“Aku balik duluan aja Bang!” tolakku cepat. Hari ini Bang Kevin harus foto katalog, dan aku dimintanya untuk menunggu. Jelas saja aku menolak. Pertama, aku yakin ini akan membutuhkan waktu yang sangat lama. Kedua, kalo aku menungguinya pasti aku juga akan bertemu Kak Dimas, dan aku nggak mau itu.
“Ya udah, Abang anter kamu dulu, terus ke sini lagi!” tetap dia tak akan melepaskanku.
“Nggak-nggak! Abang terusin aja foto katalognya, aku nanti pulang sama Yusuf!” jawabku sedapatnya. Padahal aku sendiri nggak yakin Yusuf bisa ke sini, bahkan aku belum mengabarinya untuk menjemputku.
“Oh, yaudah! Hati-hati!” akhirnya Bang Kevin meninggalkan kelasku yang sudah sepi ini. Aku rasa sekarang Yusuf juga jadi orang yang dipercayai Bang Kevin. Buktinya dia tak bertanya macam-macam lagi saat aku bilang akan pulang dengan Yusuf.
Untung ini hanya soal pulang, aku rasa nggak masalah kalo aku naik ojek online. Lagipula Bang Kevin juga masih lama dan dia nggak akan tau.
Aku segera melenggang menuju kantin. Sebelum pulang aku mau beli bakmi jawa dulu, perutku sudah tak tahan minta diberi amunisi. Setelah itu baru aku pesen ojek online.
“Bakmi jawa pedes sama es teh Bu!” aku duduk di salah satu meja setelah memesan makan. Aku memilih duduk di meja bagian tengah, biar nggak terlalu horor. Kan nggak lucu kalo sampe ada yang ngira aku hantu penasaran gara-gara duduk sendirian di pojok.
Baru juga duduk, ada panggilan masuk ke handphoneku.
“Halo?”
“Kamu di mana?”
“Kantin, kenapa?”
“…” telpon sudah ditutup tanpa ada jawaban.
“Dasar!” dengusku kesal. Gak jelas banget si Yusuf. Tiba-tiba telpon, langsung matiin lagi! Nyebelin!
Kantin nggak terlalu ramai kalau udah pulang sekolah gini. Hanya tinggal beberapa orang yang masih di sini, itupun karna ada kegiatan ekstra. Dari tadi kebanyakan orang sliwar-sliwer di depanku, mayoritas anak kelas 12. Kayaknya mereka lagi nunggu jadwal kelasnya foto.
Aku sok sibuk dengan membaca novel yang kupinjam dari Monica. Novel karya Lexie Xu berjudul “Tujuh Lukisan Horor”. Tak lama kemudian, pesananku datang. Tapi aku tak menyentuhnya, karna cerita yang kubaca lagi seru-serunya.
“Mau pulang kapan?” seruan itu membuatku tersentak kaget hingga hampir menjatuhkan es tehku, tapi untunglah cowok di depanku ini dengan sigap memindahkan es tehku.
“Lho kok ke sini? Ngapain?” tanyaku heran dengan keberadaan Yusuf di depanku.
“Kan mau jemput kamu!” jawabnya.
Aku menepuk jidadku. Mana mungkin Bang Kevin nggak mengkonfirmasi ke Yusuf. “Bang Kevin telpon kamu ya?” tebakku.
“Iya.”
“Terus kamu bilang apa tadi?”
“Bu, Bakmi jawa sama es teh!” teriaknya memesan makanan yang sama denganku. “Aku iyain aja!” lanjutnya menjawab pertanyaanku.
“Sorry ya! Bang Kevin tuh hari ini foto katalog, aku disuruh nungguin dia, ya jadinya aku bikin alesan buat pulang duluan.”
“Nggak mau ketemu…”
“Iya.” Tungkasku sebelum dia selesai bicara.
“Kayak anak kecil!”
“Bukannya gitu, tapi aku emang lagi males aja ketemu dia!”
“Bullshit!”
“Eh, tapi kamu dari mana? Kok cepet banget ke sininya? Belum balik ke rumah ya?” sepertinya dia belum sempat pulang, soalnya dia masih pake seragam.
“Habis COD sama orang di deket-deket sini.”
“Beli apa? Barang vintage lagi?”
“Iya, tapi nggak jadi.”
“Kenapa?”
“Aku tinggal ke sini.”
“Ih, kok gitu? Temuin penjualnya dulu sana! Kasiahn tau!”
“Biarin! Yang jual temen sendiri, nanti juga nyamperin ke rumah!”
Aku menyantap Bakmi jawaku. Rasanya pedes, mantap!
Tak lama, pesanan Yusuf juga datang. Dia langsung saja menyantap makanannya. “Makanan di sini enak-enak! Aku sering-sering ke sini deh!” pujinya.
Kantin sekolahku memang menjual aneka makanan enak yang juga murah. Siapapun pasti ketagihan kalo makan di sini. “Makanannya sih biasa aja, tapi berhubung kamu makannya sama aku makanya jadi enak!” candaku.
Dia cuma tersenyum.
“Lebay amat! Orang nggak pedes juga!” dia cekikikan melihatku mulai kepedesan.
“Sialan! Punya gue pedes tau!”
“Alesan!”
“Nih coba!” aku menyuapkan bakmi jawaku padanya.
Dan saat yang bersamaan, Kak Dimas masuk ke kantin bersama Bang Kevin. Dia menatap ke arah kami dengan penuh amarah, seperti siap menghancurkan kantin ini. Untunglah Bang Kevin langsung menariknya untuk berputar balik, dan tak jadi ke sini.
Mukanya langsung memerah setelah kusuapi. Setidaknya itu mengalihkan pikiranku dari Kak Dimas yang hampir marah tadi. Aku tertawa terpingkal-pingkal saat dia kebingungan mencari minum, bahkan minumkupun juga dia habiskan saking kepedesannya. “Rasain lu!” aku tertawa puas, salah sendiri tadi mengejekku.
Kami berjalan beriringan setelah selesai membayar. Suasana sore ini sangat mendukung. Tidak terik, tapi juga tidak mendung. Angin juga sedari tadi berlarian ke sana-ke mari. Untuk keluar dari gedung sekolah, kami memang harus melewati lapangan yang merupakan tempat foto katalog. Sekarang giliran kelasnya Bang Kevin. Langkah kami sempat melambat saat kebetulan aku bertemu tatap dengan Kak Dimas, tapi dengan segera aku menarik tangan Yusuf agar kami lebih cepat pergi dari sini.
Yusuf tak banyak bertanya tentang masalah ini, dia cukup paham bahwa aku tak mau membahasnya. Dia langsung mengantarku pulang.
***
“Ehh, ada jomblo lagi belajar!” Bang Kevin cekikian sambil masuk ke kamarku, dan langsung merebahkan diri ke kasur empukku.
Aku yang semula menghadap meja belajar dengan tumpukan buku biologi kini berputar balik dan menghadap ke arah sosok yang menyebalkan itu. “Ngaca gih!” sungutku melemparkan tatapan jahat.
“Kantin hampir roboh tadi!” dia tertawa.
Aku juga jadi tertawa gara-gara tawa Bang Kevin. Kayaknya emang ketawa itu nular deh! “Tapi ya Bang, kayaknya Kak Dimas masih sayang ya sama aku!” jika kupikir-pikir, dia memang masih sayang sama aku. Bahkan terlalu sayang, sampai kantinpun hampir dia robohin gara-gara cemburu. Dan cemburu itu tanda cinta.
“Baru nyadar?”
“Enggak sih, cuma aku kira dia udah nggak serius gitu kemarin! Tapi sekarang udah yakin lagi sih!”
“Nggak mungkinlah dia nggak serius, emangnya mau Abang bunuh tuh orang?!”
“Sadis amat! Abang tuh dikit-dikit pake otot, sekali-kali pake otak kek! Biar nggak karatan tuh otak!” candaku dengan tawa penuh kemenangan.
“Enak aja! Sejak putus, dia nggak semangat sekolah tau! Sadisan kamulah! Bikin anak orang nggak niat sekolah!”
“Nggak semangat gimana?” aku penasaran.
“Nggak seaktif biasanya, dan kemarin waktu ulangan nilainya nggak tuntas. Ini pertama kalinya dia kayak gitu!”
“Masa sih?”
“Kalo nggak percaya ya udah! Eh iya, besok ada ulangan lagi, kayaknya dia bakal nggak tuntas lagi deh!”
“Abang nggak belajar?”
“Udah!”
Aku merasa bersalah sudah membuatnya remidi. “Bang, boleh minta tolong nggak?” aku mendapat sebuah ide.
“Apa?”
“Pinjem Hp!”
“Ahh, mager! Ambil sana! Di kamar!”
“Abang ganteng, ambilin dong!” rayuku, aku juga mager sebenernya.
“Dasar! Untung adik gue!” sungutnya, tapi dia tetap beranjak mengambilkan.
Tak lama dia kembali membawa handphonenya dan kembali merebahkan diri.
“Lo kira gue mau sama orang yang ulangan aja nggak tuntas!?” aku mengirim pesan singkat lewat handphonenya Bang Kevin. Aku emang nggak bisa menghubunginya, tapi Bang Kevin bisa.
“Nih Bang!” aku melemparkan handphonenya ke pemiliknya. Dan berhasil ditangkap.
“Katanya nggak saling menghubungi?!” cercanya.
“Kan Bang Kevin yang hubungi dia!”
“Enggak!”
“Handphonenya siapa?”
“Gue!”
“Ya udah!”
“Terserahlah Ca!”
“Bang!”
“Hem?”
“Maaf ya Caca sebenernya tadi bohong!”
“Abang tau! Makanya Abang langsung telpon Yusuf, sebenernya kalo Yusuf nggak bisa Abang mau nyuruh Nanda jemput kamu, tapi ternyata dia bisa!”
Sialan, ternyata Abang gue lebih cerdik dari yang gue kira.
“Eh, dibales nih!” pekiknya, “Aku tau kamu peduli, makasih!” lanjutnya.
Aku cuma mengangguk.
Ada telepon dari Yusuf. Handphoneku yang daritadi kugenggam langsung saja kuangkat.
“Kenapa?”
“Besok ada acara nggak?”
“Enggak, kenapa?”
“Temenin aku bisa?”
“Ke?”
“Ulang tahunnya temenku.”
“Jam?”
“Enam sore.”
“Bentar!” aku menjauhkan handphoneku, “Bang, besok aku diajak Yusuf ke ultah temennya jam enam, boleh nggak?” aku langsung meminta persetujuan dari Abangku.
Bang Kevin yang sedang menatap layar handphonenya, hanya mengacungkan jempol tanpa berpaling dari handphonenya. Pasti dia lagi main game nih!
Aku kembali mendekatkan handphoneku. “Oke.”
“Aku jemput habis sholat magrib ya!”
“Siap!”
Aku menutup telpon darinya.
Gara-gara Bang Kevin ke sini, aku sampai lupa dengan tugas yang tadi mau aku kerjain. Aku kembali menghadap buku-buku yang sudah ku buka dari tadi. Banyak banget soalnya, sampai bingung mau ngerjain dari mana dulu. Tapi pada akhirnya tetap harus kuselesaikan semua.
KAMU SEDANG MEMBACA
Believe
Teen FictionApapun hubungannya, jika sudah tak ada rasa saling percaya, bertahan akan sangat menyakitkan. Sesakit apapun itu, aku tak pernah sanggup meninggalkanmu sendiri. Biarlah aku saja yang merasakan perihnya, karna terlalu sakit melihatmu terluka.