Lesson 29

473 64 0
                                    

Zen sampai di perpustakaan sekolah ketika jam 5.30 pagi. Ia tidak bisa tidur dengan tenang karena penasaran dengan jawaban Mahiru. Di dalam dirinya, ia sangat yakin Mahiru tidak akan datang lagi dan entah mengapa hal itu membuat dadanya sedikit sesak.

Dibukanya buku pelajaran yang biasanya cukup untuk membuatnya melupakan semua masalahnya. Tapi kali ini tidak cukup. Ia gugup dengan kaki yang terus bergerak naik turun dengan kecepatan tinggi. Ketidaksabaran menyelimuti dirinya dan ia tidak bisa fokus membaca buku itu.

Tiba-tiba, bunyi tit mesin pengabsen di dalam perpustakaan samar-samar terdengar. Secercah kegembiraan merasuki hatinya. Ia pura-pura tidak menyadarinya dan terlihat sedang serius membaca.

“Aku kira kau tidak akan datang,” ujar Zen ketika merasakan ada seseorang berdiri di seberang mejanya tanpa melepaskan pandangannya dari buku.

“Kau tahu aku akan datang?” tanya orang itu. Zen mengangkat wajah dan membelalakkan mata.

*****

Mahiru berdiri di depan pintu perpustakaan dengan penuh perasaan dilema. Apa lebih baik aku tidak datang? Mungkin dia lebih berharap aku tidak datang pikirnya panjang lebar. Ia berjalan ke sana kemari beberapa kali sebelum akhirnya kembali berhenti di depan pintu. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya membuka pintu perpustakaan.

Ia mengabsenkan dirinya lalu berjalan masuk. Kakinya berhenti ketika ia mendengar suara dua orang yang sedang berbincang. Sudah ada orang sepagi ini? Pikirnya heran.

Mahiru berjalan lagi dan langsung berhenti ketika melihat ternyata yamg sedang berbincang itu adalah Saori dan Zen. Ia entah mengapa langsung berlindung di balik rak buku lalu melihat kedua orang itu dari sela-sela rak yang tidak ditutupi buku.

“Aku tidak tahu kau tiap pagi belajar dengan Watanabe-san di sini,” ujar Saori. “Kau tidak pernah nanya,” jawab Zen terdengar riang tapi Mahiru tidak bisa melihat ekspresi laki-laki itu karena ia duduk membelakangi Mahiru.

“Ajari aku juga dong!” seru Saori dengan manja. “Kau kan sudah pintar. Lagi pula aku melakukan ini karena aku mau. Nilaiku juga terancam tahu!” jawab Zen sambil mendorong pelan kepala Saori dengan jari telunjuknya.

“Aduh!” keluh Saori sambil mengusap dahinya. “Tapi aku dengar dari bibi katanya Watanabe-san sakit? Apakah dia baik-baik saja?” tanyanya. Zen menyandarkan tubuhnya pada kursi, “Entahlah,”.

“Kok gak tahu sih? Dia kan pacarmu! Hayo! Jangan-jangan kau yang bikin dia sakit,” ujar Saori nakal dengan jari telunjuk terarah ke Zen. “N-nggak lah! Mana mungkin! Dia juga bukan..,” kata-kata Zen terhenti.

“Bukan apa?” tanya Saori. Zen menggeleng. Saori menatap Zen dalam diam.

Tiba-tiba, Saori berdiri dan mulai merangkak naik ke atas meja. Mahiru membelalakkan matanya. Ia menutup mulutnya yang hampir bersuara.

“Saori?” Zen memanggil Saori dengan bingung.

Nee.. Zen.. kau menyukaiku kan?” tanya Saori dengan nada menggoda. Ia menarik dasinya dan membuka kancing atas kemejanya.

Mahiru merasa hatinya sakit. Ia langsung berlari keluar dari dalam perpustakaan. Ia terus berlari dan berhenti di halaman belakang sekolahnya dan langsung terduduk. Matanya mulai terasa panas.

Bayangan Saori yang mulai membuka kancing bajunya di depan Zen membuat Mahiru tidak bisa menahan air matanya lagi. Lebih baik aku tidak datang saja... batinnya sambil menenggelamkan wajahnya yang basah pada lututnya yang ditekuk.

*****

Zen tidak bisa berpikir dengan jernih ketika melihat Saori yang mulai membuka kancing seragamnya. Ia tergoda oleh wajah Saori yang dipenuhi dengan gairah.

“Zen?” panggil Saori yang bisa membuat Zen terangsang. Saori meletakkan tangannya pada leher laki-laki itu dan mulai mengelus kulitnya pelan. Zen semakin tidak bisa berpikir jernih.

Tiba-tiba, bayangan seorang perempuan yang sedang mengatakan sesuatu kepadanya muncul di dalam benaknya. Kepalanya langsung terasa sakit. Ia tidak bisa mendengar apa yang dikatakan perempuan itu tapi senyum yang diperlihatkan perempuan itu terlihat sangat familiar dan membuat perasaannya tidak enak. Ia menatap Saori yang ada di depannya dan ia langsung menahan tangan Saori ketika bayangan kejadian kemarin kembali terputar dibenaknya.

“Zen?” Saori menatap Zen bingung.

“Saori.. kau mau mempermainkan perasaanku?” tanya Zen dengan sedih. “Eh? Apa maksudmu?”

“Saori, lebih baik kau jaga dirimu baik-baik. Jangan lakukan hal seperti ini,” ujar Zen lagi sambil menepuk pundak Saori pelan. Ia lalu mengemasi bukunya dan keluar dari perpustakaan itu meninggalkan Saori yang masih terduduk di atas meja.

*****

Zen memasuki kelas yang kosong dengan perasaan yang tidak enak, bukan rasa sakit. Ia duduk di bangkunya lalu melihat pemandangan yang ada di luar jendela.

Bayangan perempuan yang sekilas terputar dibenaknya itu sangat mengganggunya. Siapa orang itu? Ia berpikir keras tapi tiap kali ia mulai merasa akan mengingatnya, kepalanya mulai berdenyut. Ia hanya bisa merasa familiar dengan bayangan perempuan itu.

Entah berapa lama ia larut dalam pikirannya ketika tiba-tiba pundaknya dipukul dengan keras. “Yo Zen! Kau ngelamunin apa?” seru suara seorang perempuan dengan sangat bersemangat. “Chiaki..,” gumam Zen yang masih kaget oleh pukulan itu. Chiaki mengangkat alisnya bingung.

“Chiaki..,” panggil Zen lagi. “Hm?” “Boleh ka-“ kata-kata Zen terhenti ketika ia melihat Mahiru yang berjalan masuk ke dalam kelas. Entah mengapa matanya terlihat sedikit bengkak.

Ah.. pada akhirnya dia tidak datang.. ujarnya dalam hati. Bagian kecil hatinya terasa sakit oleh kenyataan itu.

“Zen? Woi?!” panggil Chiaki membuat Zen ditarik kembali dari pikirannya. “Ah.. nanti saja pas istirahat,” ujar Zen singkat lalu kembali masuk ke dalam pikirannya sendiri meninggalkan Chiaki yang masih berdiri di situ dengan penuh tanda tanya.

Perfect X Worst [BxB] ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang