His Sweet Eighteen

972 36 0
                                    

Jeni langsung balik ke kosannya setelah mengantarku.
Baru saja aku mau membuka pintu, Bang Kevin dan Nanda datang beriringan. Aku menghela napas berat ketika melihat wajah keduanya memar. “Kalian abis ngapain sih?” dengusku rada kesal.
Aku langsung masuk mencari kotak P3K. Sengaja kuletakan dengan keras di meja ruang tamu, untuk membuat dua orang ini tau kalo aku kesal. “Obatin sendiri!” aku berdiri dengan kedua tangan terlipat di depan dada. “Bang Kevin bisa nggak sih, nggak kebanyakan berantem! Bentar lagi lo itu UN Bang! Lo juga Nda, ngapain lo ikut-ikut berantem! Gue udah repot Abang gue suka berantem, sekarang adek gue ikut-ikut!” aku benar-benar kesal.
“Tadi ada Ibu-ibu hampir di rampok, di perempatan depan!” sahut seseorang dari balik pintu.
“Kak Dimas?” aku kaget melihat wajahnya juga memar.
“Maaf Ca, kasihan Ibunya!” sahut Abangku.
“Iya Mbak, masa kita nggak nolongin!” Adikku melakukan pembelaan.
“Kamu dari mana?” Kak Dimas mendekat ke arahku.
“Balikin jaketnya temenku.”
“Akhirnya aku bisa ketemu kamu lagi!” dia tersenyum manis. Bahkan dia tetap manis walau wajahnya dipenuhi luka.
“Kenapa sih kamu harus ikut-ikutan berantem gini? Oke, aku tau emang tujuannya baik! Tapi kalo kalian kenapa-napa gimana? Kalian tega sama aku?” aku memandang lurus pada Kak Dimas.
“Nggak usah khawatir, ini cuma luka kecil kok!” jika tujuannya berkata seperti itu untuk membuatku tenang, dia gagal.
“Apapun alesannya, kalian nggak boleh berantem lagi sampai ultah ke tujuhbelasku!” tegasku. Aku nggak mau kalian kenapa-napa sebelum aku pergi.
Mereka mengangguk paham.
Aku membiarkan mereka mengobati lukanya sendiri, sedangkan aku membuatkan minum untuk mereka.
“Oh iya, besok Sabtu Yusuf ngajak Mbak Caca jalan ya?” pekik Nanda tiba-tiba.
Aku mendelik menatapnya, apa dia nggak tau tempat. Di sini lagi ada pacarku, bisa banget dia ngomong gitu.
“Yusuf udah minta izin kok Ca!” sahut Kak Dimas.
“Jadi dia beneran minta izin ke kamu?” aku panik minta ampun.
“Iya.” Kepanikanku mereda.
“Kamu ngizinin?”
“Kalo bukan karna besok Sabtu ultahnya, aku nggak bakal ngizinin!”
“Hah, dia ultah?” aku baru tau kalo Yusuf ultah.
“Mbak Caca nggak tau?”
“Enggak!”
Detik itu juga aku memutar otak. Berpikir keras untuk memberinya surprise besok. Dia sahabat yang baik, aku ingin memberi sesuatu yang istimewa untuk hari istimewanya besok.
***
Aku sengaja bilang mendadak ada acara sama temen-temenku, padahal aku sibuk menghias rumah pohon. Aku minta bantuan Nanda untuk menahannya di rumah seharian. Aku mengabarinya untuk ke rumah pohon sore ini.
Langit sudah agak menghitam, lilin-lilin mulai kunyalakan. Aku tinggal menunggunya datang. Di dekat rumah pohon memang ada tanah lapang, di situ aku menyediakan sebuah meja dan dua kursi yang ku lapisi kain putih mengkilat dan hiasan pita biru. Lilin kecil ku susun melingkari meja itu, dan ada juga yang ku susun membentuk “HBD Yusuf”. Aku juga membuatkan roti ulang tahun untuknya dan juga memasakan beberapa masakan kesukaannya.
“Ca?” serunya melihatku, dia terlihat terkejut dengan apa yang ku lakukan.
“Happy birthday! Maaf aku bukan sahabat yang baik, tapi aku selalu berdoa yang terbaik buat kamu!” aku mendekat dan menggandengnya untuk duduk.
“Aku nggak tau harus ngomong apa!”
“Nggak usah ngomong apa-apa! Sekarang kamu makan aja!” aku mengajaknya makan dan menyiapkan makan di piringnya.
Sore itu semua berjalan dengan sangat sempurna. Kami membicarakan banyak hal sambil makan. Aku senang bisa memberikan satu kenangan istimewa untuknya sebelum aku pergi. Satu lagi kebahagiaan yang kuberikan sebelum hidupku berakhir.

BelieveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang