Lesson 10

588 70 1
                                    

Mahiru terbangun oleh bunyi alarm jam digitalnya. Dengan suasana hati yang masih kesal, ia menutup alarmnya yang ia set jam 5.30 itu. Hah... udah masih kesal, hari ini malah harus belajar sama di brengsek itu.. batinnya kesal sambil dengan susah payah bangun dari tempat tidurnya.

Setelah beberapa saat duduk di atas kasur – menunggu dirinya untuk benar-benar bangun, dengan ogah-ogahan, ia berjalan menuju kamar mandi. Beberapa menit kemudian, ia keluar lalu mengenakan baju seragamnya. Ditariknya tasnya lalu berjalan keluar dari kamar.

“Mahiru?” panggil suara yang sangat ia tidak sukai membuat langkah kaki Mahiru berhenti di tengah-tengah tangga. “Tumben kau pagi?” ujar Riku yang padahal masih pagi, tapi sudah mulai melakukan pekerjaan rumah.

Mahiru tidak menjawab dan hanya berjalan turun. Ia benar-benar tidak ingin melihat wajah Riku dan juga ayahnya karena ia tidak akan bisa mengontrol emosinya akibat kejadian kemarin. “Mahiru? Sudah mau pergi? Aku belum siapkan sarapan,” ujar Riku lagi yang melihat Mahiru langsung berjalan menuju genkan. Ia mengikuti Mahiru dari belakang membuat Mahiru merasa ingin membentak orang itu.

“Aku makan di sekolah,” balas Mahiru akhirnya sambil menahan emosinya. Ia segera mengenakan sepatunya secara sembarangan dan langsung berlari keluar dari rumah tanpa menghiraukan perkataan Riku selanjutnya. Riku yang ditinggalkan sendiri di dalam rumah menghela napas melihat kelakuan anak itu. Sejak pertama kali ia tinggal di rumah ini, anak itu tidak pernah menyukainya dan itu membuat Riku sedih. Padahal ia sangat menyukai anak-anak dan sangat ingin dekat dengan Mahiru sejak pertama kali bertemu dengannya.

“Kenapa dia tidak suka padaku sih? Tapi.. ia juga ya.. mana mungkin ada anak yang suka dengan pacar ayahnya yang ternyata adalah lelaki..,” gumamnya lemas sambil berjalan masuk ke dalam rumah untuk melanjutkan pekerjaannya lagi. Apa lebih baik Mahiru...

“Riku?” panggil sebuah suara membuatnya terlonjak kaget. Ia mengangkat wajahnya dan Kouji yang berada di ruang makan menatapnya dengan bingung. “Kau ngapain ada di genkan? Tadi rasanya aku mendengar suara Mahiru... dia ada di mana?” tanyanya. “Dia sudah keluar. Sepertinya ada sesuatu yang harus dia lakukan di sekolah,” jawab Riku membuat Kouji membelalakkan matanya. “Sepagi ini? Sejak kapan anak itu jadi cinta sekolah?”

*****

Mahiru sampai di sekolah dengan sisa waktu 5 menit lagi sebelum jam 6 membuatnya terburu-buru berlari menaiki tangga menuju perpustakaan yang berada di lantai 4. Napasnya pendek-pendek dan kakinya lemas ketika ia sampai di perpustakaan tepat waktu. Sebelum masuk, Mahiru mengambil kartu pelajarnya dan mendekatkannya pada sebuah kotak hitam sebesar telapak tangannya dengan kaca bening di tengahnya serta sinar merah di dalamnya. Suara rit terdengar dan pada layar komputer di sebelah tercatat namanya.

Perpustakaan di sekolahnya sudah tidak menggunakan sistem mencatat manual sehingga tidak ada penjaga perpustakaan di sana. Hanya sesekali, guru piket akan menjaga keadaan ruang perpustakaan agar tidak kotor saja selainnya, seperti mengabsen dan meminjam buku semuanya bisa dilakukan asalkan ada kartu pelajar.

Mahiru berjalan memasuki perpustakaan yang sepi bagaikan kuburan membuatnya merinding sedikit. Perasaannya sedikit lega ketika menemukan Zen yang duduk membelakanginya pada meja di pojokan perpustakaan yang paling dekat dengan jendela. Laki-laki itu sedang membaca buku yang ada di atas meja dengan serius sambil membetulkan letak kacamatanya dengan tangan kanannya menggoyang-goyangkan pena yang ia pegang.

“Se-selamat pagi...,” ujar Mahiru yang lebih seperti gumaman tapi cukup untuk ditangkap telinga Zen. Laki-laki itu menoleh lalu tanpa bersuara, menunjuk kursi yang ada di seberang meja kecil itu. Mahiru menelan ludahnya dengan susah payah lalu dengan gugup, duduk pada kursi yang ditunjuk Zen. Ia duduk dengan badan bungkuk dan kedua tangan menahan tubuhnya pada kedua kakinya yang rapat. Tatapan matanya berpindah-pindah dari kakinya menuju ujung meja kemudian menuju Zen dan kemudian ke jendela lalu kembali lagi pada kakinya, begitu seterusnya sedangkan Zen tetap membaca bukunya dengan tatapan tajam tanpa mengatakan apa pun.

Perfect X Worst [BxB] ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang