Macet

1.4K 52 0
                                    

Berkali-kali aku menelpon Bang Kevin, tapi nggak ada jawaban. Sedangkan sekolahan juga sudah sepi. Aku khawatir sesuatu terjadi padanya. Biasanya dia tidak pernah telat menjemputku. Aku baru selesai mengerjakan tugas kelompok, dan baru selesai jam 5 sore. Sekarang sudah jam setengah tujuh malam, dan belum ada kabar dari Abangku.
Aku menunggunya di halte dekat sekolah. Langit sudah mulai menghitam, aku jadi semakin was-was. Bagaimana jika ada yang berbuat jahat padaku? Aku sendirian di sini. Apalagi kudengar minggu lalu ada anak kelas 10 yang hampir dibegal di tempat ini.
Dari kejauhan aku melihat ada sepeda motor yang mulai memelankan kecepatannya dan berhenti tepat di depanku. Aku sudah siap mau melempar tasku, kalau-kalau dia menggangguku. “Ca! ngapain sendirian di sini?” tanyanya.
Aku sedikit lega, mengetahui itu Yusuf. “Aku habis bikin tugas, dan sampai sekarang Abangku belum jemput!” jawabku.
“Aku anterin pulang ya? Nggak baik anak gadis di sini sendirian, apalagi ini udah malem!”
“Nggak usah, paling sebentar lagi Abangku juga nyampe!”
“Daerah sini rawan kalo malem, aku anter aja ya?!”
Sialan. Kenapa dia bilang begitu? Aku jadi makin takut. “Kamu mau ke mana malem-malem gini?” aku berusaha tetap tenang.
“Baru pulang dari rumah temen. Emm…kalo kamu nggak mau aku anterin, mau naik ojek aja nggak?”
“Ojek? Emang malem-malem gini ada?”
“Ojek Mbak, sampe rumah 20.000!” dia menawarkan layaknya tukang ojek.
Aku tersenyum. Ada-ada saja tingkahnya. Selain baik ternyata dia itu konyol.
“Ayo Mbak, kasian saya, dari pagi belom ada yang ngojek!” ulangnya lagi.
Aku tak menjawab dan langsung duduk di boncengan motornya. Sedikit susah naik motor dengan rok panjang, tapi aku berhasil juga. Aku meletakan tasku di pangkuanku, untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan. If you know what I mean.
Baru sebentar kami jalan, aku mendapat telpon dari Abangku.
“Halo?”
“Abang di mana?”
“Kamu sama siapa di sana? Kamu baik-baik aja kan?”
“Aku baik-baik aja, aku pulang sama temenku!”
“Syukurlah kamu baik-baik aja! Ada kecelakaan di perempatan, dari tadi motorku gak bisa gerak.”
“Bang Kevin cari jalan biar bisa pulang aja! Aku tunggu di rumah!”
“Kamu hati-hati! Assalamualaikum!”
“Abang juga hati-hati! Waalaikumsallam!”
Aku memutus telpon itu.
“Mau ngobrol?” tanya Yusuf sambil melihat ke spion yang di arahkan padaku.
“Hah?” aku tak mengerti. Aku heran dengannya. Bagaimana cara berpikirnya? Semua tindakan-tindakannya nggak bisa aku duga. Bahkan sejak dia mengajakku kenalan, caranya juga berbeda. Aku jadi penasaran dengan cowok yang satu ini.
“Kamu bilang mau ngobrol lagi sama aku kan?”
Aku ingat, waktu aku ketemu dia di depan tempat fotocopyan, aku memang bilang untuk mengobrol dengannya lain waktu. “Mau ngobrol apa?”
“Ngobrolin Justin bieber mau?”
Aku tersenyum mendengarnya. Seorang cowok yang manly banget, ngajak ngobrol tentang Justin bieber, aneh. “Kenapa Justin bieber?”
“Dia ganteng!”
“Ish! Kamu belok ya?!”
“Cewek suka ngomongin orang ganteng kan?!”
“Nggak semua!”
“Kalo kamu?”
Aku berpikir sejenak, “Emm…tahu Chairil Anwar?”
“Oh, Pak Anwar? Mie ayam deket gang rumahmu?” dekat gang memang ada penjual mie ayam. Mie ayamnya enak, aku sering ke sana dengan Bang Kevin. Harganya juga murah, dan lagi penjualnya ramah. Biasanya buka jam delapan pagi sampai malem.
“Bukan Pak Anwar! Tapi Chairil Anwar, dia itu pujangga terkenal, karya-karyanya bagus.” Aku menjelaskan.
Aku suka dengan karya-karya Chairil Anwar. Tiap aku membaca puisi-puisinya, aku merasa terbawa ke dalamnya. Aku yakin pasti dia membuat puisi-puisi itu dengan hati. Apalagi puisinya yang berjudul sajak putih, maknanya ngena banget dihati.
“Karyanya banyak banget?”
“Iya, tapi aku paling suka puisi yang judulnya Sajak Putih.”
“Emang isinya apa?”
“Tentang seseorang yang sedang jatuh cinta.”
“Percaya cinta?”
“Iyalah! Kita nggak akan bisa hidup tanpa cinta!”
“Siapa yang bikin kamu percaya cinta?”
“Allah, kita hidup karena cinta dari Allah.”
“Kalo kamu percaya cinta, kamu pasti juga percaya jodoh!”
“Ya.”
Tak terasa kami sudah sampai di depan rumah.
“Makasih!” aku turun dari motornya.
“Ongkosnya?” dia mengatungkan tangan.
Aku mengeluarkan uang dua puluh ribu dari kantongku. “Ini!” aku menyodorkan uang itu. tadinya kukira itu cuma gurauan.
“Aku nggak mau dibayar pake uang!” tolaknya.
“Terus?”
“Traktir aku makan!”
Bisakah aku menyebut ini modus? Tapi nggak masalah, dia baik, lucu. Aku suka ngobrol dengannya, seru. “Oke. Kapan?”
“Kapan-kapan!”
“Ya udah aku masuk!” aku bergegas masuk.
“Ca!” serunya.
Aku menghentikan langkahku, dan menoleh.
“Aku boleh telpon kamu?”
“Boleh.”
“Ya udah.” Dia memacu kendaraannya. Aku yang bodoh, atau dia yang aneh? Kenapa dia tidak meminta nomor telponku, katanya mau menelponku. Terserah, aku nggak pernah tau apa yang akan dia lakukan.
Motor Abangku sudah terparkir di halaman depan. Syukurlah dia sudah sampai. Aku segera masuk. Abangku menungguku di ruang tamu ternyata. “Asaalammualaikum!” aku mengucapkan salam sambil tersenyum padanya.
“Waalaikumsalam!” jawabnya terlihat senang melihatku.
Aku mendekat dan duduk di sebelahnya. “Caca tadi di anter Yusuf, temennya Caca! Dia baik!” sahutku sebelum Abangku bertanya.
“Yusuf? Abang baru denger, temen baru?”
“Iya.”
“Makan yuk?”
“Enggak ah Bang, Caca mau istirahat aja, Caca capek banget hari ini! Abang makan sendiri nggak apa-apa kan?” aku sangat capek. Tugas-tugas sekolah membuatku kelelahan, aku mau langsung tidur saja.
“Ya udah. Solat dulu!”
“Aku lagi nggak solat!”
“Sana tidur, kamu kelihatan capek banget!”
Aku mengangguk dan langsung menuju kamar. Sesampainya di kamar aku langsung ganti baju lalu membenamkan diri di atas kasur. Rasanya badanku remuk, aku mau langsung tidur saja.
Handphoneku berbunyi, ada telpon masuk. Aku langsung mengambilnya dari meja kecil di dekat tempat tidurku yang kugapai tanpa berubah posisi. Aku mengangkatnya tanpa melihat dari siapa itu.
“Halo?”
“Sayang? Kamu di mana? Maaf aku baru tau kalo Kevin nyuruh aku jemput kamu! Kamu baik-baik aja kan?” dia terdengar sangat khawatir.
“Nggak apa-apa. Aku juga udah sampe rumah kok!” jawabku.
“Maaf banget, aku baru kelar les, jadi baru sempet nge cek HP.”
“Udah nggak apa-apa!”
“Aku ke rumah kamu ya?”
“Nggak usah, kamu pulang aja! Kamu pasti capek kan? Lagian akunya juga mau tidur, ngantuk banget soalnya!”
“Ya udah, jangan mimpiin aku ya!”
“Kenapa?”
“Nanti kamu nggak mau bangun!”
Aku tersenyum, “Ya udah. Assalmualaikum!”
“Waalaikumsalam!” aku menutup telpon darinya dan langsung terlelap.

BelieveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang