Muka Dua

1.1K 31 0
                                    

Waktu cepet banget lewatnya. Tinggal seminggu lagi. Semoga saja aku sempat menikmati ulang tahun ke tujuh belasku.
Kemarin aku baru saja menyelesaikan Ujian Kenaikan Kelasku. Biasanya tiap ujian aku mengeluh karena soal-soal yang minta ampun susahnya. Kali ini tidak, aku kerjakan dengan tenang, aku belajar sungguh-sungguh. Ini terakhir kalinya aku bertemu soal-soal itu, jadi nilaiku harus bagus.
Hari ini Bang Kevin mau mengenalkanku pada seseorang. Pacarnya. Kemarin dia cerita, katanya dia sudah punya pacar. Mereka jadian waktu aku lagi UKK, makanya Bang Kevin nggak bilang-bilang sama aku. Takut aku jadi nggak konsen katanya.
Dia baru kenal sama cewek itu, dalam tiga hari saja dia menjadikan cewek itu pacarnya. Sebenernya aku nggak yakin, apa cewek itu cewek yang baik atau enggak. Apalagi tiga hari itu terlalu sebentar untuk benar-benar mengenal cewek itu.
Aku nggak yakin dia benar-benar cinta, atau cuma cari pasangan buat pergi ke prom night seminggu lagi. Yang jelas aku akan sangat marah kalo cewek itu sampai bikin kecewa Abangku. Dia tidak banyak pengalaman masalah cinta, aku khawatir dia kecewa nantinya.
“Ini udah semua Ca?” tanya Kak Dimas. Dia membantuku menyiapkan makan malam untuk kami berempat. Sedangkan Bang Kevin sedang menjemput pacarnya.
“Iya Kak!”
Aku mendengar suara motor Bang Kevin. Aku segera menunggunya di ruang tamu. Tak lama kemudian Bang Kevin masuk. Aku terbelalak melihat Bang Kevin datang bersama orang yang tak asing bagiku. “Ngapain lo ke sini?!” pekikku sinis.
Aku benci tampang sok polosnya. Dia Aisyah, mantan sahabatku waktu SMP. Wajahnya cantik, terlihat polos, ramah, baik, tapi jangan tertipu! Aku sudah sangat mengenalnya, dia itu muka dua!
Bang Kevin dan Kak Dimas terkejut melihatku yang mendadak judes. “Ca, kamu kenapa ngomong gitu?! Dia itu orang yang mau Abang kenalin ke kamu!” pekik Bang Kevin.
Aku nggak akan pernah rela Abangku jadian sama orang muka dua kayak dia, “Aku nggak mau Bang Kevin punya hubungan sama dia!” tegasku.
“Kenapa?” suara Bang Kevin meninggi.
“Dia itu muka dua!” bentakku sambil menunjuknya.
Bang Kevin menepis tanganku, “Gue nggak suka, lo bersikap gini! Emang Bunda pernah ngajarin untuk bersikap nggak sopan gini?” bentak Bang Kevin.
Pertama kalinya Bang Kevin ngebentak aku, dan itu cuma gara-gara cewek muka dua ini. Aku tersenyum kecut, “Jangan kira lo menang, cuma gara-gara Abang gue lebih percaya sama lo!” aku menuding ke arah cewek sok polos itu.
“Aku pulang aja, kamu tenangin Adik kamu! Mungkin lain waktu aja aku kenalan sama dia!” dia mengumbar senyum yang menipu itu.
“Maaf ya! Dia emang masih kekanak-kanakan!” sahut Bang Kevin lembut.
“Halah! Nggak capek dari dulu terus-terusan munafik?!” sahutku ketus.
“Ca!” bentak Bang Kevin.
“Aku pulang aja ya!” pamitnya sekali lagi. Pamit mulu? Pulang aja sekarang! Dan nggak usah balik ke rumah gue lagi!
“Aku anter ya!” Bang Kevin menawarkan diri untuk mengantarnya.
“Silahkan antar tuan putri ini, tapi jangan harap Bang Kevin bisa ketemu aku lagi setelah itu!” aku tak mungkin rela Bang Kevin mengantar nenek lampir itu.
“Kamu apa-apaan sih Ca! Nggak usah kayak anak kecil!” Bang Kevin tak terima.
“Udah Vin, biar gue aja yang nganterin Aisyah, sekalian gue balik.” Berhasil mencegah Bang Kevin, malah Kak Dimas ikut-ikutan.
“Anterin aja kalo kamu mau kita putus!” sahutku segera. Heran gue, mak lampir itu bisa banget cari perhatian orang. Sekarang Kak Dimas malah ikut-ikutan.
“Udahlah, aku pulang sendiri aja!” lagi-lagi dia membuatku terlihat jahat.
“Dim, tolong anterin Aisyah, biar gue yang nenangin Caca!” Bang Kevin membuat keputusan yang bahkan aku sendiri nggak setuju dengan keputusan itu.
“Ya udah! Aku pulang dulu ya!” Kak Dimas pamit padaku.
Aku membuang muka darinya.
Mereka berduapun lenyap dari pandanganku. Hening sesaat.
“Kamu jangan egois Ca!” Bang Kevin memecah keheningan.
“Aku nggak egois, aku cuma nggak mau Bang Kevin sakit hati!”
“Abang tau, kamu dendam kan sama dia? Gara-gara orang yang kamu suka waktu SMP dulu malah suka sama dia!”
“Sudah kuduga, pasti dia udah ngomong macem-macem!”
“Dia itu baik! Dia nggak kayak yang kamu pikir!”
“Aku tanya, Bang Kevin pilih siapa? Aku atau dia?” tegasku akhirnya.
“Jangan kayak anak kecil!”
“Oh, aku anggap Bang Kevin pilih dia!” aku masuk ke dalam kamarku dan meninggalkannya sendiri.
Dari jutaan cewek yang Bang Kevin kenal, kenapa harus dia? Menyebut namanya saja sudah membuat hatiku sangat sakit. Bertahun aku menutup kisah penghianatannya. Berharap dengan begitu aku nggak akan sakit hati lagi.
Aku heran racun apa yang dia berikan pada Abangku. Bahkan Bang Kevin tidak menyusulku, padahal dia tau aku sedang sangat marah. Sungguh, ini keterlaluan.
Aku keluar dari kamar. Bukan dari kamar, dari rumah maksudnya. Entah aku mau kemana. Aku terus melangkah hingga sampai ke gang. Amarah memang bisa membuat orang jadi berani. Jalan dari rumahku sampai gang itu gelap, kalo dalam keadaan sadar aku pasti nggak akan berani lewat situ sendirian.
Ini sudah larut malam. Aku melihat sekeliling. Tempat fotocopyan masih buka ternyata. Mungkin lebih baik aku ke sana.
“Mau fotocopy Dek?” sambut Mbak-mbak fotocopyan.
“Enggak Mbak!”
“Terus mau ngapain?”
“Nggak tau Mbak, aku lagi males aja di rumah!”
“Rumah kamu deket-deket sini kan?”
Aku mengangguk.
“Sini! Kita nonton film aja! Paling-paling jam segini udah nggak ada yang fotocopy!”
Aku nggak punya pilihan lain. Aku masuk ke tempat Mbak-Mbak fotocopy biasa melayani pelanggan. Kami duduk sambil menonton film. Film James bond sedang tayang di televisi. Aku tak tau bagaimana cerita dari film itu, aku ketiduran.
“Dek!” suara itu membangunkanku.
“Eh, udah pagi ya Mbak? Maaf ya aku ketiduran!”
“Nggak apa-apa, kamu nggak pulang? Aku udah mau pulang lho!”
“Mbaknya rumahnya daerah mana?”
“Deket masjid!”
Itu daerah dekat rumahnya Agnes. “Sama rumahnya Pak Gunawan mananya?” Pak Gunawan itu Ayahnya Agnes.
“Lho kamu kenal?”
“Iya. Anaknya Pak Gunawan temenku.”
“Depannya persis.”
“Wah aku boleh nebeng sampai sana nggak Mbak?”
“Boleh. Tapi Pak Gunawan sama keluarganya lagi pada pergi, di rumah cuma ada Agnes.”
Pas banget! “Nggak apa-apa Mbak.”
“Ya udah ayok!”
Kamipun berangkat.
Untung saja ada Mbak-Mbak fotocopyan yang baik. Kalo tidak, pasti semalam aku udah tidur di jalanan.
Rumahnya memang tak jauh, aku langsung turun dan segera menuju rumahnya Agnes.
“Assalammualaikum!” aku memberi salam di depan rumah Agnes.
Tak berselang lama Agnes keluar. Melihatku datang, dia langsung berlari dan memelukku. “Kamu dari mana aja sih Ca? Dari semalem semua orang bingung nyariin kamu!”
“Tenang, aku baik-baik aja kok!” aku melepas pelukannya. Mana bisa aku baik-baik aja? Aku berantem sama Abangku, gara-gara musuh bebuyutanku. Abang dan pacarku lebih percaya sama musuhku itu, dan ini terjadi seminggu sebelum umurku berakhir. Hatiku sangat sakit, aku merasa kacau.
“Masuk yuk!”
Kami masuk, dan Agnes membuatkanku sarapan. Aku menemaninya di dapur.
“Semalem kamu ke mana?”
“Fotocopyan.”
“Fotocopyan mana?”
“Deket gang.”
“Sampai pagi?”
“Iya.”
“Orang tua kamu ke sini semalem!”
“Hah? Serius?”
“Iya, semua orang bingung nyariin kamu! Semalem aku nggak bisa tidur mikirin keadaan kamu!”
“Wah panjang nih kalo udah bawa-bawa Bunda sama Ayah!”
“Kamu ada masalah apa sih? Pake acara kabur dari rumah segala?”
“Aku kira kamu udah tau. Nggak mungkin kan Bang Kevin nggak cerita ke Bunda sama Ayah, dan kalo mereka ke sini pasti mereka juga bakal cerita sama kamu!”
“Mereka cuma bilang kamu marah sama Abang kamu, gara-gara nggak suka sama pacarnya! Emang bener?”
“Eh tunggu! Kamu nggak bilang siapa-siapa kan kalo aku di sini?” selidikku, aku belum mau bertemu keluargaku dulu saat ini.
“Enggak! Aku tau kamu lagi butuh tempat untuk nenangin diri.”
“Kamu emang sahabat yang terbaik Nes!”
“Tapi kalo aku boleh tau, kamu ada masalah apa sama pacarnya Abang kamu? Dia itu murid baru di sekolahanku, kata orang-orang sih dia baik! Tapi aku nggak yakin!”
“Kamu kenal dia?”
“Kenal sih enggak, tapi aku tau namanya Aisyah. Jujur ya Ca, aku ngerasa aneh deh!”
“Aneh gimana?”
“Aku itu bisa baca sikapnya orang dengan sekali pandang, dan menurut penerawanganku, dia itu orang yang egois, nggak mau kalah, dan dia tipe orang yang menghalalkan segala cara untuk dapetin yang dia mau. Tapi nggak mungkin ah! Orang dia kalem gitu!” aku baru tau Agnes punya kelebihan seperti itu.
Aku tersenyum. Sepinter-pinternya nyimpen bangkai, suatu saat bakal kecium juga baunya. Aku kira nggak akan ada yang tau sifat aslinya itu.
“Kok kamu malah senyum sih!” Agnes kelihatan heran.
“Penerawangan kamu benar!”
“Maksudnya?”
“Dia mantan sahabatku…”
Aku yang sebenarnya tak mau mengungkit masalah ini, akhirnya harus menceritakan semuanya pada Agnes. Waktu kelas Sembilan dulu, dia adalah murid baru di kelasku. Aku dan dia berteman baik. Dalam hitungan hari saja kami menjalin persahabatan.
Pertengahan semester satu, dia cerita bahwa dia suka sama Irfan. Padahal dia tahu kalau aku juga suka sama Irfan sejak kelas tujuh. Dia meminta maaf, dan aku masih percaya padanya waktu itu, lagipula nggak salah juga kalo dia suka sama Irfan, cinta itu nggak pernah salah. Melihat Irfan yang ternyata meresponnya, aku memutuskan untuk melepaskan Irfan untuknya.
Seminggu kemudian mereka jadian. Dan hanya bertahan satu bulan. Dia bilang, Irfan nggak pernah perhatian sama dia, cuek, egois. Aku hampir nggak percaya, setahuku Irfan itu baik, sama temen aja dia baik dan care banget, makanya aku agak kaget waktu tau dia cuek dan nggak perhatian sama pacarnya. Bagaimanapun juga aku lebih percaya padanya, karna dia itu sahabatku.
Semester dua, aku banyak denger kabar buruk tentangku. Mulai dari aku yang beli bocoran soal try out, ngerokok di kamar mandi, pake narkoba, bahkan ada kabar katanya aku udah nggak perawan lagi. Sumpah, itu semua bohong!
Aku pernah cari tau, katanya berita itu bersumber dari Aisyah. Tapi dia meyakinkanku, kalau itu ulah orang yang iri dengan persahabatan kami, dan aku percaya. Tetep aja, namaku jadi dikenal buruk, jadi aku minta bantuan BK untuk membuktikan kalau itu semua bohong, dan alhamdulilah namaku bisa kembali bersih.
Selesai UN, aku di panggil kepala sekolah. Aku diduga membeli bocoran soal Ujian Sekolah. Dan yang melaporkanku adalah Aisyah dengan barang bukti kunci jawaban Ujian sekolah yang katanya ditemukan di tasku. Gara-gara itu aku harus mengikuti tes lisan saat itu juga untuk membuktikan bahwa nilaiku bagus karena kerja kerasku. Untung aku berhasil menjalankan tes lisan, jadi sekolah percaya dan mengurungkan niat untuk memanggil orang tuaku.
Aku nggak bodoh. Bagimana bisa Aisyah mendapatkan kunci jawaban itu? Nilainya yang sama tinggi denganku membuatku curiga, aku meminta agar dia juga menjalani tes lisan seperti yang aku lakukan. Aku membalikkan tuduhannya pada dirinya sendiri. Benar, dia hanya bisa menjawab beberapa pertanyaan saja. Terbuktilah siapa yang berbohong! Sejak saat itu aku tau sifat aslinya. Walau sudah ketahuan dia tidak dihukum, ku dengar dia punya koneksi dengan orang dalam. Yang jelas kejadian itu bikin aku benci sama dia.
“Kelakuan sama wajah nggak cocok!” sahut Nanda, yang entah sejak kapan ada di sini.
“Kenapa nggak ngomong dulu kalo mau ke sini?” Agnes bingung.
“Kalo aku bilang dulu, nanti keburu Mbak Caca pergi lagi!” benar juga. Jika tau ada yang mau ke sini, aku pasti akan pergi lagi.
“Kalo aku jadi kamu ya Ca, aku udah cabik-cabik dia waktu kemarin ketemu!” Agnes memeraktekannya dengan mencabik-cabik kol yang sedang dia masak.
“Sadis amat!” aku ngeri melihatnya.
“Terus, kenapa Mbak Caca nggak ceritain itu ke Mas Kevin?”
“Aku yakin, dia udah mempengaruhi Bang Kevin! Jadi ceritaku ini nggak akan dipercaya sama Bang Kevin! Malah nggak nutup kemungkinan kalo Bang Kevin bakal mengira aku yang mau jelek-jelekin dia!” aku sudah memikirkan itu sejak kemarin.
“Terus sekarang kamu mau giamana? Nggak mungkin kamu terus-terusan lari gini! Apalagi orang tua kamu sekarang udah di sini!” pertayaan Agnes yang membuatku harus berpikir keras.
“Emang Mbak Caca nggak tau kelemahannya? Kan dulu Mbak Caca udah pernah menang!” aku makin berpikir keras karena pertanyaan itu.
“Dia itu cerdik, aku nggak pernah tau apa yang bakal dia lakuin setelah ini!” pekikku.
“Itu dia!” pekik Agnes mengejutkanku.
“Apa sih Nes?” sahutku.
“Penjahat akan mengira orang baik itu bodoh, dan saat dia mengira dirinya lebih pintar, dia akan menganggap lawannya enteng! Itu kelemahan para penjahat!” kayaknya dia kebanyakan nonton film action. Tapi nggak ada salahnya diikuti.
“Maksudnya?” tanya Nanda bingung.
“Haduh! Gitu aja nggak paham! Aku harus bikin dia percaya kalo aku udah masuk perangkapnnya, dengan begitu dia bakal lengah dengan sendirinya, dan saat itu terjadi aku bakal serang balik dia!” jelasku.
“Bagus! Bagus!” Nanda mengangguk paham.
Setelah sarapan di rumah Agnes, aku pulang bersama Nanda. Bunda, Ayah, Bang Kevin, Kak Dimas, dan Aisyah berada di rumahku. Aku malas sebenarnya melihat wajah Aisyah, tapi aku harus tahan demi bisa mengalahkannya.
Bang Kevin langsung lari memelukku, air matanya pecah. “Maafin Abang!” Ini baru Abangku. Aku bisa merasakan kasih sayangnya.
Bunda dan Ayah ikut memelukku. “Kamu kalo marah, nggak usah pake acara kabur dari rumah segala! Bunda khawatir!” sahut Bunda.
“Maafin Caca!” sahutku. Mau bilang apalagi kalo bukan maaf?
“Kamu dari mana aja? Aku khawatir sama kamu! Kalo kamu masih benci sama aku, aku nggak apa-apa, aku nggak akan deketin Kakak kamu! Tapi kamu jangan pergi dari rumah gitu aja dong Ca!” si muka dua lagi cari perhatian.
Tapi justru ini menguntungkan buatku. Aku menghampirinya dan memeluknya. “Aku percaya sama kamu! Makasih udah khawatir sama aku, aku kira kamu nggak akan peduli dan bahkan seneng lihat aku pergi dari rumah! Aku minta maaf ya!” jijik sebenarnya meluk orang kayak dia, tapi bagaimana lagi ini cara untuk meyakinkan dia.
“Ya udah, sekarang mending kita makan di luar! Sekalian quality time!” Ajak Bang Kevin.
Kita tutup dulu untuk hari ini.

BelieveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang