Mahiru membuka pintu rumah dengan tubuh yang lemas. Ia lelah menghadapi Zen yang menyebalkan itu. Tadi, sebelum ia berpisah dengan Zen, laki-laki itu terus menerus mengingatkannya untuk membaca buku-buku yang tadi ia belikan dan Mahiru hanya bisa dengan pasrah mengiyakan.
Di dalam rumah, Mahiru duduk pada lantai dan melepas sepatu di genkan. Ia melihat sebuah kantong yang cukup besar berisi semua buku-buku panduan dari berbagai pelajaran dan berbagai tingkatan sekolah membuatnya menghela napas. Melihatnya saja sudah membuat Mahiru ingin muntah.
“Mahiru? Okaerinasai,” suara Riku tiba-tiba terdengar membuat Mahiru sedikit terlonjak kaget. Ia menoleh dan melihat RIku sudah berdiri di belakangnya. Dengan tatapan nanar, Mahiru berdiri dan berjalan melewati Riku tanpa mengatakan apa pun. Riku adalah orang terakhir yang ingin ia temui sekarang. Mahiru tidak menyadari ekspresi wajah Riku yang penuh dengan kesedihan dan kepasrahan.
“Mahiru! Dasar kurang ajar! Jawab kalau orang tua menyapamu!” seru Kouji yang tiba-tiba muncul dari ruang makan. “Kouji-san!” seru Riku marah, tidak ingin Kouji mencampuri hal ini. Mahiru hanya menatap dingin papanya. “Kau kenapa melihatku seperti itu?! Aku ini papamu tahu! Jangan kurang ajar!” Kouji semakin marah.
“Aku lebih milih tidak ada papa dari pada harus punya papa homo!” seru Mahiru lalu berlari menaiki tangga. “Mahiru!” teriak Kouji marah tapi Mahiru tidak berhenti dan terus menaiki tangga sampai sosoknya tidak terlihat lagi. Tidak lama kemudian, suara pintu dibanting menggema di dalam rumah itu.
“Anak itu!” gerutu Kouji. Riku langsung berjalan menghampiri Kouji dan mengelus punggungnya menyuruhnya sabar. “Aku tidak apa-apa bagaimanapun sikap Mahiru kepadaku, tapi Kouji-san, jangan membuat kau juga dimusuhi Mahiru. Aku mohon!” ujar Riku dengan sedih.
Kouji menatap Riku dengan perasaan sedih. Ia lalu menarik Riku ke dalam pelukannya dengan pikiran yang kacau. Ia bingung bagaimana membuat Mahiru nyaman dengan keluarga ini. Ia tahu, ia salah telah menyukai seorang pria tapi ia ingin Mahiru memahaminya. “Maaf Riku, aku hanya takut suatu hari Mahiru benar-benar akan keluar dan tinggal bersama Kyoko,” gumam Kouji. Riku tidak tahu ingin menjawab apa dan hanya bisa memeluk erat orang yang dia cintai itu.
*****
Mahiru keluar dari kamar mandi dengan hati gusar. Ah! Aku sudah ngomong kelewatan ke papa! Batinnya penuh penyesalan tapi ia juga tidak tahu mau bagaimana meminta maaf kepada papa karena apa yang ia katakan itulah yang merupakan isi hatinya selama ini. Ia bukannya tidak terima papanya gay. Ia malah senang papanya mendapat pasangan baru walaupun itu adalah laki-laki tapi ia merasa sangat jijik ketika melihat papa dan Riku walaupun ia sendiri sudah lupa alasannya. Semua itu terus berlanjut sampai sekarang sehingga ia pun mulai berpikir lebih baik tidak memiliki papa dari pada ia harus merasa jijik seperti ini.
“Hah...,” Mahiru menghela napas panjang seraya menghempaskan badannya di atas kasur. Hari ini aku tidak makan malam lagi... batinnya tapi perutnya mengkhianatinya karena saat itu juga perutnya berbunyi keras. “Arghhh!” gerutunya sambil mengacak-acak rambutnya yang masih basah dan berantakan. Ia tidak berani turun ke bawah untuk makan malam.
Dengan kesal, ia menggulingkan badannya ke arah samping kiri dan sebuah kantong besar masuk ke dalam pandangannya. Ah! Benar juga! Serunya dalam hati seraya bangkit dari tempat tidur. ”Mungkin kalau aku membaca buku-buku ini aku tidak akan lapar lagi. Nanti kalau sudah malam dan papa sudah tidur, aku baru turun ke bawah saja cari makan!” Mahiru menyerukan rencananya yang ia anggap brilian. Dengan begini, permintaan si brengsek Zen kepadaku juga bisa kulakukan!
*****
“Eghh..,” keluh Mahiru sambil memegang perutnya yang sakit. Ia sudah tidak bisa tahan untuk tidak memasukkan makanan ke dalam perutnya padahal baru sekitar 15 menit berlalu sejak ia memutuskan untuk belajar sambil menunggu papa dan Riku tidur.
Selain itu, sakitnya bertambah satu yaitu di kepalanya. Baru saja ia membuka halaman pertama bab pertama pada buku biologi, kepalanya sudah mulai berasap dan mulai menghasilkan rasa sakit. Yang paling tidak ia duga adalah dirinya yang biasanya bisa menahan lapar selama 1 sampai 2 jam, hanya karena belajar, bahkan tidak bisa menahan sampai 30 menit.
Erghh! Terkutuklah kau biologi! Terkutuklah kau pelajaran! Batinnya penuh dendam. Ia berusaha berdiri tapi karena segala kesakitannya itu membuat tubuhnya lemas sehingga butuh lebih dari 5 menit untuk berdiri. Perlahan-lahan, ia berjalan menuju pintu kamar. Berhenti di depan pintu, Mahiru menatap pintu itu dengan gusar. Papa dan Riku-san pasti masih ada di ruang makan. Hmm.. tidak apa-apa lah, minta maaf saja dengan papa.. batinnya menyerah.
Ia membuka pintu dan baru saja mau melangkah ketika gerakannya terhenti karena terdapat sebuah nampan berisi mangkuk nasi dan beberapa piring berisi lauk serta segelas air putih. Matanya terbelalak lebar sejenak lalu ekspresi wajahnya berubah muram. Ia tersenyum pahit seraya mengambil nampan itu.
Nampan itu diletakkannya di atas meja belajar setelah menggeser semua buku-buku yang berserakan. Rasa sakit diperutnya hilang seketika digantikan dengan rasa sakit disekitar dadanya. Ia menatap kosong makanan itu masih dengan senyum pahitnya. Kenapa dia bisa sebaik ini sih? Padahal aku sudah memperlakukannya dengan kurang ajar... batinnya seraya menggigit bibir bagian bawahnya.
Mahiru mengambil sumpit yang ada di atas nampan. Setelah mengucapkan itadakimasu* , ia mulai melahap makanan itu dengan rasa sakit di dada yang masih menghinggapinya.
(*Ucapan syukur terhadap makanan yang akan mereka makan di Jepang
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect X Worst [BxB] ✔️
Romance(Zen x Mahiru) Watanabe Mahiru masuk ke sekolah SMA Swasta Kaijou untuk mengejar gadis yang ia sukai. Ternyata ada seorang laki-laki bernama Nakayama Zen yang juga menyukai gadis itu akan tetapi Mahiru tidak menyerah. Keberuntungan datang ketika Mah...