Shit Seventeen!

1.1K 34 0
                                    

Hari ini nggak bakal pernah aku lupain. Ini pertama kalinya aku main-main sama nyawaku sendiri. Rasanya seperti berada dalam film action, dan aku menjadi korbannya. Sial, gue kepingin jadi jagoannya kenapa malah kebagian jadi korban?
Selesai kejadian tadi, yang lain balik ke rumahnya masing-masing, termasuk Agnes. Sedangkan aku langsung nyelonong masuk ke kamar tanpa mengucap sepatah katapun sesampainya di rumah.
Ayah dan Bunda cukup paham kalo saat ini aku sedang tidak ingin diganggu. Jadi mereka membiarkanku untuk menenangkan diri.
Aku merasakan perih pada tanganku. Pasti gara-gara aku melepas ikatanku dengan paksa tadi. Kuputuskan untuk mengambil kotak P3K di kulkas.
“Ca!” seru Bang Kevin yang baru saja muncul.
Aku langsung membawa kotak P3K dan pergi dari sini. Hatiku sekarang terasa sakit saat bertemu dengannya. Beberapa hari yang lalu mungkin sakit hatiku tertutupi oleh keinginanku membuka kedok Aisyah, tapi sekarang tidak lagi.
Dia sempat mengejarku, tapi aku terlanjur masuk kamar dan menguncinya. Aku terduduk dibalik pintu, semua ini terlalu menyakitkan. Aku nggak nyangka, kenapa dia harus melakukan kesalahan bersamaan dengan ultahku. Apa aku harus menyebut ini kado darinya? Waw, kado yang sangat ‘INDAH’.
“Maaf, Abang gagal jadi Kakak yang baik buat kamu!” suara dari balik pintu.
Aku bisa mendengar dia terisak. Dan justru mendengar isak tangisnya lebih menyakitkan daripada rasa sakit yang diberikannya karena ketidak percayaannya padaku.
Seseorang mengetuk pintuku bersamaan dengan lenyapnya suara isak tangis yang tadi kudengar, “Ca, ini Ayah!”
Aku segera menghapus air mata yang mengucur begitu saja saat hatiku terasa sangat sakit tadi. Aku membukakan pintu untuk Ayah.
“Boleh Ayah masuk?” tanyanya saat aku membuka separo pintu.
Aku membuka pintu lebih lebar mempersilahkan Ayahku masuk. Kami duduk di tepi tempat tidurku.
“Sebenernya Ayah sama Bunda nggak mau ikut campur, kalian udah sama-sama besar, tau mana yang benar mana yang salah!” petuah Ayah.
Aku mengerti kemana arah pembicaraan ini, “Caca masih sakit hati Yah!” tegasku bersama air mata yang keluar begitu saja.
Ayah menghapus air mataku dengan kedua tangannya, “Kevin dapet undangan dari UGM, terserah kamu, mau tetep di Semarang, ikut Ayah ke Solo, atau ikut Kevin!”
Aku baru mengetahui hal itu, “Aku ikut Ayah!” tegasku mantap. Semarang sudah cukup membuatku lelah, aku butuh suasana baru untuk menenangkan diri. Biar Abangku sendiri di Jogja, aku tak peduli lagi dengannya.
“Oke, terserah kamu, Ayah pikir itu hukuman yang tepat untuk Kevin…” Ayah beranjak dari sini, “Atau hukuman yang tepat untuk kalian berdua!” lanjut Ayah sebelum benar-benar keluar dari kamarku.
Ada telpon masuk di hpku. Aku sedang malas menerima telpon sebenarnya, tapi siapa tau itu penting. Kuraih handphone dari meja, Mey yang menelpon.
“Kenapa Mey?”
“Kita di depan rumah lo!”
Aku melempar handphoneku ke kasur dan langsung mengecek ke luar. Benar ada mereka berempat. Aku segera membuka pintu.
“Happy birthday Ca!” teriak mereka serempak begitu pintu terbuka.
Senyum bahagia mengembang dibibirku. Setelah semua kejadian ini, ternyata masih ada sedikit kejutan untuk ulang tahunku. “Thanks gaes! Tapi ultah gue kan masih besok! Ini juga belum jam 12!”
“Abis gimana Ca, kereta kita datengnya kecepetan! Masak kita nunggu di stasiun!” sahut Fika.
“Sorry ya Ca, kita nggak bisa kasih kejutan istimewa buat lo!”
“Kalian semua ada di sini itu udah lebih dari istimewa! Makasih banget ya!” aku tak bisa menahan untuk tak tersenyum.
“Ini kita nggak disuruh masuk?”
“Eh iya, ayo!” aku hampir lupa menyuruh mereka masuk.
Aku langsung menggiring mereka ke kamarku.
“Eh ada temen-temennya Caca!” Bunda muncul dari balik pintu. Teman-temanku langsung memberi salam pada Bunda. “Bunda cuma mau kasih ini!” Bunda memberikan tiket kereta ke Solo. “Kita berangkat dua hari lagi!” tambahnya.
Ayah dan Bunda benar-benar menyiapkan ini, “Oh, makasih Bun!”
“Ya udah, Bunda tinggal dulu ya!” Bunda berlalu dari kamarku.
“Lo mau ke mana Ca?” Selidik Mey cepat.
“Solo.”
“Mau liburan di sana?”
“Enggak Jen, gue tinggal di sana!”
“Maksud lo? Lo pindah ke Solo Ca?” mereka terlihat kaget dengan keputusanku.
Aku mengangguk.
“Kenapa Ca? Lo nggak pernah kasih tau kita sebelumnya!” desak Lia.
Aku akhirnya menceritakan semuanya pada mereka…
“Gila tuh orang, kita samperin rumahnya aja gimana? Gue pengen kasih pelajaran buat tuh setan alas!” Fika terlihat geram pada Aisyah.
“Iya Ca, gue nggak terima gara-gara dia lo sampai berantem sama Abang lo!” Mey terlihat lebih sadis dengan tatapan kejinya.
“Tapi gue lebih nggak terima lagi sama lo Ca, kok bisa-bisanya lo sembunyiin masalah penyakit itu!” Jeni bergeming.
“Untung itu cuma kesalahan dari rumah sakit! Kalo enggak, lo nggak bakal kasih tau kita gitu?” tambah Lia.
“Gue nggak mau kalian sedih!”
“Okelah, kita terima alesan lo! Tapi menurut gue nggak bener kalo lo marah sama Abang lo!” jawab Jeni. “Iya nggak sih?” Jeni menayakan pada yang lain.
“Ini pertama kalinya Abang lo punya pacar kan? Gue rasa wajar kalo dia ngelakuin kesalahan!” tanggap Mey.
“Tapi gue sakit hati, gimana bisa dia nggak percaya sama gue?” aku selalu nggak bisa nahan air mata tiap membahas perselisihanku dengan Bang Kevin, rasanya masih sangat sakit.
“Apa lo yakin, lo sakit hati gara-gara Abang lo nggak percaya sama lo, atau karena Abang lo bakal sakit hati gara-gara nggak percaya sama lo?” Fika mendekat dan menghapus air mataku yang terus-menerus mengalir.
“Setau gue, kalian itu bener-bener deket! Bahkan pertama gue kenal kalian, gue kira kalian kembar, saking kompaknya kalian! Dan kenapa satu kesalahan Abang lo, bikin kalian pecah? Coba lo pikir lagi, emang lo nggak pernah ngelakuin kesalahan? Dan apa Abang lo nggak maafin lo?” untuk pertama kalinya Lia terlihat sangat bijak di mataku.
Aku tak bisa menahat tawa mendengarnya, begitupun teman-teman yang lain. Mungkin kalimat itu akan terdengar biasa jika yang mengucapkan Mey atau yang lainnya. Tapi kali ini Lia, orang yang selalu telat mikir.
“Kok malah ketawa? Apa yang lucu?” Lia bingung.
Apa yang dikatakan Lia benar. Sejak kecil aku nggak pernah jauh dari Bang Kevin. Bahkan saat ada acara kemah bela negara untuk kelas 11, Bang Kevin ikut menginap di dekat tempat kemah biar bisa ketemu aku. Kemah yang cuma tiga hari aja kita nggak bisa pisah, gimana bisa aku mutusin untuk tinggal di Solo dan membiarkannya sendiri di Jogja? Aku tau maksud perkataan Ayah tadi, niatku untuk menghukum Abangku, justru akan berbalik menjadi hukuman untukku juga.
“Kalian bener!” aku beranjak meninggalkan mereka.
Aku sudah hampir mengetuk pintunya, tapi kuurungkan saat mendengar suara dari dalam. Abangku masih terisak, tapi sepertinya seseorang menemaninya.
“Jadi Caca pilih tinggal di Solo?” suara Kak Dimas.
“Gue rasa itu keputusan terbaik, gue nggak bisa jadi Kakak yang baik buat dia!” dia masih terus terisak.
Sebenarnya, ini pertama kalinya Bang Kevin nangis. Dari dulu dia paling anti sama yang namanya nangis. Waktu nenek meninggal dua tahun yang lalu, dia tahan air matanya walau aku tau dia bener-bener sedih waktu itu. Tapi pertengkaran kami justru membuatnya menangis separah ini.
“Caca sakit hati sama sikap Abang kemarin!” aku langsung membuka pintu tanpa permisi dan itu membuat mereka kompak melihat ke arahku. “Tapi Caca lebih sakit lihat Bang Kevin nangis!” lanjutku sambil memeluk Abangku yang tengah terduduk di tepi kasur.
“Maafin Abang Ca!” tangis kami pecah.
“Kamu nggak boleh nangis lagi, mata kamu nggak boleh sembab besok kan hari istimewa buat kamu!” dia melepaskan pelukannya dan menghapus air mataku.
“Abang juga nggak boleh nangis! Caca ikut sakit kalo Abang nangis!” aku mengusap wajahnya untuk menghapus air matanya.
Dia tersenyum menatapku, “Abang seneng kamu baik-baik aja!” dia memelukku lagi.
“Caca seneng kita baik-baik aja!”
“Maaf, di hari spesial kamu harus ada masalah kayak gini!”
“Ini salah Caca, harusnya Caca bikin dia kapok sejak dua tahun yang lalu! Abang jadi harus terlibat gara-gara kesalahan Caca!”
“Gue pamit Vin, kayaknya kalian lagi butuh waktu berdua!” Kak Dimas yang dari tadi hanya menjadi pajangan, pamit undur diri.
“Hati-hati, makasih udah jagain Abangku tadi!” jawabku.
Bang Kevin melepaskan pelukannya, dan mengangguk pada Kak Dimas. Seketika diapun sirna dari hadapan kami.
Kami saling menatap untuk waktu yang cukup lama. Dia kembali menjadi Abang kesayanganku, Abang yang akan selalu melindungiku.
“Jadi…sekarang kamu pilih siapa?” tanyanya dengan senyum menggoda.
“Hah?” aku tak paham dengan apa yang dia maksud.
“Dimas atau Yusuf?” jelasnya.
Dasar Abangku, dia paling bisa mencari topik bahasan disegala suasana. Tapi berhubung dia membahas soal itu, aku jadi simalakamah. “Menurut Bang Kevin, Caca bakal pilih siapa?” aku meminta saran darinya.
“Yusuf?”
“Jujur ya Bang, Caca lebih nyaman sama Yusuf sebenarnya, tapi di sini posisinya Kak Dimas lebih lama suka sama Caca ketimbang Yusuf!” keluhku.
“Kata siapa?”
“Maksudnya?” aku tak paham dengan maksudnya.
“Kamu nggak inget siapa dia?”
Aku menggeleng semakin tak paham dengan maksud Bang Kevin.
“Daya ingat kamu lemah banget Ca! Kayaknya di ultah kamu tahun ini kamu harus minta tambahan daya ingat deh!” ledeknya.
“Ish!” dengusku.
“5 tahun yang lalu, keluarga Tante Hesti itu tetangga kita. Dulu kita sering lho main sama Yusuf…”
“Tapi Caca nggak inget punya temen yang namanya Yusuf!” potongku.
“Temen-temen panggil dia Aji! Kamu inget punya temen yang namanya Aji dulu?”
Aku mulai mengingatnya, memang dulu aku punya temen yang sangat baik namanya Aji. Tapi aku nggak tau kalo ternyata dia anaknya Tante Hesti, maklumlah sejak dulu aku nggak terlalu kepo tentang keluarga teman-temanku. Bahkan jika sekarang aku ditanyai apa pekerjaan Ayahnya Mey, jawabnya aku nggak tau. Padalah aku jamin, teman-temanku yang lain pasti tau.
“Dia orang yang suka bantuin aku waktu kita main di kali, waktu kita manjat pohon, waktu kita nyolong mangga, waktu kita main layangan, waktu kita main bola, ahh pokonya dia selalu bantuin akulah!” perlahan aku ingat siapa sosok Aji itu.
“Kamu pikir, kenapa dia bantuin kamu?”
Aku menggeleng.
“Karena dia suka sama kamu! Kemungkinan besar, kamu itu first lovenya!”
Mendengar itu, entah kenapa aku jadi senyum-senyum tak jelas mengingatnya. Jadi, dia itu sudah lama suka sama aku. Manisnya…
“Terus Kak Dimas gimana?” aku kembali teringat dengannya, aku pasti akan sangat melukai hatinya. “Dia pasti bakal sakit hati kalo Caca ninggalin dia!”
“Lebih sakit lagi kalo dia tau kalian pacaran tapi kamu nggak punya perasaan apa-apa sama dia!”
Benar juga kata Bang Kevin. Sekarang ataupun nanti aku akan tetap menyakitinya, tapi lebih baik semuanya berakhir sekarang, daripada semakin sakit nantinya. “Besok prom night ya?” mengingat besok pagi akan ada penerimaan rapot, itu artinya malamnya adalah acara prom night.
“Jangan bilang kamu bakal putusin dia waktu prom night!” Bang Kevin tau pemikiranku ternyata.
“Caca pikir, prom night bisa jadi salam perpisahan yang baik untuk dia!”
“Besok kan hari ulang tahun kamu, emangnya kamu nggak mau nikmatin ultah sama temen-temen kamu? Kamu kan bisa jalan-jalan seharian besok!”
Aku menggeleng, aku sudah bulat dengan keputusanku. “Udah, masalah yang satu ini Abang percaya aja sama Caca! Masalah cinta-cintaan Caca itu lebih senior dari Abang!” aku memperingatkannya dengan sedikit menyindir.
“Iya-iya!” sungutnya.
“Tapi, Abang ke prom sama siapa besok?” tanyaku lagi. mengingat sekarang dia sudah jomblo, lalu besok dia akan datang dengan siapa?

BelieveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang