Kyle Ty POV

85.8K 4.2K 284
                                    

"Tentu saja aku mencintaimu. Kalau tidak, bagaimana mungkin aku mau menjadikan kau sebagai kekasihku." Entahlah, aku merasa keganjalan dalam ucapannya. Tapi, perasaan tersebut segera ku gubris. Aku tak mau hubunganku dengannya merenggang hanya karena kecurigaanku yang akan semakin besar. Ya, lebih baik aku melupakan saja. Ah bukan melupakan. Lebih tepatnya menyingkirkan.

"Kyle ! Kenapa kau diam ? Kau mendengarku kan ?"

"Ya aku mendengarmu."

"Jadi kau sudah percaya dengan ucapanku ?"

Sebenarnya masih ada lagi yang ingin ku tanyakan lagi. "Ka-kau tidak akan pernah meninggalkanku kan ?" Akhirnya pertanyaan itu terlontar dari mulutku.

"Aku tidak akan meninggalkanmu Kyle. Aku mencintaimu." Jawabnya yang mampu membuatku tersenyum. Semoga dia bisa menggengam ucapannya.

Tak kusadari air mataku keluar. Kenapa aku tiba-tiba mengingat kejadian itu ? Ucapan busuk pria brengsek. Hanya bualan. Bodoh, aku merutuki diriku sendiri. Begitu bodohnya aku dulu termakan rayuannya.

"Papa ! Are you oke ?" Aku terkejut. Segera ku hapus air mataku dan tersenyum menatap laki-laki kecil didepanku yang sedang melihatku dengan muka cemas. Aku tersenyum padanya. Kuelus rambut hitamnya.

"Papa baik-baik saja sayang." Jawabku meyakinkannya.

Laki-laki kecil didepanku adalah Evan Ty. Dia selalu menjadi penyemangatku. Dia anakku. Baru berumur empat tahun.
Aku belum menikah. Jangankan untuk menikah, mempunyai kekasih saja belum. Kaloan jangan menganggap Evan adalah anak tiriku. Karena dia benar-benar anak kandungku. Ya, dia anak kandungku. Aku yang melahirkannya.
Terserah kalia percaya atau tidak, yang jelas aku berbicara sejujur-jujurnya. Aku memang melahirkannya bahkan mengandungnya selama sembilan bulan. Aku laki-laki istimewa. Ya aku menyebut diriku sendiri sebagai laki-laki yang istimewa. Aku memiliki rahim didalam tubuhku.

Sudah. Aku tidak mau menceritakan bagaimana aku bisa mempunyai Evan. Atau bahkan juga mengandung. Karena kalau menceritakan hal tersebut cukup menyakitkanku. Menceritakan kesakitanku sendiri.

"Papa ! Evan laper." Ah aku lupa kalau sudah waktunya makan siang. Kubuka tasku dan kukeluarkan kotak makan yang memang sengaja kubawa dari rumah. Evan langsung mengambil kotak makan dari tanganku. Dia membukanya dan dengan lahap makan makanan yang kubuat. Aku hanya memasak sederhana. Ya, hanya sosis dengan kucampur dengan saus, telur, juga nasi. Sungguh ingin sekali rasanya membuat makanan yang sungguh layak untuk anakku. Aku tidak tahu lagi harus bagaimana. Kehidupan kami juh dari kata berkecukupan. Bahkan tak jarang juga persediaan makanan dirumah sangat kurang. Alhasil, aku harus menekan rasa laparku semalaman supaya Evan bisa makan. Ya, aku rela melakukan segalanya demi anakku. Asal dia tetap denganku, bahagia denganku.
Kuperhatikan dia makan. Aku tersenyum. Jujur saja kalau saat ini aku lapar. Tadi pagi hanya makan dua sendok nasi. Tapi biarlah. Yang terpenting adalah Evan. Evan segalanya bagiku.

"Sayang. Kamu bisa duduk disini saja kan ? Papa mau ke toilet sebentar. Jangan kemana-mana ya ?" Tak tahan lama-lama menahan air yang ingin keluar.
Evan hanya mengangguk menjawabku. Aku langsung berdiri dan pergi ke toilet. Untungnya saja toilet tak jauh dari tempat kami duduk. Mungkin lebih cepat jika aku berlari. Bagaimanapun aku harus cepat. Takut terjadi apa-apa dengan anakku.

Aku segera masuk ketoilet dan membuang air yang sedari tadi mendesak ingin keluar. Keadaan toilet kosong. Tak ada orang. Padahal ditaman ini sedang ramai. Ya, setiap hari minggu ataupun aku ada libur kerja, aku akan menyempatkan diriku untuk membawa anakku berjalan-jalan. Entah itu di sebuah taman ataupun tempat yang memang sejuk. Setelah selesai, aku menutup resleting celanaku lagi dan mencuci tanganku.
Aku hendak membuka pintu toilet untuk keluar.

BRUK

"Aw !" Ringisku mengelus keningku. Sialan. Siapa yang membuka pintu dari luar.

"Shit ! Maafkan aku. Aku tak tahu ada orang." Ucapnya. Mungkin dia yang mendorong pintu tadi. Pria berpakaian simple.

"Tidak apa." Jawabku. Dia tampak tersenyum canggung dan menggaruk tengkuknya.

"Ah ! Maaf aku sudah tidak tahan." Pria didepanku langsung berlari ke dalam bilik toilet. Aku hanya tersenyum dan menggelengkan kepalaku.
Kusegera berlari ke tempatku tadi. Tiba-tiba aku langsung teringat Evan yang masih sendirian disana. Aku tersenyum lega akhirnya dia masih disana.
Evan cukup cerdas diumurnya yang masih kecil. Dia belum bersekolah. Alasanya hanya satu. Aku belum cukup mempunyai biaya untuk memasukkan Evan ke sekolah. Ya walaupun itu playgroup. Aku duduk disebelahnya. Sepertinya dia belum menyadariku. Dia terlalu sibuk dengan mainan yang dibawanya.

"Ehm..."

"Papa ?" Aku mengernyitkan keningku melihat ada sapu tangan di samping Evan. Seingatku, aku tidak membawa sapu tangan. Bahkan aku juga yakin kalau Evan pun tidak.

"Ini punya teman papa." Teman ? Aku hanya mengeryitkan keningku.

"Kyle !" Kudengar seseorang memanggil namaku. Aku kenal suara ini. Bahkan aku sering mendengarnya. Kuarahkan pandanganku kearah suara. Aku tersenyjm dan melambaikan tanganku menyururhnya untuk datang dan bergabung dengan kami. Dia balik memabalas senyumanku dan mendekat kearah kami. Bagaimana bisa dia disini ?

"Hi Evan !" Sapanya pada anakku dan mencubit pipi Evan. Evan tersenyum dan menganggguk membalasnya.

"Jorge, Bagaimana bisa kau disini ?"Tanyaku padanya. ya dia adalah Jorge. Aku dan dia satu tempat kerja. Yang membedakannya adalah aku hanya sebagai pengantar kue sedangkan dia yang membuat kue. Umurnya pun tak jauh dariku. Dia lebih tua tiga tahun dariku. Ya, dia pria dua puluh lima tahun.

"Aku hanya menikmati liburanku saja dan tak sengaja bertemu anakmu sendirian." Kalian tak perlu bertanya-tanya bagaimana bisa Jorge tahu kalau Evan anakku. Jorge adalah orang yang cukup baik. Bahkan sangat baik untukku. Kami menjadi teman dekat saat bertemu dan bekerja di satu tempat. Saat ia tahu bahwa aku mempunyai anak apalagi anak kandung, dia mengaku padaku kalau dia terkejut. Dia sempat berpikiran kalau aku sudah menikah. Padahal sama sekali tidak. Jadi, karena aku sudah sangat mempercayainya, aku menceritakan kalau akulah yang mengandung Evan. Awalnya Jorge terkejut dengan pengakuanku. Bahkan masih kuingat butuh waktu berhari-hari untuk Jorge dapat mempercayaiku.

"Aku juga melihat Evan sendirian. Jadi kudatangi dia dan aku pergi mencari minuman sebntar dan kembali kesini." Lanjutnya. Aku hanya mengangguk dan tersenyum mendengar penjelasannya.

"Ah aku lupa. Evan perkenalkan namaku Jorge. Aku tahu kita baru sekali bertemu dan belum berkenalan." Ucap Jorge pada anakku. Merekja berjabatan tangan.

"Aku Evan om Jorge."

"Ini aku membelikanmu susu. Dan juga ini buatmu Kyle." Jorge memberikanku minuman bersoda. Aku menerimanya dan berterimakasih.

"Setelah ini kalian mau kemana ?"

"Sepertinya aku dan Evan harus pulang." Jawabku pada Jorge. Ya, lagipula tidak ada lagi yang harus kami lakukan. Aku sudah mengajak Evan jalan-jalan mengelilingi taman ini.

"Pulang ? Bagaimana kalau menonton film ?" Ajak Jorge. Aku merasa tidak enak alau harus menerima tawarannya. Aku tahu nanti apa yang akan terjadi.

"Tidak us...."

"Film ? Mau om !" Baru saja mau menolak tapi Evan memotong ucapanku. Aku hanya mampu mendesah pelan. Kulihat reaksi anakku yang sangat senang kalau dia diajak menonton film.

"Kau lihat Evan kan ? Apa kau masih mau menolak ?" Aku hanya tersenyum kecil dan menggelengkan kepalaku.

Maafkan aku nak, yang selama ini tidak bisa mengajakmu bersenang-senang. Walaupun hanya menonton film.

TBC

Maaf ya lama gak update. Soalnya baru ada waktu buat ngetik 😂😂.

Vomment nya ditunggu.

Hurt To Love YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang