Sinar matahari semakin meninggi, cahayanya membangunkanku. Kepalaku rasanya berat. Sudah pukul tujuh sekarang, aku rasa Bang Kevin sengaja tidak membangunkanku. Sejak semalam aku memang sudah demam. Pengaruh musim yang berubah-ubah kayaknya.
Di meja kecil samping tempat tidurku sudah tersaji bubur ayam, air, dan obat. Rasanya aku sedang tidak ingin makan. Aku mengambil handphoneku, ada 23 panggilan tak terjawab dari Kak Dimas, 3 panggilan tak terjawab dari Yusuf, 80 chat dari Mey dkk, notif dari grup kelas yang sampai ribuan, dan 5 SMS dari operator.
“Udah bangun Ca?” seseorang masuk ke kamarku.
Aku kaget mengetahui keberadaannya, “Lho, Mas kapan ke sini kok aku nggak tahu?” sambutku. Itu Mas Ridwan, sepupuku. Dia itu anak dari Kakaknya Bunda, Budhe Wati. Mas Ridwan dan keluarganya tinggal di Jogja, makanya aku agak heran kenapa dia bisa sampai sini.
“Tadi pagi, gimana kamu udah enakan apa mau aku anter ke dokter?” dia menghampiriku memegang jidadku sebentar.
“Nggak usah, aku udah agak mendingan kok! Ke sini sendirian Mas? Nggak kuliah?” dia itu mahasiswa UGM, jurusan kedokteran.
“Lagi libur. Makan dulu, terus minum obat!”
Aku mengangguk, dan hanya memandangi bubur itu. “Aku nggak mood makan!”
Mas Ridwan menyuapiku dengan sedikit memaksa dan mau tidak mau akhirnya aku makan.
“Pacar kamu berapa Ca?” tanyanya tiba-tiba.
Aku tersenyum geli dengan pertanyaannya itu, “Kenapa nanya gitu?” jawabku setelah selesai minum obat.
“Waktu Kevin mau berangkat ada temennya ke sini bawain bubur ini buat kamu, nggak lama setelah mereka berangkat ada orang yang bawain obat buat kamu! Aku juga cowok Ca, aku tau mana yang cuma temen mana yang demen!”
“Apa sih Mas! Kayaknya yang bawain bubur deh yang pacarnya Caca, kalo yang bawain obat paling Yusuf atau Nanda!”
“Tapi kok kayaknya yang bawain obat lebih care sama kamu!”
“Lebih care gimana?”
“Bukan lebih care sih, tapi kelihatan lebih khawatir aja!”
“Emang yang bawain obat orangnya kayak gimana?”
“Motornya antik!”
Aku sudah bisa menebak, siapa lagi yang suka barang-barang antik kalo bukan Yusuf. “Oh itu Yusuf, berarti yang ngasih bubur Kak Dimas, pacarku!”
“Udah berapa lama pacaran?”
Aku mengingat-ingat, “Sekitar tiga bulananlah!” kalo dipikir-pikir sudah cukup lama juga aku berhubungan dengan Kak Dimas.
“Tapi kalian masih akur-akur aja kan? Biasanya kalo udah lewat tiga bulanan mulai ada yang bosen!”
Aku menghela napas berat. Benar yang di katakan Mas Ridwan, mulai ada yang bosan. Walau nggak signifikan, tapi aku tau Kak Dimas mulai bosan. Sehebat apapun dia menyembunyikannya, tapi aku tetap bisa merasakannya.
Aku tersenyum kecut, “Dia yang mulai bosen!”
“Kamu harus bisa bedain lho, mana bosen, mana banyak pikiran! Dia kelas 12 kan? Pasti lagi pusing mikir UN!”
“Apa aku putus aja ya?” entah dari mana pikiran itu muncul.
“Gampang banget minta putus, emang nggak inget gimana dulu diperjuangin!”
“Curcol!” seminggu yang lalu dia baru curhat lewat line. Katanya dia habis putus sama pacarnya. Padahal mereka baru sebulan pacaran. Dia memang sering curhat sama aku kalo lagi ada masalah, tapi kalo seneng boro-boro cerita, inget aja enggak!
“Ini alesannya kenapa kalo istri ngomong cerai nggak jatuh talak, sedangkan kalo suami yang ngomong cerai langsung jatuh talak. Kalian para cewek gampang banget minta putus, ntar kalo galau nyalahin cowok. Padahal kalian sendiri yang minta putus!”
“Terus Caca harus gimana Mas?”
“Kamu omongin dulu sama dia, jangan gegabah! Mungkin kalian butuh komunikasi!”
Benar juga kata Mas Ridwan. Ini hari Jumat, pasti dia bakal ke sini nanti. Aku bakal ngomong sama dia masalah ini.
***
Sepertinya ada tamu datang. Kayaknya Mas Ridwan sudah membukakan pintu untuknya. Aku penasaran siapa yang datang, jadi aku putuskan keluar dari kamar untuk melihatnya.
“Hai!” sapanya.
“Rio…” pekikku tak percaya. Aku tak pernah menduga, jika hari ini dia akan berkunjung ke rumahku. Sudah sangat lama kami tak saling bertatap muka.
Dia adalah cinta pertamaku. Aku dan dia saling jatuh cinta saat kelas 6 dulu, tapi kami sepakat untuk saling melupakan. Perbedaan keyakinan memisahkan kami. Cukup miris juga kisah cinta kami.
Setelah lulus SD dia pindah ke Jakarta. Terakhir aku bertemu dengannya saat kelas tujuh, saat malam natal. Dia mengajakku menghabiskan malam natal bersama keluarganya yang kebetulan liburan di Semarang. Keluarga kami memang dekat, Ayahku dan Papanya sahabat karib.
Mas Ridwan beranjak dari sofa, “Gue tinggal dulu!” dia meninggalkan kami berdua di sini. Cuma Mas Ridwan yang tau, kalo dia adalah cinta pertamaku, yang lain mengira kami hanya sahabat.
Aku menghampirinya dan duduk di sampingnya.
Kami saling berdiam untuk waktu yang cukup lama. Semua terasa berbeda setelah empat tahun kami tak saling menyapa. Secara, dulu kami belum tau apa itu cinta pertama, sedangkan sekarang kami paham betapa berartinya cinta pertama.
“Udah lama ya, kita nggak ketemu!” aku putuskan untuk memulai perbincangan.
“Aku denger, kamu udah punya pacar ya Ca?”
“Ahh? Iya, kamu?”
Dia menggeleng, “Masih betah sendiri!”
“Kenapa?”
“Belum mau ribet gara-gara cewek!”
“Jangan salah, justru ribetnya itu yang bikin greget!”
Dia tersenyum, “Oke, mungkin aku pertimbangin untuk mulai cari pacar!”
“Oh iya, kok kamu bisa di sini?”
“Kangen sama sahabat kecilku yang paling bawel!”
Aku tersenyum kecil, “Enak aja, kamu tuh yang bawel!”
Kak Dimas tiba-tiba masuk. Dia terlihat sangat marah, aku nggak pernah lihat dia semarah ini. “Bisa kita ngomong berdua sekarang?” tegasnya.
Rio melihat ke arahku, seolah bertanya apa yang harus dilakukannya.
Aku mengangguk, seakan memintanya menuruti kemauan Kak Dimas.
Rio pergi tanpa mengucapkan sepatah katapun.
Kini tinggal kami berdua di ruang tamu. Dia hanya menatapku, akupun juga terdiam menatapnya.
Sayang banget Rio datang di saat yang nggak tepat. Padahal aku masih kepingin ngobrol banyak sama dia.
“Sini duduk! Katanya mau ngomong berdua?” aku menepuk tempat kosong pada sofa yang kududuki.
Dia duduk di sampingku. “Aku nggak suka kamu ketemu cowok lain tanpa izinku!”
“Dia sahabatku!”
“Dia cinta pertama kamu!” tegasnya dengan suara meninggi.
Aku bingung darimana dia tau, “Kamu tau dari mana?”
“Namanya Rio kan? Dia sepupuku!”
Kenapa dunia bisa sesempit ini ya? Cinta pertamaku ternyata adalah sepupu pacarku. Pantesan Rio tau kalo aku udah punya pacar. “Aku nggak tau kalo dia mau ke sini!”
“Kamu masih suka sama dia?”
Aku nggak percaya kalo dia bakal menanyakan itu, “Kamu nggak percaya sama aku?” aku menangkap ketidak percayaannya padaku, dan itu membuatku sangat kecewa.
Selama ini aku selalu percaya sama dia, aku nggak pernah nuntut macem-macem dari dia. Bahkan aku nggak pernah ribet kalo dia lupa ngabarin karena aku tau dia sibuk persiapan UN. Aku juga nggak pernah marah kalo temen-temen ceweknya dateng ke rumahnya dengan alasan belajar kelompok, padahal jelas-jelas itu cuma modus aja.
Aku selalu percaya sama dia, dan hari ini dia justru membuktikan bahwa cuma aku yang percaya pada hubungan kami, sedangkan dia tidak. Seharusnya dia percaya, apalagi Rio sepupunya. Aku nggak habis pikir apa yang dia pikirkan.
“Bahkan untuk hal sekecil ini kamu nggak percaya sama aku!” lanjutku.
“Kenapa kamu ketemu dia tanpa kasih tau aku?” tanyanya dengan nada yang tak biasa.
“Aku udah bilang kan, aku nggak tau kalo dia bakal ke sini! Terakhir aku ketemu dia empat tahun yang lalu waktu malem natal, setelah itu aku nggak pernah kontak-kontakan lagi sama dia!” jelasku tetap berusaha mengendalikan emosiku agar semuanya nggak semakin memburuk.
“Kalo aku nggak ke sini, pasti kamu juga nggak akan kasih tau aku kan?” kini suara semakin meninggi.
Aku tersenyum pahit, “Maaf, aku emang nggak bisa dipercaya! Jadi lebih baik kita putus!” aku nggak bisa terima kalo dia menyudutkanku seolah-olah aku yang bersalah. Kejadian hari ini sama sekali bukan kemauanku, bagaimana bisa aku disalahkan atas hal ini?
Dia terlihat kaget dengan keputusanku. “Kita bisa omongin ini baik-baik!” dia memegang pundakku erat. “Maaf kalo aku terlalu cemburu! Tapi…”
Aku menyentuh ujung bibirnya dengan telunjukku, “Seminggu ini kamu nggak usah hubungi aku ataupun bicara sama aku. Kita sama-sama intropeksi diri! Apa hubungan kita masih bisa berlanjut atau enggak, aku butuh waktu untuk mikir!” jelasku.
Aku meninggalkannya dan kembali ke kamar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Believe
Teen FictionApapun hubungannya, jika sudah tak ada rasa saling percaya, bertahan akan sangat menyakitkan. Sesakit apapun itu, aku tak pernah sanggup meninggalkanmu sendiri. Biarlah aku saja yang merasakan perihnya, karna terlalu sakit melihatmu terluka.