Balas Budi

1K 32 0
                                    

Aku termenung menatap kalander di handphoneku. Perasaan waktu cepet banget lewatnya. Waktuku tinggal beberapa minggu lagi, tapi anehnya aku sama sekali nggak merasa takut. Agak konyol, tapi kayaknya aku siap mati deh!
Pintu kamar tiba-tiba terbuka, sontak aku melihat ke arah pintu.
“Ca, ini jaket kamu?” Bang Kevin menunjukan jaket berwarna hitam itu.
“Bisa nggak ketuk pintu dulu?!” sungutku, sambil mendekat kearahnya. “Bukan.” Aku melihat jaket itu dengan seksama.
“Terus kok bisa di lemariku? Kan yang masukin baju ke lemari kamu!”
“Oh iya, itu punya temenku!” aku mengambil jaket itu. Aku baru ingat itu jaket orang yang menolongku waktu tawuran itu.
“Emm…Ca, kamu berantem lagi sama Dimas?” tanya Bang Kevin.
“Hah?” aku bingung kenapa dia bertanya seperti itu, padahal hubunganku dengan Kak Dimas baik-baik saja. “Enggak, emang kenapa Bang?”
“Kok kalian jarang ketemu? Malah Yusuf yang sering ke sini!”
“Oh..aku yang suruh dia fokus dulu sama ujiannya! H-3 UN kan Bang!”
“Yusuf juga UN kan?”
“Iya, aku juga udah minta dia fokus sama UNnya, tapi dianya tetep mau ketemu aku!” jelasku.
“Kamu sebenernya tau nggak sih kalo dia naksir kamu?”
Aku mulai sadar dia naksir aku sejak dia ngajak aku ke ultahnya Deviana. Cuma orang bodoh yang nggak paham sama perlakuan dia malam itu. “Ya tau Bang!”
“Dimas gimana?”
“Ya nggak gimana-mana!”
“Nggak usah pura-pura bego deh Ca!”
“Terus Caca harus jawab apa Bang? Toh, emang ini nggak mempengaruhi hubunganku kok!”
“Awas baper!”
“Apaan sih nih orang malah ngurusin gue! Udah sana-sana belajar aja sana! Nggak usah gangguin Caca!” aku mendorongnya dari kamarku dan segera menutup pintu.
Aku menjatuhkan diri di atas kasur empukku. Kayaknya aku harus balikin jaket itu, tapi aku nggak tau dia kelas apa. Bahkan aku nggak tau namanya. Kalo aku tanya Yusuf, kira-kira reaksinya gimana ya?
Handphoneku bergetar. Aku langsung melihat siapa yang menelpon. Ternyata Yusuf, panjang umur juga dia, baru juga kupikirkan.
“Kenapa telpon?”
“Nggak apa-apa!”
“Gajel banget nih orang! Belajar sana! Tiga hari lagi UN kan!”
“Udah sering ngerjain soal UN, paling yang keluar itu-itu aja!”
“Eh, gampang banget ngomongnya!”
“Biarin!”
“Kalo nilai kamu jelek gimana?”
“Nggak bakal!”
“Yakin?”
“Lihat aja ntar!”
“Eh, btw kamu inget nggak orang yang nyelametin aku waktu tawuran kemarin?”
“Inget, kenapa?”
“Namanya siapa sih?”
“Kenapa? Naksir?”
“Iya!”
“Eh apa-apaan! Baru kenal udah main naksir-naksiran!”
Aku tertawa mendengar reaksinya, “Haha…cemburu?”
“Iyalah!”
“Enggak-enggak! Aku cuma mau terima kasih aja sama dia!”
“Mau aku anter ketemu dia?”
“Nggak usah, aku bisa sendiri!”
“Emang tau dia di mana?”
“Yang penting aku tau sekolahnya!”
“Emang kamu yakin dia bakal di sekolah?”
Benar juga, aku nggak tau apa dia tukang cabut atau enggak. “Terus aku harus nyari dia di mana?”
“Aku anterin ke tempat nongkrongnya mau?”
Penawaran yang bagus sebenarnya, tapi gimana kalo Yusuf dikroyok waktu nganterin aku ke tempat nongkrongnya? “Kasih tau namanya aja! Ntar aku bisa titip ke satpam atau temennya, nggak mungkin kan orang kayak dia nggak terkenal!”
“Namanya Ken. Dia masih kelas 11 kayak kamu!”
“Ken? Pacarnya pasti Barbie?” aku tertawa mendengar namanya. “Dia pasti anak IPS ya?”
“Haha..kamu beneran tau sekolahnya nggak sih? Itu SMK Ca!”
“Oh..hehe..aku nggak tau kalo itu SMK! Jurusan apa dia?”
“Kalo jurusannya aku nggak tau!”
“Ya udah deh, makasih infonya!”
“Cuma makasih?”
“Lo mah pamrih!”
“Besok Sabtu temenin aku!”
“Ke mana?”
“Jalan-jalan!”
“Izin pacarku dulu sana!”
“Yakin nyuruh aku izin ke Dimas? Nggak takut kita berantem?”
“Eh, jangan-jangan! Apaan sih, ngancemnya gitu!”
“Masih mau aku izin ke Dimas nggak?”
“Nggak usah deh! Udah ah, aku mau istirahat dulu bye!”
Aku memutus panggilan itu.
Kadang aku berpikir, apa sikapku ke dia terlalu berlebihan? Apa sikapku bikin dia berharap? Entahlah!
***
Begitu bel sekolah berbunyi, aku dan Jeni langsung meluncur ke sekolah Ken. Kebetulan Jeni juga mau COD sama orang di deket-deket situ. Kami berhenti didepan gerbang sekolah Ken.
Hari ini cuacanya panas banget, aku jadi haus berat. “Jen, gue beli minum bentar ya!” aku meninggalkan Jeni menuju mini market deket-deket sini.
Setelah mendapat dua botol air minum aku kembali menemui Jeni. Dia tidak sendiri, ada seorang cowok yang sedang bicara dengannya. Aku langsung mempercepat langkahku, takutnya kalo cowok itu mau mengganggu Jeni.
“Jen!” seruku.
“Ini Caca, temenku!” Jeni langsung memperkenalkanku pada cowok itu.
Cowok itu mengulurkan tangannya.
Tentunya aku menyambut uluran tangannya. “Caca!”
“Hakim!” dia memperkenalkan diri. “Kamu pacarnya Aji yang kemarin ikut tawuran kan?”
“Kamu juga ikut tawuran ya?”
“Hehe..iya!”
“Kamu tau Ken di mana?”
“Tau, di lapangan, lagi main voli! Mau ngapain?”
“Mau bilang makasih!”
“Perlu di anter nggak?”
“Enggak usah! Jen ikut gue apa nunggu di sini?”
“Nunggu di sini aja!”
Mau modus pasti. Apalagi Hakim ganteng, aku tau dia tipenya banget. Biar deh, siapa tau abis ini dia dapet pacar.
Baru aku melangkah menuju lapangan, sebuah bola hampir menghantamku. Untung seseorang berhasil menangkap bola itu sebelum mengenaiku.
“Hobi, banget kena lempar?” sebuah senyum manis diberikannya padaku.
Aku nyengir, “Hehe..”
“Ngapain ke sini?”
“Mau balikin ini!” aku mengambil jaketnya dari tasku.
“Oh..”
“Sama satu lagi, jangan salah paham ya, ini wujud terima kasih karna udah nolongin aku kemarin!” aku memberikan brownies yang sengaja kubuat untuknya tadi pagi.
“Oke!” dia menerima brownies itu dan pergi kembali ke lapangan voli.
Karena usuranku sudah selesai aku langsung kembali menemui Jenifer. Nggak enak membuatnya menunggu lama.
“Jen!” kini dia sendirian, Hakim udah nggak bersamanya.
“Ca, gue seneng banget sumpah! Hakim ngajakin gue jalan besok!”
“Wah, bentar lagi populasi jomblo berkurang nih!” aku tertawa.
“Doain aja!”
“Yuk pulang!”
Kami segera pulang.

BelieveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang