple, bakal ada acara special. Ayah, Bunda, Bang Kevin, si muka dua, Nanda, dan Agnes juga ke sana.
“Kenapa lo nggak ke sana sama Yusuf aja sih?” gerutu Agnes.
Memang hanya aku yang nggak ke sana. Kak Dimas baru aja ke Jogja, ada acara keluarga. Katanya dia pulang besok pagi, biar siangnya bisa pergi bareng aku. Besok Bunda mengajak kami sekeluarga jalan-jalan ke kebun binatang. Tentunya aku dan Bang Kevin membawa pasangan kami, ditambah Agnes dan Nanda. Nggak mungkin Bunda tega nyuruh Agnes di rumahku sendirian.
“Ca! Ih malesin ah!” sungutnya karena aku tak menjawab.
“Udah, konsen nyetir aja!” aku menyuruhnya tetap fokus pada setirnya.
“Lo beneran mau di rumah aja?” tanyanya yang mungkin sudah keseribu kalinya.
“Iya!” tegasku. Aku memang bisa saja pergi dengan Yusuf, tapi bagaimana perasaan Kak Dimas? Memang kemarin dia memperbolehkan aku ke sana dengan Yusuf, tapi pasti dia menahan cemburu yang luar biasa. Dan aku nggak mau dia makin cemburu.
Selain itu, aku takut. Takut lupa batasanku. Aku sadar Yusuf punya perasaan lebih, dan selama ini dia tetap baik padaku walaupun tau aku sudah punya pacar. Tapi coba saja berada di posisiku. Ini sangat sulit, bertahan untuk nggak baper walau sadar pacarku bahkan tidak sepercaya sahabatku yang satu itu.
Akhirnya dia diam juga dan hanya fokus dengan jalan. Kami tiba tepat waktu. Agnes masih punya sedikit waktu untuk berdandan, dan tak lama setelah itu Nanda menjemputnya. Para couple itupun berangkat.
Aku hanya duduk santai di teras setelah mereka pergi. mendengarkan musik sambil melihat bintang. Nggak tau kenapa, tiba-tiba Yusuf melintas dipikiranku.
“Ku rasa getaran cinta
disetiap tatapan matanya
Andai kucoba tuk berpaling
akankah sanggup kuhadapi kenyataan ini…” aku segera mematikan musik itu.
Rasanya lagu itu seperti tamparan keras. Aku nggak bisa bohong lagi, aku nggak bisa mengelak lagi, aku memang mulai jatuh cinta pada Yusuf. Aku benar-benar melakukan kesalahan, aku nggak adil. Nggak seharusnya ada cowok lain saat aku udah punya pacar.
Sialnya lagi, waktu memang sedang memberontakku. Yusuf datang ke rumahku. Entah ini kebetulan atau memang rencana tuhan.
“Hai!” sapanya seperti biasa.
“Ngapain ke sini?” aku sedang berusaha untuk tidak menghiraukan perasaanku.
“Nemenin kamu!”
“Mulai sekarang, jangan pernah temuin aku lagi kalo nggak ada Kak Dimas di sini! Mulai sekarang jangan pernah deketin aku lagi!” aku berlari masuk ke dalam rumah. Aku nggak bisa menahan air mata. Hatiku sakit mengatakan itu, tapi aku akan menyakiti hati Kak Dimas kalo aku nggak melakukan ini sekarang.
Dia mengetuk pintu berusaha menemuiku, “Ca, kamu kenapa? Aku salah apa?”
Aku tak mau membuat semuanya semakin sulit, aku menelponnya.
Dengan cepat dia langsung mengangkat telponku. “Ca, kamu kenapa?”
“Please, kamu pulang, aku nggak mau ketemu kamu dulu!”
“Tapi kenapa?”
“Jangan pernah minta penjelasan tentang apa yang terjadi malam ini!”
Aku mematikan telpon itu dan berlari ke kamarku. Aku merebahkan diri, berharap segera tidur dan semua akan baik-baik saja besok.
KAMU SEDANG MEMBACA
Believe
Teen FictionApapun hubungannya, jika sudah tak ada rasa saling percaya, bertahan akan sangat menyakitkan. Sesakit apapun itu, aku tak pernah sanggup meninggalkanmu sendiri. Biarlah aku saja yang merasakan perihnya, karna terlalu sakit melihatmu terluka.