Cahaya yang menyilaukan menerpa pandangan Mahiru membuatnya menutup kembali matanya lalu ia buka kembali beberapa saat kemudian. Langit-langit kamarnya merupakan hal pertama yang ia lihat. Ia lalu menoleh ke arah jendela yang tidak tertutup tirai dan langit sudah menunjukkan bahwa hari sudah pagi.
Setelah menatap pemandangan di luar jendela, ia bangun dari tempat tidur. Namun, ia kembali tertidur lagi karena rasa sakit yang ia rasakan dari bokongnya juga dari kepalanya. “Aduh..,” keluhnya. Ia mengelus-elus bagian yang sakit itu. Kejadian kemarin kembali terputar di benaknya membuat tubuhnya sedikit gemetaran.
Kemarin, ketika Riku menanyakan siapa yang melakukan hal tersebut kepadanya, Mahiru berusaha untuk tidak menjawab. Tapi, karena Riku yang pantang menyerah dan rasa sakit dari lubangnya yang terluka semakin terasa, akhirnya Mahiru memberitahukan nama Zen kepada Riku. Riku marah besar ketika ingat bahwa yang dimaksud Mahiru itu adalah laki-laki yang pernah mengunjungi rumahnya.
Setelah itu, Riku tanpa mengatakan apa-apa lagi langsung menarik Mahiru ke atas sofa dan mengobati lukanya. Selesai diobati, Mahiru beristirahat di tempat tidurnya dan akhirnya terlelap.
Mahiru menghela napas. Ia meletakkan tangannya ke atas kepalanya dan ia sadar bahwa ia sedang demam walaupun tidak terlalu parah. Mahiru berusaha bangun dari tempat tidur dan kali ini berhasil. Ia melihat sekeliling kamarnya dan berhenti pada gaun dramanya yang terletak di dalam keranjang baju kotor yang terletak tidak jauh darinya.
Dengan hati-hati, Mahiru menjulurkan tangannya untuk mengambil gaun itu. Di lihatnya gaun yang sudah robek pada bagian punggungnya itu dengan perasaan sesak. Di bagian rumbai-rumbainya, terdapat noda darah yang Mahiru khawatirkan tidak akan hilang. Bagaimana ini.. aku juga pulang tanpa bilang, lalu gaunnya juga aku pakai sampai ke rumah.. batinnya bingung mau memberikan alasan apa.
Tiba-tiba, pintu kamar terbuka. Awalnya Mahiru mengira itu adalah Riku, tapi yang muncul dibalik pintu ternyata adalah papanya, Kouji. “Kau sudah bangun?” tanya Kouji sambil tersenyum membuat kerutan di wajahnya terlihat lebih jelas dari biasanya. Di tangannya, terdapat nampan berisi semangkuk bubur dan segelas air putih serta obat yang sepertinya adalah obat demam.
Mahiru mengangguk dengan bingung. “Papa tidak kerja?” tanyanya. “Tidak, soalnya Riku tidak ada di rumah dan kau juga demam jadi papa deh yang harus mengurusmu,” jelas Kouji yang sepertinya tidak tahu menahu tentang alasan mengapa Mahiru bisa sakit.
“Gaun siapa itu? Kenapa ada darah?” tanya Kouji yang semakin meyakinkan hipotesa Mahiru. Mahiru buru-buru meletakkan gaun itu di keranjang baju kotor sambil menggeleng, “Tidak ada apa-apa, itu gaun untuk drama kemarin,” jelas Mahiru berusaha terlihat biasa-biasa saja.
Kouji mengangguk membuat Mahiru bersyukur papanya tidak cerdas seperti dirinya. Kouji meletakkan nampan dan mengambil mangkuk serta sendok.
“Ngomong-ngomong, ibu ke mana?” tanya Mahiru sambil menerima mangkuk dan sendok yang diberikan papanya. “Ibu?” Kouji mengernyitkan dahinya sebelum akhirnya menyadari maksud Mahiru, “Oh.. Riku. Entahlah, aku cuma dengar dia ingin ketemu orang yang bernama Ren? Ehm.. bukan, bukan..,” Kouji berpikir keras. Mahiru ingin menyuruh papanya itu untuk berhenti berpikir karena ia rasa ia juga tidak akan kenal tapi papa keburu mengingat namanya, “Ah! Zen! Iya! Zen!”
Tangan Mahiru yang sedang menyuapkan sesendok bubur ke mulutnya terhenti di udara. Matanya membelalak kaget. “Ada apa Mahiru?” tanya Kouji bingung.
“Ze-Zen?” Mahiru masih mencerna perkataan papanya. Kouji mengangguk tidak mengerti apa yang salah dengan nama itu.
Mahiru tiba-tiba berdiri dari tempat tidur dengan wajah memucat. Ia meletakkan mangkuk dan sendok kembali ke atas nampan yang ada di atas nakas lalu dengan buru-buru menarik jaket dari dalam lemari dan dipakaikannya di atas piyama berwarna birunya itu.
“Tu-tunggu! Mahiru?” panggil Kouji tidak mengerti apa yang terjadi. “Aku keluar dulu papa!” seru Mahiru lalu berlari keluar sebelum Kouji sempat melarangnya. Sakit di kepala maupun bokongnya terasa hilang dalam sekejap digantikan dengan rasa cemas yang menyelimuti dirinya. Aku mohon.. jangan sampai ibu ngomong yang aneh-aneh.. batinnya sambil buru-buru menggunakan sepatunya dan berlari keluar rumah tanpa ingat mengunci kembali pintu dan pagarnya.
*****
Riku menatap pagar besar dan tinggi yang berdiri kokoh di depannya dengan mulut ternganga. Ia berkali-kali mengecek alamat rumah yang tertulis pada secarik kertas yang berada di tangan kanannya. Tidak salah lagi.. ini rumahnya.. batinnya sambil menelan ludah dengan susah payah karena merasa terintimidasi dengan besarnya rumah laki-laki bernama Zen itu.
Dimantapkannya hatinya dengan menampar kedua belah pipinya dengan keras. Jangan takut Riku! Ini demi Mahiru! Batinnya lalu setelah menghirup napas dalam-dalam, ia berjalan menuju ke ujung pagar untuk memencet bel.
Suasana sunyi. Tidak ada yang menjawab. Riku kembali memencet bel tapi tetap saja tidak ada yang jawab. Ia memencet bel berkali-kali tanpa henti sampai tiba-tiba, pagar besar itu terbuka. Riku baru saja ingin menyembur siapa saja yang membuka pagar itu tapi ternyata tidak ada siapa pun di sana.
Eh? Kok gak ada orang? Si-siapa yang bukain pagar? Batinnya horor.
“Ehm.. silahkan masuk saja,” sebuah suara membuat Riku terlonjak kaget. Ternyata itu adalah suara dari interkom yang terpasang pada dinding ujung pagar. Riku dengan gugup berjalan melewati pagar itu dan harus terkagum-kagum oleh luasnya halaman rumah itu.
“Selamat datang,” ujar suara seorang pria tua membuat Riku yang tidak melihat ke arah depan langsung berhenti dan mundur beberapa langkah karena terkejut. “Siapa ya?” tanya sebuah suara. Kali ini adalah suara seorang wanita. Wanita berambut hitam panjang mengkilap tersenyum ramah sambil berjalan ke arah Riku. Di belakangnya, seorang pria berambut hitam dengan sedikit helai rambut berwarna putih berjalan di belakang wanita itu dengan wajah bingung.
“A-aku orang tua Mahiru!” seru Riku yang langsung mengutuk dirinya karena tidak bisa mengatakan kata-kata yang bisa menjelaskan alasan kedatangannya. Tiba-tiba, tangan Riku digenggam erat oleh wanita yang tersenyum ramah itu dan sekarang ia sudah menatap Riku dengan mata berbinar-binar.
“Orang tua Mahiru-kun?! Ayo! Masuk, masuk!” seru wanita itu dengan semangat sambil menarik tangan Riku agar ia mau masuk ke dalam rumah. Riku menahan tarikan wanita itu sambil menatapnya bingung, “Aku bukannya mau-“
“Riku-san!” seru suara laki-laki yang sangat dikenal Riku menyela kata-katanya. Riku menoleh dan matanya terbelalak seketika karena melihat Mahiru dengan wajah pucat dan penuh dengan keringat, berlari mendekati Riku. “Mahiru? Kenapa ka-“
“Bibi, maaf orang tuaku tiba-tiba datang ke sini. Padahal aku sudah melarangnya tapi Riku-san bersikeras ingin bertemu dengan bibi dan paman,” Mahiru langsung menyela perkataan Riku. Napas Mahiru tersengal-sengal dan badannya terasa melayang.
“Ah.. tidak apa-apa kok! Bibi malah senang bisa bertemu dengan orang tuamu secepat ini!” seru Keiko antusias. Mahiru memaksakan sebuah senyum sambil berusaha berdiri tegak.
“Mahiru! Kenapa kau.. ah!” Riku memekik. Mahiru awalnya bingung mendengar pekikan itu tapi ia akhirnya sadar kalau kakinya hampir tidak berpijak pada tanah. Pandangannya kabur.
“Mahiru!” panggilan cemas Riku adalah hal terakhir yang Mahiru dengar sebelum akhirnya semuanya menjadi gelap.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect X Worst [BxB] ✔️
Roman d'amour(Zen x Mahiru) Watanabe Mahiru masuk ke sekolah SMA Swasta Kaijou untuk mengejar gadis yang ia sukai. Ternyata ada seorang laki-laki bernama Nakayama Zen yang juga menyukai gadis itu akan tetapi Mahiru tidak menyerah. Keberuntungan datang ketika Mah...