Lesson 33

498 67 0
                                    

Seperti yang dikatakan Zen, selama pelajaran hari ini, laki-laki itu membantu Mahiru dengan sabar dalam pelajaran. Hal-hal yang biasanya dapat membuat Zen kehilangan kontrol emosinya pun tidak menjadi masalahnya hari ini.

Awalnya Mahiru bermaksud tidak mau mendengar perintah Zen dan akan kabur ketika bel pulang berbunyi. Namun, melihat ketulusan dan ketabahan Zen yang belum pernah Mahiru lihat itu membuat ia mengurungkan niat jeleknya.

Bel pulang pun berbunyi. Mata Mahiru yang mengidap penyakit silinder dan rabun jauh yang tidak terlalu parah itu membuatnya sedikit pusing. Ia masih bisa melihat wajah orang maupun tulisan yang jaraknya tidak terlalu jauh tapi ia harus bekerja keras untuk membaca tulisan tangan guru-guru yang kadang terlalu kecil atau berbentuk aneh maupun tulisan kecil di dalam buku paket.

“Ayo,” Zen menepuk pelan punggung Mahiru yang sudah selesai memasukkan semua buku dan alat tulisnya. Mahiru mengangguk pelan dan berjalan mengikuti Zen di belakangnya.

“Jangan berdiri di belakangku,” ujar Zen sambil menarik lengan Mahiru membuat ia tertarik ke sebelah Zen. “Nanti kau terpisah denganku atau tertabrak sesuatu karena matamu itu bakal jadi susah,” tambahnya.

“Eh? Ti-tidak kok! Setidaknya aku masih bisa melihat wajah orang dan jalan tanpa kacamata ataupun lensa kontak,” jelas Mahiru. “? Beneran?” tanya Zen sedikit ragu. Mahiru mengangguk meyakinkan.

“Tapi setidaknya lebih baik kau tidak berjalan di belakangku,” ujar Zen lagi tidak merubah pikirannya dan langsung menarik Mahiru untuk berjalan lebih cepat mengikutinya.

Tangan Mahiru kesakitan karena ditarik dengan sekuat tenaga membuatnya meringis. Zen yang menyadarinya langsung melepas genggamannya dan menggumamkan kata ‘maaf’.

Mereka pun berjalan keluar dari sekolah setelah mengganti sepatu sekolah mereka dengan sepatu biasa di loker sepatu sekolah.

*****

“Ehm... Nakayama..,” panggil Mahiru sambil mengedarkan pandangannya, tidak yakin dengan apa yang sedang dilakukan Zen. “Hm?” tanya Zen tanpa melepaskan pandangannya dari deretan bingkai kacamata tanpa lensa khusus yang berjejer di balik lemari kaca toko.

Setelah berjalan cukup jauh dari sekolah dan mulai memasuki tempat-tempat yang penuh dengan kios-kios dan toko-toko, Zen menyeret Mahiru masuk ke dalam toko kacamata. Bukan tempat yang hanya menjual kacamata gaya tapi tempat untuk mengecek mata serta membuat kacamata untuk para pengidap penyakit mata.

“Kita ngapain ke sini? Kau ingin membeli kacamata baru?” tanya Mahiru sambil ragu-ragu mengambil sebuah bingkai kacamata yang langsung ia letakkan kembali setelah melihat sejumlah angka yang sangat tidak masuk akal baginya.

“Tidak..,” jawab Zen singkat membuat Mahiru mengernyitkan dahi. Lalu kau ngapain ke sini?! Gerutunya dalam hati.

Zen tanpa menghiraukan kebingungan Mahiru, mulai berjalan menuju penjaga toko tersebut, “Hmm.. maaf, boleh cekkan mata orang itu? Kami ingin membeli membuat kacamata untuk orang itu,” tanya Zen dengan sopan sambil menunjuk ke arah Mahiru.

“Oh.. silahkan ke sini,” ujar penjaga toko itu dengan ramah. Mahiru membelalakkan matanya. Tidak percaya dengan apa yang telah ia dengar. “Tu-tunggu dulu! Aku tidak bilang ingin beli kacamata! Lagi pula aku tidak bawa uang banyak sampai bisa beli kacamata yang bingkainya saja sudah mahal!”

“Tidak apa-apa, aku ada uang,” jawab Zen dengan entengnya lalu langsung menarik Mahiru yang masih bengong masuk ke dalam ruangan pengecekan. Ketika ia sadar apa yang terjadi, Mahiru sudah tidak bisa menolak lagi.

*****

“Kacamatanya akan selesai paling lambat 3 hari ke depan. Nanti, kami akan mengontak Anda jika proses pengerjaannya bisa selesai lebih cepat. Silahkan pembayarannya bisa dilakukan di sini,” jelas penjaga toko itu sambil menunjuk-nunjuk untuk memperjelas apa yang ia katakan. Zen mengangguk lalu mengeluarkan dompetnya.

Ah... seharusnya aku menolak saja! Serunya menyesal dalam hati. Tapi, kenapa Zen harus membelikan kacamata untukku? Pikirnya bingung.

Zen mengucapkan terima kasih lalu berbalik dan berjalan melewati Mahiru. Mahiru langsung mengikuti Zen lalu keluar dari toko itu.

“Na-Nakayama!” Panggil Mahiru membuat langkah Zen terhenti. “Kenapa belikan aku kacamata? Itu kayaknya juga mahal. Sebaiknya aku yang bayar saja ya, gak enak kalau-“

“Tidak apa-apa. Tidak baik menggunakan lensa kontak sampai mata kau merah dan kering begitu. Lebih baik kau pakai kacamata saja. Dan untuk bayaran, tidak perlu kau pusingkan, anggap saja itu permintaan maafku atas kelakuanku yang tidak pantas beberapa hari lalu,” ujar Zen memotong perkataan Mahiru.

Mahiru terdiam. Ia tidak bisa berkata apa-apa lagi. Zen juga diam beberapa saat sebelum akhirnya membuka mulut lagi, “Ayo! Aku antar kau pulang!” serunya lalu menarik lengan Mahiru agar mengikutinya.

“Oh ya, jangan lupa ajak Riku-san untuk mengikuti acara ulang tahun ibu juga karena ibu sangat ingin bertemu lagi dengan Riku-san,” ujar Zen. Mahiru hanya mengangguk mengerti lalu mereka kembali berjalan dalam diam sampai ke rumah Mahiru.

*****

Tadaima..,” ucap Mahiru sambil melepas sepatunya di genkan.

Okaeri..,” jawab Riku yang berjalan menuju genkan dengan senyum lebar. “Kau ke mana saja? Tumben tidak langsung pulang?”

“Ah.. tadi aku bersama dengan Zen..,”

Mendengar itu, senyum di wajah Riku hilang seketika digantikan dengan ekspresi cemas. “Kau tidak apa-apa? Dia tidak lakukan yang aneh-aneh lagi kan?” tanyanya sambil mengecek tubuh Mahiru.

“Ti-tidak ada apa-apa kok. Dia hanya membelikanku kacamata,” jelas Mahiru mengundang pertanyaan dari ibu angkatnya itu. “Hah? Kacamata? Buat apa?”

Mahiru mengangkat bahu sambil menghela napas. “Dia bilang tidak baik menggunakan lensa kontak dan langsung membawaku ke toko kacamata. Dia bilang anggap saja itu sebagai permintaan maafnya,” jelas Mahiru.

Riku mengangkat alisnya. Ternyata Zen tidak seburuk yang ia kira. Ia kira Zen itu laki-laki brengsek yang suka membuli orang. Di luar dugaannya, Zen ternyata bisa merasa menyesal dan mengakui kesalahannya.

“Ah.. betul juga. Sabtu ini, ibunya Zen merayakan ulang tahunnya di rumah mereka dan kita diundang. Ibu mau ikut? Katanya, ibu Zen sangat ingin berbincang lagi dengan ibu,” tanya Mahiru.

Riku berpikir sejenak, “Boleh saja. Apakah Kouji-san boleh ikut?”

“Sepertinya tidak masalah,” jawab Mahiru. “Baiklah kalau begitu! Aku pergi! Jam berapa?” tanya Riku lagi. “Katanya, Zen akan memberitahuku jamnya nanti,”

Riku mengangguk-angguk sambil berjalan kembali ke dapur. “Ah.. aku lapar..,” ujar Mahiru yang menyadari perutnya yang belum diisi dari tadi. “Tunggu ya, aku akan menyiapkannya sekarang,” ujar Riku dengan riang dan mulai melakukan pekerjaannya dengan ulet di dapur.

Perfect X Worst [BxB] ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang