Angin menerpaku di atas sini. Hembusannya seakan membuatku semakin yakin dengan keputusanku. Rooftop masih tetap sama seperti saat aku terakhir ke sini.
Kalo lagi menikmati hembusan angin di sini, pikiranku selalu melayang kemana-mana. Nggak nyangka, semua hal terjadi begitu cepat tanpa sempat aku duga. Kayaknya baru kemarin aku jadian sama Kak Dimas, tapi sekarang kami hampir putus.
Dan Yusuf, andai saja aku ketemu dia lebih awal dari pertemuanku dengan Kak Dimas. Atau paling tidak aku menyadari perasaannya sebelum aku jadian sama Kak Dimas, pasti sekarang dia yang akan di sini bersamaku.
“Aku butuh kamu!” seru seseorang dari belakangku.
Aku menoleh ke sumber suara. Aku tersenyum melihatnya membawa seikat Bunga. Aku mengirim pesan pada Kak Dimas untuk menemuiku di rooftop gedung sekolahku jam setengah lima sore.
Dia berjalan kearahku. “Buat kamu!” dia memberikan bunga itu padaku.
Aku menerima seikat bunga yang dia berikan padaku.
Dia tersenyum, “Aku butuh kamu!” serunya sekali lagi.
Aku tersenyum kecil.
“Aku butuh kamu!” dia kembali menegaskan kalimat itu.
Aku mengangguk.
“Jadi, sekarang apa?” tanyanya.
“Semua udah selesai Kak!” tegasku.
“Maksud kamu?” dia terlihat bingung.
“Kita mulai dari awal, lupain semua yang udah terjadi!” jelasku.
Yusuf baik, dia sempurna, tapi aku nggak mau meninggalkan hubungan yang sudah sejauh ini. Yusuf sendiri yang bilang kan, nggak perlu jadi pacar untuk membuatku bahagia.
Dia memelukku tanpa bertanya.
“Aku nggak bilang kamu boleh meluk aku kan?” pekikku.
Dia tak menghiraukanku, dan masih memelukku erat. Seperti sudah lama nggak ketemu, “Aku kira kamu bakal milih Yusuf!” Dia langsung melepaskanku.
“Aku nggak mau ninggalin hubungan yang udah sejauh ini!” aku berlalu duduk di ujung gedung yang tinggi ini.
Dia menyusul dan duduk di sebelahku. “Rio udah balik ke Jakarta.”
“Oh..”
“Maaf soal Rio!”
Aku mengangguk pelan, “Nggak apa-apa!”
“Kemarin aku kasih nomor hp kamu, tapi dia nggak mau!”
Aku tersenyum kecil, “Itu emang komitmenku sama dia, kita cuma boleh ketemu langsung!” ternyata dia masih teguh pada komitmen yang kami buat dulu.
“Kayaknya hubungan kalian udah jauh ya?” tanyanya dengan tatapan penuh kekecewaan.
“Bahkan kita belum pernah pacaran!” sahutku cepat. “Tapi kita sama-sama berpegang teguh sama komitmen yang udah kita bikin!” lanjutku berharap dia bisa belajar dari cara Rio menjaga komitmennya.
“Kalo aku boleh tau, komitmen apa yang kalian bikin?” dia sangat berhati-hati dalam bertanya, sepertinya dia takut menyinggung perasaanku lagi.
“Komitmen untuk saling melepaskan!”
“Itu sebabnya kamu nggak pernah kasih tau siapa-siapa soal Rio? Bahkan Kevin juga nggak tau?” tebakan yang sangat benar.
Aku mengangguk, “Jangan lagi kamu raguin aku, sekali lagi kamu ngelakuin hal itu kita nggak bakal bisa terusin hubungan ini!” tegasku.
“Aku janji bakal selalu percaya sama kamu!” dia membelai kepalaku lembut dengan senyum yang mengembang di bibirnya.
Aku benar-benar berharap dia akan menepati janjinya itu, “Pulang yuk!” ajakku melihat langit mulai menghitam.
Dia mengiyakan ajakanku. Memang sudah terlalu sore, takutnya Bang Kevin marah kalo sampai aku pulang kemaleman. Lagian aku juga udah capek, pulsek tadi langsung ngerjain tugas di sini sampai sore.
KAMU SEDANG MEMBACA
Believe
Teen FictionApapun hubungannya, jika sudah tak ada rasa saling percaya, bertahan akan sangat menyakitkan. Sesakit apapun itu, aku tak pernah sanggup meninggalkanmu sendiri. Biarlah aku saja yang merasakan perihnya, karna terlalu sakit melihatmu terluka.